Semua untuk Perempuan
Selama lebih dari 30 tahun, Nursyahbani Katjasungkana memperjuangkan kesetaraan gender. Pada saat Nur memulainya, isu tersebut masih belum dikenal banyak orang. Tapi, ia pantang surut. Ia pengacara pertama yang memperkenalkan teori hukum feminis di Indonesia.
Pengalaman masa kecil yang mendorong Nur masuk sekolah hukum. Pada saat duduk di bangku sekolah dasar di Pasuruan, Jawa Timur, kakak dan sahabatnya dipaksa orang tuanya menikah saat belum lulus. Setelah lulus SMA, Nur memilih Fakultas Hukum Universitas Airlangga. “Saya tak ingin kejadian yang sama terulang,” katanya.
Setelah selesai, Nur memilih berkarir di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Pada 1980 itu, isu hak perempuan masih dianggap asing. Menonjolkan isu perempuan dianggap mementahkan tujuan besar menegakkan demokrasi dan memberantas kemiskinan. Tapi Nur maju terus. Ibu empat anak ini sadar betul bahwa perempuan memiliki masalah spesifik yang butuh penanganan khusus.
Tahun 1995, Nur dan rekan-rekannya mendirikan Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK). Organisasi ini mendirikan Lembaga Bantuan Hukum APIK. Ia juga aktif dalam memperjuangkan nasib Tenaga Kerja Wanita di luar negeri.
Salah satu isu yang menjadi perhatian utamanya adalah isu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pada periode akhir 1980-an hingga awal 1990-an, banyak yang menganggap KDRT tak ada urusannya dengan hak asasi. Tapi menurut Nur, jika negara tak mengambil tindakan terhadap KDRT, maka itu adalah sebuah pelanggaran hak asasi.
Pada tahun 1997, bersama rekan-rekannya, ia merancang UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. UU itu baru disahkan tujuh tahun kemudian, ketika ia menjadi anggota parlemen.
Surat dari Nurs Yahbani Katjasungkana
Saya memulai kerja-kerja dalam bidang bantuan hukum sejak saya masih mahasiswa di fakultas hukum Universitas Airlangga. Saya beruntung karena kemudian saya melanjutkan “sekolah hukum” saya yang nyata di LBH Jakarta, sebuah kantor yang memberikan bantuan hukum secara cuma-Cuma di bawah pimpinan Adnan Buyung Nasution. Di sini saya betul-betul melihat dan mengalami sendiri bagaimana hukum in action khususnya terhadap rakyat miskin.
Suatu hari saya membela kepentingan hukum seorang buruh perempuan yang bekerja di pabrik kaos yang dituduh mencuri potongan kain perca bekas pembuatan T-shirt. Potongan kaos itu sebenarnya akan dibuang saja akan tetapi klien saya waktu itu mengambilnya sekedar untuk menjadikan sebagai pembalut. Namun, atas nama penegakan peraturan di pabrik, satpam pabrik itu melaporkan buruh tersebut ke polisi dengan tuduhan mencuri. Laporan diproses dan buruh tersebut dihukum dengan hukuman 6 bulan penjara. Tak ada hal yang meringankan, yang dikatakan oleh hakim adalah hal yang memberatkan bahwa perbuatan terdakwa akan sangat buruk dampaknya bagi keamanan di pabrik.
Sebagai mahasiswa baru lulus yang dididik untuk memercayai bahwa hukum itu netral dan akan memberikan keadilan bagi setiap orang, saya sangat marah dan kecewa dengan putusan itu. Bukan saja karena putusan itu saya anggap bodoh sebab yang diambil oleh klien saya adalah kain-kain perca yang tak berguna lagi, tapi lebih karena hakim sama sekali tak mempertimbangkan keadaan klien saya, yang hanya menerima gaji sekadar untuk bisa datang dan bekerja lagi esok harinya, tanpa jaminan masa depan apa pun bahkan untuk memenuhi keperluan mendasar bagi perempuan, yaitu pembalut, dia harus mengambil potongan kain perca itu.
Hakim sama sekali tak mempertimbangkan bahwa gaji klien saya yang kecil itu ditentukan sebagai kontrol terhadap gerakan buruh, agar dia tak tersisa waktunya untuk menjadi anggota serikat buruh dan memperjuangkan kondisi kerjanya yang buruk karena dengan gaji kecilnya itu dia terpaksa bekerja lembur sehingga jam kerjanya sangat panjang dan dia tak ada energi lagi untuk bisa menggunakan haknya yang instrumental bagi perjuangan hak-haknya. Saya kecewa bahwa hakim tak bisa mengerti bahwa sesungguhnya hak buruh itu telah dicuri dan Negara telah memfasilitasi pencurian hak para buruh dengan macam-macam aturan termasuk aturan upah, jam kerja, dan pembatasan haknya untuk menjadi serikat buruh.
Seorang Marsinah bahkan dianiaya hingga meninggal dan sampai sekarang kasusnya tak tuntas. Meski dalam era reformasi ini, kebebasan buruh lebih dijamin namun kondisi kerja mereka tak lebih baik dari sebelumnya. Demikian pula dengan kondisi rakyat miskin lainnya baik yang tak punya tanah atau kehilangan lahan dan pekerjaan. Hal yang sama juga terjadi pada kepentingan dan hak perempuan yang sangat tak terwakili kepentingannya dalam proses pembuatan hukum.
Dari pengalaman itu dan pengalaman lain selama 30 tahun bergelut dalam bidang hukum menunjukkan bahwa hukum bukanlah institusi sosial yang netral karena sistem hukum adalah produk politik. Sebagai produk politik hukum merupakan hasil pertarungan dari berbagai kekuatan yang ada baik di parlemen maupun di pemerintahan, dua lembaga yang menurut konstitusi mempunyai ototitas membentuk hukum. Seringkali kepentingan kelompok mayoritaslah yang termuat dalam rumusan hukum dan jangan harap kepentingan kelompok minoritas dapat dimenangkan. Pengalaman ini saya hirupi juga saat saya menjadi anggota DPR.
Sistem hukum yang adil hanya dari sebuah sistem politik dan eknomi yang adil, yang menghargai nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia dan menjunjung tinggi nilai-nilai keberagaman sosial.
Salam hangat dan tetaplah semangat,
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Nursyahbani Katjasungkana, Hal: 69-71.