SDM Tidak Memiliki Tujuan dan Hasil yang Jelas
Ukuran suksesnya departemen penjualan sangat jelas: total nilai penjualan atau total satuan produk yang terjual. Kalau ada orang di departemen penjualan yang masih ragu apa yang harus mereka lakukan, jelas orang itu menuntut untuk dipindah.
Di departemen SDM, ukuran kesuksesannya tidak sejelas itu. Secara umum, sukses tidaknya departemen SDM adalah bagaimana mereka menunjang tercapainya tujuan perusahaan. Tujuan perusahaan biasanya adalah meningkatnya pangsa pasar atau keuntungan. Bila tujuan ini diterjemahkan ke department SDM maka tujuan akhir departemen SDM adalah meningkatnya kinerja perusahaan secara keseluruhan. Artinya, walaupun total penjualan mencapai peningkatan 100% hal ini tidak berarti terjadi kenaikan kinerja bila jumlah karyawan naik 150%. Sebaliknya, hal ini benar-benar merupakan peningkatan kinerja bila terjadi peningkatan kinerja 100% dengan jumlah karyawan yang hanya naik 50%.
Kalau seorang direktur SDM berhasil meningkatkan kinerja rata-rata karyawan perusahaan dari satu rupiah per karyawan menjadi dua juta rupiah per karyawan, tidak ada yang akan mengatakan bahwa dia gagal.
Untuk meningkatnya kinerja karyawan,banyak yang harus terjadi dan dari sekian banyak hal yang termasuk dalam tanggung jawab SDM adalah:
- Mendapatkan sistem pengelolaan manusia yang konsisten dan dapat diandalkan.
- Mendapatkan orang yang tepat.
- Menempatkan mereka di tempat yang tepat.
- Meningkatkan kemampuan mereka sesuai dengan tugas mereka.
- Meningkatkan komitmen dan motivasi mereka.
- Mencegah dan memecahkan masalah manusia.
- Menindak mereka yang telah maupun berpotensi mengganggu tercapainya tujuan perusahaan.
Celakanya, beberapa departemen SDM bukan saja tidak melakukan ketujuh tanggung jawab itu, tetapi mereka bahkan mengerjakan hal-hal yang bertentangan dengan ketujuh tanggung jawab di atas. Misalnya:
- Merekrut orang berpotensi yang tidak pernah merealisasikan potensinya.
- Menempatkan orang yang kemampuannya tidak sesuai untuk pekerjaan terkait.
- Melakukan penggajian yang tidak berhubungan dengan mutu hasil kerja.
- Menunda memecahkan masalah yang sulit.
- Memberikan perlakuan yang tidak adil.
- Memberlakukan peraturan yang tidak transparan.
- Dan puluhan hal lainnya.
Mengapa banyak departemen SDM melakukan berbagai hal yang tidak tepat ini terus-menerus? Salah satu jawaban terbaik adalah karena kebanyakan perusahaan tidak mengukur kinerja SDM. Pengukuran kinerja yang sederhana sekalipun akan mendorong banyak perbaikan dalam SDM.
Mengetahui tingginya turnover, misalnya, akan membuat praktisi SDM Iebih waspada akan hal-hal yang membuat karyawan pindah ke perusahaan lain.Tingginya lembur yang berkepanjangan akan memberikan petunjuk kurangnya jumlah karyawan yang mampu bekerja di bagian terkait.
Apa sajakah pengukuran yang dapat digunakan oleh SDM? Banyak sekali. Tetapi, kita tidak membutuhkan semua ukuran. Di bagian keuangan, hanya ada sejumlah ukuran penting seperti ROI, ROA atau EBIT. SDM bisa meniru dan menggunakan beberapa pengukuran yang menunjukkan kinerja SDM.
Beberapa pengukuran yang bisa dengan cepat digunakan oleh SDM adalah:
- Besarnya turnover (berapa karyawan yang keluar dalam suatu periode).
- Biaya turnover (keluarnya karyawan dan biaya mencari gantinya).
- Lamanya jangka waktu orang bekerja di perusahaan.
- Jumlah usulan yang didapat dari karyawan.
- Total penghasilan dibagi jumlah karyawan.
Sedangkan beberapa pengukuran yang sedikit lebih rumit adalah:
- Persentase karyawan yang kinerjanya meningkat atau menurun selama setahun terakhir.
- Persentase anak buah yang kinerjanya meningkat atau menurun di bawah pimpinan manajer tertentu.
- Persentase karyawan yang tidak pernah dipromosikan.
- Persentase kepuasan yang dicapai olell karyawan setelah mendapatkan motivasi tertentu.
Tentu saja masih ada ratusan pengukuran seperti pengetahuan karyawan sebelum dan sesudah training, perubahan tingkah laku sebelum dan sesudah training, jumlah training yang diterima karyawan, jumlah promosi yang dilakukan dalam setahun, dan lain-Iain.
Namun, tidak banyak departemen SDM yang mau bersusah payah mengukur kinerja mereka. Toh, mereka tidak dituntut untuk itu. Dan mungkin juga mereka mengalami kesulitan menilai kinerja mereka sendiri. Tidak adanya pengukuran yang konsisten inilah yang kadang membuat pekerjaan SDM dianggap kurang “pasti”.
Celakanya, banyak orang SDM yang juga lemah dalam angka sehingga mereka lebih suka menghindari pengukuran. Akibatnya, di berbagai perusahaan yang sangat sukses, pemimpin SDM bukanlah orang berlatar belakang pendidikan psikologi, SDM atau hukum tetapi justru dari latar belakang lain seperti keuangan atau teknik.
Bahkan, beberapa perusahaan memiliki kebijakan untuk menempatkan manajer operasi yang sudah senior untuk memimpin departemen SDM karena mereka lebih mengerti bisnis perusahaan. Hal ini merupakan tantangan bagi praktisi SDM yang tidak tajam dalam hardskills.
Berbagai pakar SDM menemukan bahwa departemen SDM yang lemah di banyak perusahaan diisi dengan orang-orang yang tidak “menonjol dalam hal apa pun”. Ada persepsi di banyak perusahaan bahwa orang SDM adalah mereka yang sabar, suka bergaul dengan orang lain, pekerja keras, dan dapat dipercaya. Kualitas seperti ini menciptakan citra bahwa orang-orang SDM cenderung “lemah lembut” sekaligus “tidak tegas”.
Orang Mahal vs Orang Murah
Klara adalah seorang manajer SDM bagian perekrutan di sebuah perusahaan produsen snak. Dia bersama anak buahnya memproses puluhan lamaran setiap hari. Bagi Klara, tugas intinya adalah memenuhi “pesanan sumber daya manusia” dari departemen-departemen lain.
Ketika marketing mengajukan permintaan untuk 2 orang staf riset, dari 75 pelamar, Klara akhirnya mengajukan 11 orang kandidat yang mutunya “lumayan” dan biayanya paling “murah”. Bagi Klara, penghematan sangat penting. “Toh,” kata Kiara, “kita tidak tahu potensi dari ke 11 orang itu”.
Bagi Klara, aktivitasnya sudah mencapai tujuan yang ada dalam pikirannya, yaitu memenuhi pesanan SDM untuk marketing dengan biaya yang tidak membebani perusahaan. Banyak perusahaan akan merekrut Klara yang setia ini.
Ketika Klara diganti Lina, terjadi perubahan yang sangat menyolok. Seperti Klara, Lina juga mencatat permintaan gaji sang karyawan, tetapi lebih dari itu dia meningkatkan cara mewawancarai sehingga kandidat lebih tersaring.
Ketika departemen marketing mengajukan permintaan untuk staf riset, Lina membutuhkan waktu 2 bulan sebelum akhirnya memutuskan bahwa ada 2 orang kandidat yang diajukannya pada calon atasan mereka. Yang mengejutkan adalah bahwa ke 2 orang itu adalah orang termahal nomor 2 dan 3 dari semua kandidat yang diwawancarai.
Dengung komentar mulai terdengar dari departemen lain yang nadanya kira-kira adalah “Kalau yang dipiiih yang paling nnahal, siapa yang nggak bisa.” CEO tergopoh-gopoh memanggil Lina dan memberikan pengarahap agar mencari orang yang “tepat tapi murah”.
Lina tersenyum dan mengundang orang lain untuk mengusulkan sistem yang bisa memperbaiki kinerja SDM. Dia menielaskan bahwa dia menghitung nilai kandidat dengan pengukuran berikut:
Dasar Pengukuran Nilai
- Sifat dan sikap kandidat sesuai budaya yang di-inginkan perusahaan 20%.
- Memiliki kompetensi dan pengalaman untuk sukses kelak 20%.
- Memiliki komitmen yang tinggi untuk sukses 20%.
- Menyukai lingkungan kerja yang ada di perusahaan 20%.
- Bertahan untuk jangka waktu yang lama 10%.
- Jumlah kompensasi yang dia minta 100/0.
Lina berkata bahwa keenam hal tersebut menunjukkan padanya tentang 3 hal yang ingin diketahuinya:
1) Apakah kandidat tersebut akan berhasil di perusahaan kita?
2) Apakah kandidat akan bertahan lama?
3) Bila bertahan lama, berapakah biaya untuk mendapatkannya?
Menurut Lina, jika ada yang lebih murah dengan kemungkinan sukses yang sama, tentu ia akan memilih yang murah. Manager SDM harus membandingkan kandidat bukan hanya dari besarnya gaji yang diminta, tetapi juga mempertimbangkan kinerja yang akan dihasilkan oleh kandidat tersebut.
Beberapa pemimpin SDM memang menggunakan pendekatan yang sederhana. Keberhasilan SDM bagi mereka adalah keberhasilan mereka menekan biaya karyawan. Akibatnya, mereka cenderung menerima kandidat yang gajinya paling murah sehingga menurunkan biaya perusahaan. Pemimpin SDM seperti Lina, mulai dengan konsep yang jelas tentang faktor sukses yang dibutuhkan oleh kandidat yang akan sukses hari ini dan hari esok, menyaring kandidat yang memenuhi ketentuan itu, dan barulah membandingkan permintaan gaji dari mereka yang mutunya memang sebanding.
Namun, ada saat-saat di mana kandidat yang unggul ternyata hanya satu orang dan permintaan gajinya sangat tinggi. Apa yang dilakukan oleh Lina? Lina menjawab “Saya pernah mengalami hal itu. Saya sangat yakin kandidat ini akan sukses tetapi permintaannya sedikit melampaui batas perusahaan. Kami mendapatkan kompromi dengan menuliskan janji pemberian gaji yang lebih besar padanya, namun janji itu baru akan diberikan kelak setelah kinerjanya terbukti.
Tidak semua pemimpin SDM memiliki pengertian akan arti perekrutan strategis seperti Lina. Juga tidak semua pemimpin dapat menjelaskan dengan lugas bagaimana aktivitas SDM mereka akan membantu tercapainya karyawan yang berkinerja tinggi. Tetapi, pengertian ini sangat penting. Seorang pemimpin SDM harus yakin bahwa aktivitas yang dilakukannya bukan sekadar untuk menyenangkan perusahaan, bukan sekadar untuk menyenangkan karyawan, tetapi benar-benar penting untuk mencapai tujuan perusahaan.
Disarikan dari buku: Mengapa Departemen SDM Dibenci?, Penulis: Steve Sudjatmiko, Hal:39-46.