SDM Menjadi Pembawa Kabar Buruk
Sebagai manusia, karyawan memiliki kebutuhan-kebutuhan manusiawi yang normal seperti cuti, libur, kenaikan gaji, asuransi, kebutuhan untuk pinjaman uang, dan kebutuhan lain. Kebutuhan yang sangat banyak ini biasanya diatur oleh kebijakan SDM.
Kebijakan SDM muncul dari tiga sumber utama. Pertama adalah peraturan pemerintah, kedua adalah praktik yang berlaku di industri, dan ketiga adalah kebijakan perusahaan. Untuk sumber pertama dan kedua, SDM tidak bisa banyak berkutik. Untuk sumber ketiga, mereka biasanya mengeluarkan kebijakan dengan memperhitungkan seluruh karyawan.
Cara berpikir di SDM cukup sederhana “Kalau sebagian besar karyawan mendadak meminta hal ini, mampukah kita mengabulkannya?” Jadi, kalau SDM mengeluarkan kebijakan pemberian pinjaman untuk kepemilikan mobil (Car Ownership Program), maka SDM biasanya sudah menghitung lebih dulu berapa uang yang harus dikeluarkan untuk membeli mobil bagi SEMUA orang yang BERHAK untuk mendapatkan pinjaman kepemilikan mobil itu.
Cara berpikir SDM yang memikirkan ratusan, ribuan atau belasan ribu orang memang tidak sama dengan cara berpikir karyawan lain yang lebih terfokus pada satu orang saja, yaitu dirinya. Di sinilah masalah sering terjadi, ketika karyawan sedang tidak membutuhkan apa-apa, mereka tidak keberatan dengan berbagai kebijakan SDM. Bahkan, banyak karyawan yang menikmati berbagai kegiatan SDM yang bertujuan menciptakan teamwork, kebersamaan, atau keakraban dan sejenisnya.
Namun pada saat karyawan membutuhkan sesuatu bantuan yang amat mendesak, saat itulah biasanya mereka sering merasa bahwa kebijakan SDM tidak cukup memuaskan diri mereka: kurang banyak, kurang murah hati, kurang sering dan kurang-kurang yang lain. Apalagi setelah mereka bandingkan dengan kebijakan yang “lebih baik” yang mereka dengar dari teman mereka di perusahaan lain yang biasanya bukan orang SDM, mereka merasa lebih “panas” lagi.
Rasa senang dan tidak senang ini jarang sekali seimbang. Kepuasan selalu lebih lemah dari keinginan. Perasaan bersyukur selalu lebih lemah dibandingkan perasaan kurang. Sudah lazim bahwa ketika karyawan mendapatkan sesuatu dari perusahaan, rasa bahagia ini bertahan hanya minggu itu atau bahkan hari itu saja. Sedangkan, rasa tidak puas terus hidup dalam jangka waktu lama.
Disarikan dari buku: Mengapa Departemen SDM Dibenci?, Penulis: Steve Sudjatmiko, Hal:92-93.