Rio+20: Perusak atau Penyelamat?
Konferensi mengenai pembangunan berkelanjutan kembali berlangsung di Rio de Janeiro, Brasil. Dua puluh tahun lalu, konsep itu untuk pertama kalinya diluncurkan di tempat yang sama.
Keprihatinan muncul karena ternyata belum ada perubahan signifikan terhadap keberlanjutan hidup manusia (human security). Meskipun berbagai inisiatif telah dilakukan sejak gagasan tersebut didengungkan, pada kenyataannya justru Bumi sedang ”sakit parah” dan bisa ”koma” jika tidak ada perubahan luar biasa (quantum leap) untuk menyelamatkannya.
Sebagai satu-satunya planet yang mendukung kehidupan manusia dan tidak tergantikan, kematian Bumi berarti pula kematian kehidupan manusia.
Beban bertambah
Dalam Global Environment Outlook 2012 yang diluncurkan Program PBB untuk Lingkungan (UNEP) tepat sebelum Konferensi Rio+20 dimulai, disebutkan bahwa pertumbuhan penduduk mencapai 26 persen sejak 1990. Berarti menjadi 7 miliar tahun 2010 dan akan mencapai 9 miliar tahun 2050. Lebih dari setengah populasi tinggal di perkotaan dan krisis air mengancam kehidupan manusia karena stok air global menurun dua kali lipat (1960-2000). Akibatnya, 80 persen penduduk dunia hidup di wilayah rawan air. Penduduk perkotaan di negara berkembang, 30-50 persen hidup di bawah kelayakan dan rawan kebanjiran.
Di sisi lain, dalam dekade terakhir terjadi peningkatan pendapatan pada sebagian penduduk sehingga terjadi kenaikan konsumsi daging, ikan, dan makanan laut masing-masing 26 persen. Terjadilah kenaikan ekstrasi sumber alam dari peternakan, perikanan, ataupun kelautan.
Penggunaan sumber daya alam (bahan bakar fosil, bijih besi, dan industri mineral) naik lebih dari 40 persen menjadi 60.000 ton (1992-2005). Lebih dari 60 persen gas rumah kaca berasal dari industri energi, manufaktur, dan kehutanan.
Suhu dunia dalam 10 tahun terpanas sejak 1880. Kenyataannya hanya kurang dari 1,5 persen area laut yang dilindungi, hutan primer berkurang 300 juta hektar sejak 1990, dan naiknya sampah plastik dari 116 juta ton tahun 1992 menjadi 265 juta ton tahun 2010.
Transformasi bisnis
Terlihat dengan jelas bahwa kebutuhan akan sumber daya alam makin meningkat seiring dengan naiknya jumlah penduduk, cara operasi lembaga, dan gaya hidup manusia. Sebaliknya, daya dukung alam menurun kualitas dan kuantitasnya.
Laporan UNEP memperlihatkan Living Planet Index (kesehatan ekosistem Bumi) menurun 12 persen secara global, atau 30 persen di wilayah Asia Pasifik. Keamanan hidup manusia jelas terancam.
Dunia usaha yang melihat situasi ini bisa memilih untuk menjalankan bisnis seperti biasa atau bersikap antisipatif dan melakukan perubahan. Organisasi juga akan mengalami situasi sulit karena krisis air dan energi, langkanya lahan, dan tuntutan sosial untuk bertanggung jawab atas limbah, dan polusi, serta ketidakpedulian sosial, pada era yang terbuka seperti sekarang. Tanpa mengubah cara beroperasi dan manajemen, organisasi akan mati. Keuntungan sesaat jadi tidak berarti.
Cara baru yang harus dipertimbangkan adalah bisnis yang bertanggung jawab, yang tidak hanya mementingkan laba. UN Global Compact dengan corporate sustainability leadership telah menyiapkan kerangka aksi sebagai rujukan bagi pimpinan organisasi untuk melakukan strategi bisnis baru, keberlanjutan.
Sebenarnya telah ada rujukan bagi setiap jenis usaha. Misalnya, equatorial principles untuk perbankan dan principles for responsible investment untuk pertanian Sustainable Assesment of Food & Agricultural System.
Para pemimpin puncak organisasi memang perlu mempunyai wawasan dan komitmen sebagai warga dunia, untuk menyelamatkan kehidupan dan memastikan bahwa manusia dapat melanjutkan kehidupan dengan satu planet Bumi. Maka, misi tanggung jawab sosial dan lingkungan perlu masuk dalam kebijakan organisasi, baik dari segi manajemen, operasional, maupun tindak-tanduk karyawan. Ini sejalan dengan pembangunan berkelanjutan yang menuntut kesejahteraan ekonomi yang dibarengi keadilan sosial dan kelestarian lingkungan. Setiap organisasi punya peluang menyelamatkan organisasi dan orang lain dalam operasi bisnisnya.
Langkah awal
Sejauh ini tanggung jawab sosial lembaga lebih dipahami oleh dunia usaha. Sayang, persepsinya menjadi parsial, cukup dengan berbaik hati lewat kegiatan kedermawanan: mendirikan yayasan, mensponsori kegiatan amal, membantu korban bencana alam, ikut menanam pohon bakau, tetapi organisasi tetap beroperasi seperti biasa. Berton limbah dialirkan ke sungai, berton ikan dikeruk dengan jaring pukat, membabat hutan, dan menghasilkan produk yang tidak memedulikan keamanan. Padahal, bisnis berkelanjutan menuntut organisasi untuk bersikap benar, menerapkan etika bisnis, menghargai sumber alam, dan terutama melebihi tanggung jawab sosial lembaga.
Apa yang dapat dilakukan organisasi menuju ”bisnis berkelanjutan”? Strategi bisnis berkelanjutan dirumuskan dengan pertimbangan lingkungan dan sosial. Pertimbangan lingkungan berarti menggunakan sumber alam seefisien mungkin (more with less) dengan menekan dampak negatif pada alam (low waste, pollution, carbon), memanfaatkan sumber alam setempat sebisa mungkin. Inovasi adalah kata kunci.
Dari segi keadilan sosial, organisasi menghormati hak asasi manusia, termasuk hak buruh, melakukan perdagangan yang adil, menghargai kapasitas, pengetahuan, dan budaya lokal yang dapat dimanfaatkan, dan memiliki solidaritas tinggi kepada mereka yang kurang beruntung. Dengan tata kelola yang baik, strategi bisnis dengan pertimbangan di atas dapat diletakkan dalam ”rencana perjalanan keberlanjutan” (sustainability road map).
Mudah-mudahan kita bisa segera melihat cara menghemat air, menggunakan energi secara murah dan mudah, menghilangkan sampah, dan menciptakan industri bersih tanpa karbon. Dengan segala kemajuan teknologi sekarang, semoga dunia usaha bisa menjadi penyelamat, bukan perusak dunia.
Darwina Widjajanti Direktur Eksekutif Yayasan Pembangunan Berkelanjutan
Sumber: KOMPAS, Kamis, 21 Juni 2012, Halaman: 6.