Rio+20: Pertarungan Tak Kunjung Usai
Sekitar 120 pemerintah negara di seluruh pelosok dunia akan bertempur demi masa depan bersama. Isu besar dalam pertemuan di Rio de Janeiro, Brasil, dalam ajang Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB yang lebih dikenal dengan Rio+20 ini tetap sama: pertarungan antara negara maju dan negara berkembang. Situasinya tak berubah banyak sejak 1972 ketika dunia mulai memasukkan aspek lingkungan ke diskusi global, yang ketika itu masih didikotomikan dengan ekonomi.
Tahun 1982 lahirlah Brundtland Commission yang antara lain memasukkan unsur ekonomi, lingkungan, dan persoalan kemiskinan. Disusul tahun 1992 pada Konferensi Pembangunan Berkelanjutan PBB atau Konferensi Tingkat Tinggi Bumi di Rio yang memperkenalkan tiga pilar pembangunan, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Pada Konferensi Rio+20, 20 tahun setelah KTT Bumi pertama, akan dideklarasikan dokumen The Future We Want yang memuat masa depan yang diinginkan umat manusia di planet bumi dan bagaimana pengaturan institusinya agar keinginan tersebut tercapai. Masa depan tersebut dituliskan sebagai upaya menghindarkan kehancuran planet Bumi jika manusia terus melakukan kegiatannya seperti biasa saja (business as usual). Salah satu solusi yang bakal ditawarkan adalah ”green economy” (ekonomi ramah lingkungan) yang pada intinya berisi upaya valuasi jasa lingkungan.
Jejak sejarah global dalam upaya menyelamatkan masa depannya terkait dengan menahan laju kerusakan bumi telah berlangsung sekitar 40 tahun. Tahun 1992 telah ditelurkan Agenda 21 yang memperkenalkan paradigma pembangunan baru (pada masanya), yaitu pembangunan yang tak semata bertujuan menumpuk kapital melalui tujuan ekonomi, tetapi juga harus memasukkan aspek sosial dan lingkungan.
Keanekaragaman hayati lantas menjadi salah satu hal yang mendapat perhatian besar. Lahirlah Protokol Nagoya yang mengatur soal akses dan pembagian keuntungan (ABS) dalam penggunaan sumber daya keanekaragaman hayati.
Yang terjadi kemudian adalah pemanfaatan kekayaan sumber daya hayati oleh lembaga-lembaga raksasa dengan pembagian keuntungan kepada masyarakat lokal dalam proporsi yang dinilai tak adil. Protokol Nagoya hanya menjadi lorong baru untuk penumpukan kapital bagi lembaga transnasional di negara-negara industri.
Pada dasarnya, blok-blok yang akan saling berhadapan tidaklah berubah selama 40 tahun ini. Negara berkembang versus blok kapitalis, yaitu negara-negara industri. Pertarungan terjadi pada tiga isu besar, yaitu perdagangan, keuangan, dan teknologi yang diwakili oleh Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Bank Dunia.
Untuk pertama kalinya jabatan presiden Bank Dunia ditunjuk sosok di luar Amerika Serikat dan negara Eropa, yaitu Jim Yong-kim dari Korea Selatan. Peristiwa ini tak berdiri sendiri saat kita menyaksikan krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat dan sejumlah negara Eropa yang kolaps ekonominya. Konferensi Rio+20 akan menjadi sambungan dari cerita krisis tersebut. Negara-negara industri yang kini diterpa krisis ekonomi akan berupaya untuk bisa mewujudkan green economy melalui pendekatan pasar dan institusi finansial.
Konsep green economy kemudian menjadi dekat dengan istilah-istilah yang telah ada dalam meja perundingan perubahan iklim, yaitu persoalan offset karbon dan perdagangan karbon. Emisi karbon telah menjadi ”penjahat” penyebab perubahan iklim. Green economy oleh kalangan masyarakat sipil dipandang sebagai fase kedua dari kapitalisme, dengan memberikan harga pada alam. Serupa dengan Protokol Nagoya.
Pada konsep green economy juga harus ditegaskan adanya penghargaan terhadap lokalitas, pengetahuan lokal, dan harus ada solidaritas sosial. Solidaritas sosial ini berbeda dengan corporate social responsibility yang dikaitkan dengan profit lembaga. Solidaritas sosial harus lepas dari urusan profit lembaga, sebaliknya adalah mengutamakan pembangunan sosial.
Dalam kesepakatan bersama juga tercantum akan adanya dukungan finansial dan pembangunan kapasitas (capacity building) juga harus dilakukan di negara berkembang dengan dukungan negara industri. Yang terjadi kemudian adalah modal dialokasikan bukan untuk hal bersifat berkelanjutan, melainkan untuk mengeruk sumber daya sebesar-besarnya. Menyengsarakan rakyat dan menyengsarakan planet. Motor pembangunan ekonomi adalah non-state factor, yaitu organisasi transnasional yang tidak bisa diatur oleh siapa pun.
Ironi selalu muncul dalam setiap perundingan global untuk membangun bumi yang berkelanjutan. Ironi itu adalah pengetahuan bahwa pendorong pembangunan tak berkelanjutan ini telah diabaikan. Dilupakan atau berlagak lupa. Pembangunan yang sekarang berlangsung adalah akumulasi kapital dari negara-negara maju. Pada akhirnya, negosiasi selalu berjalan lambat dan bertele-tele.
Peran Indonesia
Perlu diingat, dasar negosiasi pada Rio+20 adalah prinsip ”common but differentiated responsibilities” (sama tetapi berbeda tanggung jawab). Sama dalam hal membangun dunia dengan menghiraukan keberlanjutan alam dan lingkungan, tetapi berbeda bebannya.
Yang diharapkan sebenarnya adalah bagaimana negara berkembang bisa bekerja sama untuk meningkatkan efisiensi energi dan mengembangkan energi terbarukan. Di sana harus terjadi transfer teknologi. Sejarah tertulis, Agenda 21 tidak jalan. Transfer teknologi tidak pernah terjadi.
Pertanyaan peserta diskusi sekaligus gugatan yang muncul adalah: mengapa Indonesia tidak melakukan langkah ”meniru” dan ”mencuri” teknologi? Mengapa seakan Indonesia terima saja menjadi ”good boy”. Pemerintah Indonesia kemudian dinilai tidak memiliki desain besar politik luar negeri, sama seperti Indonesia tidak memiliki Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Ketika Indonesia bersikap sebagai ”good boy”, yang terjadi adalah kerusakan masif lingkungan di dalam negeri dan merebaknya konflik sosial di sejumlah kawasan konsesi hutan.
Padahal, dari peserta diskusi muncul pendapat kuat, Indonesia sebenarnya amat ditunggu-tunggu kepemimpinannya oleh negara-negara lain. Indonesia bisa menjadi inisiator menyuarakan kepentingan negara-negara miskin dan negara-negara berkembang.
Pada era lahirnya Indonesia, presiden pertama RI Soekarno memilih jalan konfrontasi yang berakhir dengan karut-marut ekonomi. Utang menumpuk. Soeharto, pemimpin Orde Baru, memilih jalan kooperatif. Survival didahulukan. Swasembada pangan diincar. Untuk bisa survive perlu kerja sama dengan negara maju. Namun, jangan sampai jadi pion seperti Filipina yang menjadi pion Amerika. Intinya, memperkuat diri dari dalam. Sementara untuk bersekutu dengan pihak negara-negara miskin, negara-negara Selatan, mereka pun belum kuat.
Maka, pilihan yang nalar adalah Indonesia sebagai bagian dari Asia menjadi jembatan antara negara-negara Brasil, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS). Maka, Indonesia perlu berjalan ”zig-zag” untuk memenangi pertempuran: di mana rakyat Indonesia bisa terus maju, tetapi Indonesia tidak bubar seperti Uni Soviet.
Pada Rio+20, Presiden Indonesia terpilih sebagai satu dari tiga kepala negara—dua lainnya Presiden Liberia Ellen Johnson Sirleaf dan PM Inggris David Cameron—sebagai Panel of Eminent Person atas pilihan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon. Ketiganya bertugas membantu Ban Ki-moon dan membicarakan dengan anggota PBB lain tentang Post 2012.
Maka, posisi Indonesia menjadi strategis untuk merangkul Utara (negara maju) dan Selatan (negara miskin dan negara berkembang). Tujuannya adalah agar Indonesia tetap ada pada 100 tahun usianya nanti. Itulah pertarungan global yang bakal berlangsung di Rio de Janeiro dan konteksnya untuk keberlanjutan Indonesia. Soal pembangunan berkeberlanjutan? Kita masih harus sabar menanti, menanti pertarungan itu usai….