Rio+20: Paradigma Baru Pembangunan
Pemerintah Indonesia dan organisasi masyarakat madani akan menghadiri Konferensi PBB tentang Pembangunan Berkelanjutan itu. Konferensi ini memperingati 20 tahun Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan (UNCED) pada 1992 di Rio de Janeiro serta 10 tahun Pertemuan Puncak Dunia untuk Pembangunan Berkelanjutan (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan.
Konferensi Rio+20 fokus pada dua topik, yaitu ekonomi hijau (green economy) dalam konteks pembangunan berkelanjutan untuk penghapusan kemiskinan dan kerangka institusi untuk pembangunan berkelanjutan. Ada tiga pilar sebagai kerangka konferensi: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan. Ada tujuh area pembahasan prioritas, yaitu penciptaan lapangan kerja, keamanan pangan dan pertanian berkelanjutan, kota-kota yang berkelanjutan, energi, air, pemanfaatan laut, serta kesiapan menghadapi bencana.
Meski membawa tema yang menyuarakan kepedulian pada masalah sosial dan lingkungan serta keseimbangan pembangunan antara negara kaya dan negara berkembang, pengalaman dari rangkaian konferensi lingkungan sebelum ini menimbulkan keraguan tercapainya pembangunan yang adil.
Isu utama pada dasarnya tidak berubah, yaitu benturan kepentingan dalam perdagangan, sektor finansial, dan teknologi yang menjadi kepentingan kelompok negara kapitalis. Dalam konteks lingkungan, terutama perubahan iklim, pencemaran per kapita negara maju berdasarkan pelepasan karbon ke udara lebih besar daripada negara berkembang.
Untuk mengompensasi pencemaran di negara kaya, muncul skema-skema penyelamatan lingkungan, salah satunya melalui alih teknologi. Kenyataannya, alih teknologi tidak terjadi karena menyangkut keberlanjutan dan maksimalisasi kekayaan negara maju. Pembagian manfaat yang adil antara negara kaya dan negara berkembang juga tak terwujud.
Ekonomi hijau sebagai pembangunan berkelanjutan dengan memperhatikan lingkungan dan sosial, dalam praktiknya, dimanfaatkan negara kaya untuk terus membangun seperti biasa demi memaksimalkan keuntungan. Contohnya, penanaman pohon dianggap menyelesaikan pencemaran karbon, benih tanaman pangan hasil rekayasa genetika serta benih tahan banjir dan kekeringan diproduksi lembaga transnasional sehingga membuat petani negara berkembang tergantung. Skema mengkompensasi pencemaran karbon di negara kaya dilakukan dengan membantu pembangunan negara berkembang asalkan memelihara lingkungan, biasanya berupa hutan. Intinya, tidak terjadi perubahan paradigma pembangunan yang menguras sumber daya alam meski menggunakan label ekonomi hijau.
Perubahan paradigma
Ada nada pesimistis konferensi Rio+20 akan membawa hasil nyata untuk mengatasi masalah sosial dan lingkungan.
Karena itu, muncul suara agar Indonesia melakukan perubahan paradigma pembangunan untuk memperkuat dalam negerinya. Dengan cara itu Indonesia dapat mengambil peran menjadi jembatan antara negara kaya dan negara berkembang.
Syaratnya, pembangunan ekonomi bukan lagi mengejar pertumbuhan tinggi, tetapi optimalisasi pertumbuhan. Pembangunan yang hanya mengejar pertumbuhan berdampak pada masyarakat sosial berupa kemiskinan dan ketimpangan serta lingkungan dalam wujud perubahan iklim dan merosotnya keanekaragaman hayati. Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) untuk menurunkan hingga separuh jumlah orang miskin pada 2015 cenderung tidak akan tercapai.
Akar kerusakan sosial dan lingkungan adalah gagalnya pasar menampung kebutuhan sosial dan lingkungan dalam pasar ekonomi. Jasa sosial dan lingkungan tidak punya nilai karena tidak punya ”harga pasar”. Udara, misalnya, dianggap barang bebas sehingga orang merasa bebas mencemari.
Pembangunan berkelanjutan Indonesia harus beralih dari sekadar pembangunan ekonomi menjadi pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan. Bukan hanya pemerintah, dunia usaha juga harus mengubah paradigmanya dari hanya mencari untung menjadi keuntungan berkelanjutan dengan kesejahteraan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
Hanya dengan mengikutsertakan masyarakat serta menjaga kohesi sosial dan membangun demokrasi substansial, Indonesia akan tetap ada hingga setidaknya tahun 2045.
(Ninuk M Pambudy)
Sumber: KOMPAS, Selasa, 12 Juni 2012, Halaman: 1.