Resilency Respect Rights Based (3R)
Pendekatan program 3R dipopulerkan oleh Susan Walsh pada Konferensi PBB Tentang Lingkungan Hidup di Stockholm, Swedia, tahun 2003. Konsep 3R merupakan hasil penelitian antropologis masyarakat petani miskin di daerah pegunungan Honduras yang disusun sebagai disertasi dan pendapatkan apresiasi luas karena ada tiga temuan penting: (a) ketergantungan pada pengetahuan dan barang-barang dari Barat menghasilkan erosi kearifan lokal; (b) penerapan gaya belajar model Barat untuk memecahkan masalah rumit telah menghasilkan erosi kemandirian; (c) ekosistem yang tidak mendukung kebiasaan kearifan lokal (mengatasi tanah tandus) telah menghasilkan erosi keanekaragaman hayati. Temuan tersebut mengukuhkan pendapat bahwa model pembangunan dari negara-negara Utara (Barat) justru merusak kondisi alam negara Selatan (Timur).
Esensi penting strategi 3R adalah kenyataan bahwa perbaikan nasib petani dapat dicapai dengan pendekatan pembangunan yang mengintegrasikan 3R, yakni integrasi secara menyeluruh dalam semua tahap implementasi dimensi resiliency (pemberdayaan dan peningkatan ketangguhan masyarakat dan daya lenting petani untuk kemandirian) dengan dimensi respect (pembangunan jaringan antar masyarakat petani di berbagai daerah) dan dengan dimensi rights-based (pemenuhan kebutuhan dasar hak-hak petani). Integrasi tiga dimensi tersebut menyatukan dimensi mikro, messo dan makro kehidupan para petani. Pendekatan tersebut sekaligus meneguhkan bahwa integrasi antara usaha-usaha pemberdayaan masyarakat yang berdimensi mikro harus diperkuat dengan pembangunan jaringan kerja antar petani (dimensi messo) untuk memastikan keberhasilan kegiatan advokasi kebijakan publik. Demi terciptanya kebijakan publik yang dapat memastikan terpenuhinya hak-hak dasar petani untuk jangka panjang. Konsep pendekatan program tersebut merupakan perbaikan sekaligus melengkapi konsep pendekatan program empat generasi yang sudah dirumuskan David C. Korten (1999) berdasar pengalaman NGO di Asia Timur dan tenggara, khususnya Thailand, Filipina, Indonesia, Malaysia.
Konsep 3R telah mengukuhkan praktik dan meneguhkan pengalaman SATUNAMA bagaimana program pemberdayaan masyarakat yang dilakukan di desa-desa di sebelas provinsi seluruh Indonesia telah diperkaya dan diperkuat oleh jaringan OMS di tiga belas provinsi. Posisi penulis sebagai salah satu penggagas ICF dan karenanya duduk sebagai elemen pengurus ICF sampai proyek berakhir dan berdiri Lembaga baru bernama YAPPIKA, menyebabkan terjadinya sinergi antara kekuatan program SATUNAMA dengan program-program penguatan kapasitas Forum LSM di 13 provinsi. Forum LSM memiliki mandat utama untuk memperkuat LSM sebagai gerakan perubahan. Setelah Forum LSM mulai hidup, banyak kegiatan kerakyatan yang dapat ditumbuhkan untuk mempromosikan lahirnya organisasi rakyat. Jaringan antar Forum LSM berhasil memperluas cakupan gerakan perubahan di tingkat provinsi dan lokal untuk mendukung promosi demokrasi dan ide-ide alternatif demi terciptanya perubahan Indonesia ke arah demokrasi yang lebih partisipatoris. Keberhasilan menghidupkan Forum LSM di berbagai provinsi telah menyumbang pada penguatan gerakan perlawanan terhadap dominasi kekuatan anti-demokrasi, sehingga promosi demokrasi meluas ke daerah dan tidak hanya terkonsentrasi di Jakarta atau provinsi-provinsi di Jawa saja. Gerakan perubahan itulah yang pada akhirnya saling tergabung dalam arus besar gerakan reformasi yang berhasil mendukung penurunan Soeharto pada 21 Mei 1998.
Disarikan dari buku: Jurnal Akuntabilitas Organisasi Masyarakat Sipil (Otokritik Akuntabilitas Internal Governance LSM), Penulis: Methodius Kusumahadi, Hal: 9-11.