Rakyat dan Kepemimpinan
Oleh: Paulinus Yan Olla
Apatisme masyarakat yang semakin meluas untuk berpartisipasi dalam pemilu telah menimbulkan kekhawatiran tentang terancamnya demokrasi di negeri ini (Kompas, 6/9).
Kekhawatiran itu beralasan kuat karena pemilu merupakan bentuk minimal partisipasi politik. Tanpa partisipasi politik, demokrasi terancam lumpuh. Ada apa dengan rakyat?
Di negeri-negeri yang demokratis, ”suara rakyat adalah suara Tuhan” (vox populi vox Dei). Apa yang dititahkan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi para pemimpinnya. Di negeri ini, keadaannya terbalik. Suara rakyat dikejar, dirindukan, dan biasanya diakali (baca: dibeli) menuju takhta kekuasaan hanya pada saat-saat pemilu. Selanjutnya rakyat dilupakan karena para wakil atau pemimpinnya sibuk merayakan kekuasaannya bagi dirinya sendiri.
Kepemimpinan Semak Duri
Cerita bijak dalam tradisi Yahudi-Kristiani tentang kekuasaan mungkin dapat melukiskan dengan baik perilaku para calon pemimpin bangsa menyambut tahun Pemilu 2014. Sekali peristiwa pohon-pohon pergi mengurapi sebatang pohon yang akan menjadi raja atas mereka.
Mereka meminta kesediaan pohon zaitun, tetapi pohon itu menjawab: ”Masakan aku meninggalkan minyakku yang harum dan pergi melayang-layang di atas pohon-pohon?” Pohon-pohon itu lalu meminta kesediaan pohon ara dan pohon anggur, tetapi keduanya pun menolak. Akhirnya, mereka meminta semak duri menjadi rajanya. Semak duri menerima pinangan tersebut dan bahkan mengundang mereka berlindung di bawah naungannya. Semak duri merupakan personifikasi raja-penguasa yang memberi perlindungan semu karena dalam praktik kekuasaannya, ia hanya menyebar kekerasan dan derita bagi rakyatnya.
Menjelang Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Presiden 2014, survei-survei marak dilakukan untuk meminang calon-calon pemimpin. Partai-partai politik membayar lembaga-lembaga survei untuk mengetahui elektabilitas capres yang akan diusung (Kompas, 11/9/2013). Namun, dalam narasi di atas, elektabilitas saja ternyata tidak mencukupi. Kesiapsediaan semak duri tidak menjamin terwujudnya kesejahteraan karena hakikatnya dirinya hanya membawa penderitaan bagi pohon-pohon yang dipimpinnya.
Kaderisasi kepemimpinan melalui partai-partai politik seharusnya menumbuhkan calon-calon pemimpin yang bagaikan pohon zaitun. Minyaknya bisa menyehatkan rakyat dan mengharumkan nama bangsa di ranah internasional. Dari rahim partai-partai politik, seharusnya lahir pula pemimpin-pemimpin seperti pohon anggur dan pohon ara. Kemanisan buahnya seharusnya membuat rakyat terbebaskan dari derita dan kelezatannya seharusnya dinikmati rakyat sebagai buah kesejahteraan serta keadilan sosial seperti dijanjikan dalam UUD 1945.
Keengganan, bahkan putus asanya, rakyat untuk berpartisipasi dalam demokrasi kiranya berakar pada kekecewaan rakyat yang mendalam terhadap partai-partai politik yang lebih banyak menghasilkan pemimpin berwatak semak duri. Rakyat dilukai, tidak dilindungi.
Pemerintahan oleh pemimpin semak duri tetap merasa nyaman membiarkan korupsi menyerobot hak ekonomi dan hak masyarakat untuk menikmati kesejahteraan pembangunan bangsa. Vonis terhadap koruptor ternyata terlalu ringan. Dari 240 terdakwa yang disidang sejak 2005 hingga 2009 di Jakarta, misalnya, rata-rata hanya dihukum 3 tahun 6 bulan penjara. Koruptor yang masih menjadi buron dibebaskan dari jerat hukum dan semakin besar uang yang dikorupsi semakin ringan hukuman terhadap koruptornya. Kenyataan itu jelas lahir dari kepemimpinan semak duri yang hakikatnya suka melukai hati rakyat.
Memoles Diri
Sangat ironis, partai-partai politik dan pemimpin bangsa yang seharusnya jadi penyambung lidah rakyat ternyata kehidupan serta perasaannya tidak menyatu dengan rakyat. Mereka terasing dan untuk itu perlu menghabiskan banyak dana untuk menyelidiki hati rakyat melalui survei. Saat yang sama, mereka memoles diri agar tampak layak menjadi pemimpin berkualitas pohon zaitun, pohon ara, atau pohon anggur, padahal hakikat dirinya sebenarnya hanyalah semak duri.
Studi terhadap demokrasi Indonesia memperlihatkan bahwa komitmen masyarakat terhadap demokrasi sebenarnya cukup tinggi sejak reformasi. Indonesia bahkan jadi negara paling demokratis di Asia Tenggara.
Namun, studi itu memperlihatkan pula, demokrasi Indonesia akan melemah dan mengalami penurunan dukungan apabila pelaksanaan demokrasi, terutama di bidang hukum dan ekonomi, buruk. Semakin negatif warga menilai kinerja pemerintah, semakin negatif pula penilaian mereka atas kinerja demokrasi. Komitmen terhadap demokrasi pun akhirnya akan melemah (Saiful Mujani dkk, Kuasa Rakyat, 2012).
Di tengah berlimpahnya jumlah petaruh bursa calon presiden, partai-partai politik hendaknya tidak melupakan panggilan etisnya membangun kepemimpinan pada masa depan yang berfokus kepada kepentingan rakyat. Rakyat perlu dilindungi dari pemimpin semak duri.
Kepemimpinan yang terakhir hanya akan sibuk merayakan kekaguman terhadap diri sendiri dan praktik kekuasaannya akan terus membesarkan diri dengan mencekik rakyatnya hingga mati lemas. Jika demikian, konsolidasi demokrasi terancam gagal dan negeri ini rawan terus-menerus mengadakan pergantian rezim melalui chaos sosial karena aspirasi rakyat yang secara berkepanjangan dikhianati para pemimpinnya.
Paulinus Yan Olla MSF Rohaniwan; Lulusan Program Doktoral Universitas Pontificio Istituto di Spiritualità Teresianum, Roma; Bekerja dalam Dewan Kongregasi MSF di Roma, Italia.
Sumber: KOMPAS, Sabtu, 19 Oktober 2013.