Raja Media dan Pabrik Setrum
Ayah saya seorang petani miskin,” kata Dahlan. Setelah Dahlan tamat SMA, orang tuanya tak sanggup membiayainya kuliah. Dahlan lalu ikut kakaknya di Samarinda untuk kuliah. Tapi di kampus IAIN Samarinda, dia hanya betah dua tahun dan lebih menyibukkan diri di koran kampus. Akhirnya ia jadi wartawan sebuah koran lokal.
Nasib mengantarkannya ke Majalah Tempo, di Jakarta. Dahlan berhasil membuat laporan eksklusif tentang pelarian terpidana mati Kusni Kasdut. Dia juga berhasil membuat laporan bagus soal tenggelamnya kapal Tampomas II. Tempo menugaskannya menjadi Kepala Biro Surabaya, tahap yang kemudian mengubah jalan hidup Dahlan.
Pada 1982, Tempo membeli koran Jawa Pos, dan Dahlan ditugaskan untuk mengepalainya. Masa kecil Dahlan yang penuh dengan kesederhanaan, ditambah disiplin dan kerja keras, justru menjadi bekal dia membesarkan Jawa Pos menjadi salah satu konglomerasi media.
Hidup Dahlan seolah akan berhenti ketika dia muntah darah pada 2005. Pria 61 tahun ini rupanya terkena virus hepathitis B yang berkembang menjadi sirosis. Dokter memvonisnya hanya bisa bertahan tiga bulan. Satu-satunya pilihan adalah transplantasi hati. Pada Agustus 2007, Dahlan menjalani operasi cangkok hati di China. Berhasil.
Pasca operasi hati, Dahlan bukannya mundur dari dunia bisnis. Ia hanya rehat sejenak dan kembali memimpin kerajaan bisnis Jawa Pos yang terus membesar.
Dua tahun setelah cangkok hati, dunia Dahlan bergerak, dari media ke pabrik setrum. Dahlan diminta memimpin PT PLN. Karirnya melejit.
Oktober 2011, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuknya menjadi Menteri Negara BUMN. Dahlan menggebrak. Salah satu topik heboh adalah ketika dia menggratiskan tol akibat macet.
Jejak langkah Dahlan banyak mengundang kontroversi. Ada yang menyebut gebrakannnya memecah kebekuan birokrasi, sebagian lain menuding Dahlan sekadar bermain jurus pencitraan. Dahlan tak peduli, dia terus berjalan.
Untuk Gina, anak muda Indonesia …
Gina, selamat ulang tahun ya. Meski ulang tahunmu yang ke-22 resminya baru minggu depan, tidak ada salahnya kusampaikan sekarang. Mumpung ingat. Kesibukanku sebagai Menteri BUMN sering membuat lupa ulang tahunnya teman-temanku. Bahkan aku juga lupa ketika anak laki-lakiku sendiri, si Azrul Ananda berulang tahun 4 Juli lalu. Padahal seharusnya aku ingat, setidaknya karena bersamaan dengan ulang tahun kemerdekaan Amerika Serikat.
Gina, apa kabar sahabatmu, si Andri? Bukankah dia juga segera berulang tahun yang ke-23 bulan depan? Tolong sampaikan juga ucapan ulang tahun dariku untuk Andri.
Kalian berdua sangat mengesankanku. Setidaknya ketika kalian menghadiri kuliah umum yang kuberikan di universitasmu. Kuliah umum yang kubuat cair dengan caraku: tidak bicara di podium melainkan sambil mondar-mandir di depan mahasiswa dan siapa pun boleh memotong kuliahku dengan pertanyaan maupun pernyataan.
Aku ingat, pertanyaanmu, demikian juga pertanyaan Andri yang begitu kritis. Hari itu puluhan mahasiswa yang mengangkat tangan untuk bertanya, tapi hanya beberapa yang kebagian waktu. Termasuk Anda berdua. Aku tergagap mencari-cari jawaban atas pertanyaan kalian. Mulai soal politik energi, pangan, sampai soal mobil listrik.
Dari Andri aku tahu bahwa kalian ternyata berteman akrab sebagai sesama aktivis mahasiswa. Makanya kalian terlihat sangat dewasa. Bukan saja kalian sudah pada tahap akhir kuliah, tapi aktivitas Anda di gerakan mahasiswa membuat secara kejiwaan Anda terlihat lebih dewasa. Seorang aktivis memang beda dengan mahasiswa yang sekadar kutu buku. Kalian terihat lebih berorientasi pada problem masyarakat yang nyata. Bukan hanya bicara soal teori-teori seperti yang dipelajari seorang kutu buku.
Waktu itu aku tidak bisa tuntas memberikan penjelasan. Waktu tidak cukup. Pembicara sebelumku begitu panjang berbicara. Menghabiskan jatah waktuku. Tidak mengapa. Toh, waktu itu setelah minta foto bersama di depan kampus, kalian memberikan alamat email kepadaku. Melalui email itulah sekarang aku bisa bersurat pada kalian.
Aku selalu membayangkan Gina segera lulus tahun ini dan terjun ke dunia kerja tahun depan. Seperti juga Andri yang meskipun sudah lulus tahun lalu tapi masih sering ke kampus mengurus kegiatan mahasiswa. Aku tidak tahu kalian ingin jadi pegawai, melanjutkan kuliah atau ingin mandiri menjadi profesional. Atau juga jadi pengusaha. Dalam hati kecilku aku berharap yang terakhir itu. Jadi pengusaha! Sebaliknya aku sangat khawatir kalau kalian tertarik menjadi politisi. Semoga tidak ya! Masyarakat sudah kian muak pada politik dan begitu kesal terhadap politisi. Masak kalian mau terjun ke bidang yang begitu dibenci oleh masyarakat.
Negara ini sudah terlalu banyak politisinya. Tentu aku tidak rela kalian jadi politisi. Demikian juga negara ini begitu birokratisnya: masak kalian ingin jadi birokrat? Aku tidak melihat kalian cocok jadi birokrat. Pikiran kalian yang setengah liar itu, kreativitas kalian yang begitu kuat dan kecerdasan kalian yang sangat menonjol rasanya rugi kalau kalian jadi birokrat.
Bayangkanlah ketika kalian kelak berumur 30 tahun. Itu berarti delapan tahun lagi! Tidak lama lho!
Delapan tahun lalu rasanya baru kemarin. Berarti delapan tahun lagi juga segera tiba.
Delapan tahun lagi kalian berumur 30 atau 31 tahun. Pada saat kalian berumur 30 tahun itulah, aku membayangkan kalian sedang di puncak ambisi kalian. Kalau kalian menjadi pegawai negeri, ambisi kalian tidak akan tersalurkan. Kalian akan terkungkung oleh sekat-sekat dan aturan yang sangat mengungkung. Umur 30 tahun adalah umur yang ideal untuk mewujudkan ambisi seorang manusia.
Karena itu carilah lahan yang bisa memberikan peluang bagi seorang yang berumur 30 atau 31 tahun untuk seluas-luasnya berkreasi mengejar ambisi.
Itu hanya akan bisa terjadi di dunia swasta. Khususnya dunia usaha mandiri. Dengan menjadi pengusaha Anda seperti berada dalam dunia yang tidak terbatas. Tidak ada sekat dan idak ada langit. Tapi memang tidak juga mudah. Untuk mencapai tahap itu kalian harus memasuki sebuah ruang yang gelap. Untuk mencari pintunya di mana, kalian hanya bisa mengira-ngira atau meraba-raba. Kalian tidak bisa membedakan mana pintu dan mana dinding. Bahkan kalian tidak bisa melihat kalau pun di lantai itu penuh kotoran atau lubang. Bisa jadi dalam mencari-cari di mana pintu keluar itu kalian akan menginjak kotoran atau bahkan terjeglong lubang. Mungkin kalian akan berdarah-darah.
Tapi dengan kecerdasan, kegigihan, dan usaha yang tidak mengenal menyerah, akhirnya kalian akan menemukan jalan keluar dari ruang gelap itu. Bisakah kita menemukan pintu keluar itu tanpa harus masuk ruang gelap lebih dulu? Aku tegaskan: tidak bisa. Pintu itu memang adanya di balik ruang gelap tersebut. Banyak orang tidak menemukan pintu tersebut karena segan atau malas atau takut memasuki ruang gelap tersebut. Aku yakin kalian bukan tipe penakut.
Aku perkirakan, kalian akan berada di ruang gelap itu selama 6 tahun. Kok lama? Memang begitulah naturalnya, sunnatullahnya. Di dalam kegelapan itu kalian banyak sekali belajar terkena kotoran, terkena lubang, terkena paku dan bahkan kebentur dinding yang sampai membuat kalian pinsan. Tapi semua itu membuat jiwa kalian matang. Membuat kalian akhirnya menemukan pilihan terbaik yang akan kalian tekuni.
Saat kalian menemukan pintu itulah kalian berumur 30 tahun. Kurang sedikit atau lebih sedikit. Pada saat itulah kalian berada dalam puncak keperkasaan seorang manusia. Sebagai lulusan universitas, kalian memiliki intelektualitas yang tinggi. Sebagai anak muda kalian memiliki fisik yang prima yang mampu tidak tidur selama 2 x 24 jam. Tidak seperti aku yang sudah berumur 61 tahun. Tidak tidur satu malam penuh saja sudah masuk angin. Kalian, di umur 30-an tahun, memiliki fisik yang tidak bisa dilawan siapa pun. Saat itulah kalian bisa kerja siang-malam untuk mengejar ambisi kalian.
Intelektualitas, kalian punya. Kekuatan fisik, kalian punya. Lalu, dengan 6 tahun berada di ruang pencarian yang gelap itu kalian sudah sangat matang. Intelek, muda, matang! Itulah tiga gelar kalian yang utama. Yang lain-lain hanya embel-embel.
Gina, waktu aku berumur 31 tahun, aku hanya memiliki dua dari tiga gelar yang kalian miliki itu. Muda dan matang. Tapi tidak memiliki intelektualitas yang cukup seperti kalian karena aku hanya lulusan SMA, tepatnya madrasah Aliyah.
Itulah sebabnya, Gina, Anda maupun Andri akan lebih sukses dari aku. Kalian punya modal lebih. Asal kalian tahu memanfaatkan umur antara kalian tamat universitas sampai kalian berumur 30 tahun itu.
Bahkan ada satu modal lagi yang tidak aku miliki dulu. Yakni kondisi ekonomi negara. Waktu aku berumur 31 tahun, ekonomi Indonesia masih sangat tertinggal. Pendapatan per kapita penduduk kita dulu, mungkin baru 300 dolar. Artinya, tidak banyak peluang yang tersedia bagiku.
Namun, ketika kalian berumur 31 tahun nanti (dan sekali lagi itu terjadi tidak akan lama), ekonomi Indonesia sudah sangat maju. Setidaknya sudah dua kali lipat dari ekonomi Indonesia sekarang ini. Kue ekonomi Indonesia luar biasa besarnya. Berarti kesempatan kalian berkiprah di bidang ekonomi ibaratnya kalian menemukan kolam yang sangat luas yang penuh dengan ikan. Kalian bisa mendapatkan ikan sebanyak-banyaknya. Meski pun bisa juga kalian dimakan oleh ikan-ikan itu. Ini kalau kalian tidak menyiapkan diri bagaimana hidup di kolam ikan yang sangat besar.
Sekarang saja, pendapatan per kapita rakyat Indonesia sudah 3.500 dolar. Sudah 10 kali lipat dari waktu aku berumur 31 tahun dulu. Ibaratnya kolam ikannya sekarang sudah 10 kali lipat lebih besar. Ketika kalian berumur 31 tahun nanti, kolamnya sudah 20 kali lebih besar dari zamanku dulu.
Gina, aku tidak akan mempengaruhi Anda. Juga Andri. Kalian punya pikiran sendiri dan punya pilihan hidup sendiri. Aku hanya memberikan gambaran mengenai pilihan-pilihan yang mungkin terjadi. Kalian sendiri yang memilihnya. Setidaknya aku merasa lega bisa menjawab pertanyaan kalian saat kuliah umum itu. Titik. Selesai. Habis. Tanggung jawabku sudah tuntas. Pertanyaan kalian sudah kujawab. Tapi, kalau Gina punya waktu untuk memberikan komentar atas jawabanku ini, aku akan lebih senang.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Dahlan Iskan, Hal: 96-99.