Puisi pun Jadi Berotot dan Keren
Bagi remaja pria di era 1990-an, Gola Gong bukanlah nama yang asing. Serial Balada si Roy, karyanya yang terbit berkala di majalah Hai, menjadi bacaan wajib. Pada diri Roy remaja pria saat itu berkaca. Kisah-kisahnya menginspirasi dalam bentuk yang berbeda. Roy bukan anak baik yang sempurna. Roy adalah remaja biasa dengan aneka kenakalan. Tapi justru itu yang membuat Roy dekat dengan para remaja.
Ketika bacpacking belum menjadi tren, Gong telah menuliskan kisah perjalanan Roy dengan ransel lusuhnya ke banyak tempat di Nusantara. Mereka yang tak punya kesempatan melancong seperti itu serasa diajak traveling oleh Gong lewat serialnya. Banyak orang terinspirasi mencoba perjalanannya sendiri.
Gong juga merupakan orang yang memperkenalkan keindahan puisi kepada remaja, yang saat itu menganggap puisi sebagai bentuk kecengengan. Setiap serial Roy selalu dimulai dengan puisi. Penyair Hasan Aspahani bahkan mengakui jejak Gong dalam pilihannya pada puisi saat ini. Di tangan Gong, remaja melihat puisi dengan wajah lain: puisi jadi berotot dan keren.
Gabungan antara keindahan bahasa dan keliaran pengalaman itulah yang membuat Balada Si Roy begitu berpengaruh pada kehidupan remaja. Tapi pengaruh besar itu pula yang membuat Gong memutuskan berhenti berkisah tentang Roy. “Saya merasa bersalah jika ada remaja yang mencoba nakal setelah membaca serial itu,” katanya.
Belakangan ia baru tahu keputusan itu salah. Pengaruh negatif memang ada, tapi pengaruh positif sebenarnya jauh lebih besar. Saat ini Balada Si Roy sedang dalam proses syuting, menjadi film layar lebar.
Di kampungnya di Banten, pria bernama asli Heri Hendrayanaini aktif membina Rumah Dunia, sebuah komunitas sederhana yang menghimpun para pemuda untuk membaca dan menulis. Tak hanya itu. Ratusan taman bacaan masyarakat di berbagai kampung, di berbagai kota di seluruh negeri, tumbuh karena provokasi Gong.
Gempa” Literasi di Taman Bacaan Masyarakat
Sahabat, saat usia 11 tahun (kelas 5 SD), aku dan teman-teman kecilku melakukan pemilihan jenderal perang. Siapa yang berani melompat lebih tinggi, dia menjadi jenderal perang. Aku ingin mempunyai pasukan perang. Tuhan berkehendak lain. Aku terpeleset jatuh. Tangan kiriku patah, membusuk, lalu diamputasi sebatas sikut.
Ayahku menyodorkan raket dan buku kepadaku, “Kamu harus sehat, maka berolahragalah,” Kemudian, “Dan bacalah buku. Dengan membaca kamu akan lupa bahwa diri kamu memiliki kekurangan.” Apa yang dikatakan Bapak benar. Membaca membuatku sibuk memikirkan apa-apa yang ada di dalam buku. Membaca buku membuatku tahu, bahwa Tuhan tidak pernah diskrimninatif, membuatku selalu ingin melakukan sesuatu yang belum pernah dipikirkan orang lain, membuatku memiliki cita-cita tinggi.
Sahabat, tentu mengenal Ali Sadikin, Gubernur DKI era 70-an. Dia membangun Taman Ismail Marzuki dan Gelanggang Remaja. Aku terinspirasi olehnya. Bersama istri – Tias Tatanka dan dibantu relawan, aku mengadopsi kedua tempat itu dengan membangun Taman Bacaan Masyarakat “Rumah Dunia”, pusat belajar jurnalistik, sastra, rupa, film, dan teater. Aku ingin anak muda di lingkungan rumahku memiliki sense of crisis, kritis menyikapi sistem yang korup, kreatif mencari solusi hidup, berani menjadi pelopor, dan cara berpikirnya out of the box.
Itulah yang Bapak lakukan kepadaku di saat muda, Sahabat! Bapak terus memberi stimulus dengan “gempa” literasi di rumah, agar aku tidak minder. Bapak menstimulus kecerdasan kinestetisku dengan badminton, kecerdasan bahasaku dengan membelikanku buku-majalah, kecerdasan visual-spasialku dengan mengijinkan menonton di bioskop, serta membelikanku radio tape untuk membuat sandiwara radio. Kecerdasan intra personalku (bergaul) lahir dari kegemaran membaca buku. Hasilnya aku bisa berkeliling dunia dan menjalani profesi terhormat, yaitu penulis.
Maka kubuatlah konsep “Gempa Literasi” di Rumah Dunia. Ini gempa yang menghancurkan kebodohan dengan literasi. Gempa yang membangun peradaban baru dengan literasi. Di setiap akhir pekan bersama relawan kusulut “gempa” literasi; berupa orasi literasi, pertunjukkan seni, pelatihan menulis, peluncuran dan bedah buku, aneka lomba literasi, dan pameran buku murah. Dengan cara begitu, anak-anak muda mengalami transformasi luar biasa. Ada pedagang gorengan jadi wartawan dan pemulung jadi sarjana sastra. Inilah visi Rumah Dunia, yaitu “Mencerdasan dan Membentuk generasi baru.
Jadi anak muda, menurut A.A. Navis, “Membaca buku itu membuat kita sering melakukan perbandingan dan menulis membuka cakrawala berpikir kita semakin luas.” Maka stimuluslah dirimu dengan “gempa literasi”, agar dirimu menjadi pemimpin di masa depan. Pemimpin bagi dirimu, saudarasaudaramu, lingkunganmu, atau bagi bangsa dan negaramu.
Nabi Muhammad SAW dengan Iqra bisa mengubah dunia, sedangkan aku dengan membaca bisa mengubah diriku sendiri. Bayangkan jika semua anak muda di negeri ini sering menyulut “gempa” literasi di taman bacaan masyarakat, akan tumbuh generasi anak muda Indonesia di masa depan yang kritis, cerdas, kreatif, jujur, pemberani, amanah, dan memiliki sense of crisis. Maka cita-cita mengubah Indonesia menjadi lebih baik bisa kita lakukan tanpa perlu pergi ke Jakarta, tapi cukup dari Taman Bacaan Masyarakat saja. Silahkan buktikan! (*)
Gol A Gong*) Pendiri Taman Bacaan Masyarakat Rumah Dunia dan Ketua Umum Forum Taman Bacaan Masyarakat.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Gola Gong, Hal: 194-196.