Perusahaan Sekelas Apakah yang Berkewajiban Mengeluarkan Dana CSR
- Perusahaan kelas apa yang berkewajiban mengeluarkan dana CSR?
- Jika ada perusahaan skala menengah bawah tapi mengekploitasi alam besar-besaran bahkan cenderung merusak misal penggalian pasir, penggalian batu kapur dll, apakah juga wajib mengeluarkan dana CSR?”
Terima kasih untuk pertanyaannya yang cerdas. Secara umum, menurut hemat saya, perusahaan seperti yang dicontohkan dalam pertanyaan tersebut wajib melakukan CSR. Lebih lanjut lagi, ada beberapa topik penting dari pertanyaan ini yang dapat kita bedah:
1). “Perusahaan berkewajiban melakukan CSR”.
Ini adalah poin diskusi yang cukup menarik dan tak akan ada habisnya. Di tataran legal, Undang-Undang No. 40/2007 tentang Perseroan Terbatas (Pasal 74) mewajibkan perusahaan di Indonesia untuk melakukan CSR. Lebih khususlagi, dalam ayat 1 Undang Undang tersebut, disebutkan bahwa perseroanyang menjalankan usahanya di bidang dan atau berkaitan dengansumberdaya alam, dikenai kewajiban untuk melaksanakan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan.
Dalam pertanyaan dicontohkan perusahaan yang aktivitasnya melakukan penggalian pasir, batu kapur, dll. Menurut Undang-Undang, mereka wajib untuk melakukan CSR. Nah, permasalahannya kemudian adalah, “lalu bagaimana dengan yang lain? Apakah CSR hanya terbatas untuk perusahaan yang terkait sumberdaya alam saja?” Di titik ini, kita tidak dapat hanya bersandar pada undang-undang semata. Marilah kita berpijak pada urgensi dan manfaat dari CSR itu sendiri. Seperti pernah didiskusikan sebelumnya, tanpa harus diwajibkan pun, pada dasarnya perusahaan membutuhkan CSR. Mereka yang telah sadar akan pentingnya reputasi tak akan lagi berpikir untuk menjalankan CSR sebatas untuk memenuhi peraturan. Karena salah satu manfaat utama dari CSR ialah bahwa ia berpotensi untuk menjadi solusi bagi permasalahan yang kerap terjadi dalam hubungan antara perusahaan dengan publiknya: ketidakmampuan untuk saling memahami dan menerima. Permasalahan ini mengakibatkan macetnya relung interaksi antara perusahaan dengan publiknya.
Alhasil, terjadi segregasi yang ditandai oleh penolakan publik. Di titik inilah CSR berperan menjadi jembatan antara perusahaan dengan stakeholder di sekitarnya. Penerapan program yang baik akan menimbulkan keterkaitan yang konstruktif antara perusahaan dengan lingkungan. Hal ini dapat menjadi trigger bagi publik untuk memiliki persepsi yang baik terhadap perusahaan. Dengan demikian, emotional appeal dari publik akan mengarah pada pembangunan reputasi yang baik terhadap perusahaan itu sendiri. Sebaliknya, publik pun mendapat bantuan yang ‘sincere’ atau tulus dari perusahaan. Nah, di sinilah uniknya CSR. Publik kini cukup cerdas untuk menyeleksi program-program artifisial yang hanya mengharap pamrih semata.
Ketidakseriusan dalam menggarap program CSR justru akan melahirkan resistensi masyarakat. Apalagi jika perusahaan dinilai tidak transparan, atau justru program tersebut malah merusak tatanan pranata sosial maupun lingkungan yang ada. Alih-alih mendapatkan nama baik, perusahaan justru harus menelan pil pahit dari programnya itu. Alhasil, dana pun terbuang mubazir tanpa membawa manfaat dan maslahat.
2) “Perusahaan dalam kelas apa yang wajib ber CSR?”.
Ini satu lagi poin cerdas dari pertanyaan ini. Dalam pemahaman saya, tidak ada batasan yang rigid mengenai perusahaan di kelas apakah yang harus ber CSR. Tetapi kalau kita melihat esensi pada poin pertama di atas, seyogianya setiap perusahaan yang telah memiliki laba, menerapkan program CSR. Nah, di titik ini marilah kita sedikit menerawang lebih luas, bahwa program CSR tidak melulu hanya ditujukan pada publik eksternal dari perusahaan. Lingkungan internal pun perlu mendapat perhatian.
Pelayanan child care untuk karyawati yang menyusui, misalnya, dapat menjadi sebuah contoh sederhana untuk program CSR secara internal. Program motivasi karyawan untuk bekerja sesuai dengan rambu-rambu etis, dalam konteks tertentu juga dapat dijadikan sebagai alternatif program CSR. Atau, kampanye ‘go green’ di dalam lingkungan kantor, dapat pula menjadi alternatif program CSR. Dengan demikian, semestinya tidak ada alasan bagi perusahaan untuk tidak ber CSR.
Perusahaan dengan laba yang masih terbilang minim, misalnya, dapat memulai dengan program kreatif yang sederhana tetapi serius. Menurut hemat saya, terlepas dari besar kecilnya dana, tantangan yang terpenting adalah komitmen dalam menggarap program itu sendiri. Sehingga, tak tertutup kemungkinan bahwa program dengan dana terbatas pun dapat menghasilkan kualitas lebih baik dibandingkan program dengan kucuran dana besar tetapi tidak dilakukan dengan monitoring yang serius.
3) “Perusahaan yang mengeksploitasi & merusak”.
Nah, izinkan saya untuk berpendapat bahwa perusahaan yang semacam ini tak hanya wajib melakukan CSR, tetapi justru wajib untuk melakukan introspeksi diri atas praktek bisnis yang mereka lakukan. Karena praktek seperti ini justru menempatkan mereka dalam posisi yang sangat rentan untuk terancam oleh berbagai bentuk risiko, termasuk risiko reputasi. Dalam pemahaman saya, perusahaan yang baik boleh jadi mementingkan proses memproduksi barang / jasa, lalu mendapatkan keuntungan dari produksinya itu.
Namun perusahaan yang bajik akan melakukan lebih dari itu. Mereka tidak hanya sekedar meraih laba, tetapi juga menunjukkan komitmen yang baik terhadap stakeholder di sekitarnya, internal maupun eksternal, serta lingkungan hidup tempat mereka berdiam. Saya angkat topi terhadap perusahaan seperti ini. Mereka tidak hanya mementingkan profit jangka pendek, tetapi juga menunjukkan komitmen untuk melanjutkan usahanya di jangka panjang. Perusahaan seperti ini telah menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari keseluruhan bangunan sosial yang ada di daerah tersebut.
Dengan memberikan perhatian serius pada lingkungan, maka berarti mereka telah melakukan investasi terpenting bagi keberlangsungan bisnis ke depan. Ketika mereka berbagi pada lingkungan internal, akan tumbuh ‘admiration’ dari karyawan. Di saat krisis, justru hal ini akan menolong perusahaan. Karyawan yang kagum dan loyal dengan perusahaannya, tentu tak akan sungkan untuk membela nama baik dari tempatnya mencari nafkah hidup. Demikian pula dengan lingkungan sosial di luar perusahaan.
Pemberian dan pendampingan yang tulus dari perusahaan merepresentasikan wujud syukur serta rasa terima kasih perusahaan setelah mendapat rejeki. Publik yang menerima program yang tulus tersebut tentu tak akan sungkan untuk menerima kehadiran dari perusahaan tersebut. Bahkan tak jarang, justru mereka membantu kebutuhan perusahaan. Sebaliknya, perusahaan yang dinilai ‘arogan’, atau bahkan merusak, justru berpotensi untuk menerima penolakan publik. Oleh karena itu, menurut hemat saya, bertanggung jawab secara ekonomi ataupun hukum (legal) tidaklah cukup bagi perusahaan.
Dengan kata lain, saat ini kualitas perusahaan tak hanya dinilai dari sekedar kemampuannya menggaji karyawan serta taat hukum semata. Lebih dari itu, kualitas perusahaan akan diuji dari kebajikannya dalam menerapkan praktek bisnis yang etis dan menunjukkan kecintaan pada sesama manusia serta pada lingkungan tempatnya berdiam.
Sumber: Kelas Kyutri, Jumat, 26 April 2013.