Perusahaan dan Komunitas
Tatkala kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) diwajibkan dalam UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sontak menuai prates. Pasalnya, aktivitas CSR diasumsikan sebagai aktivitas berdasarkan kerelaan alih-alih “paksaan”.
Memang bibit-bibit CSR berawal dari semangat filantropis perusahaan. Namun tekanan dari komunitas yang keras, terutama di tengah masyarakat yang kritis seperti masyarakat Eropa, menjadikan CSR semacam social license to operation. Dan hal ini dilakukan oleh komunitas, bukan oleh negara.
Jika kita perhatikan, masyarakat sekarang hidup dalam kondisi yang dipenuhi beragam informasi dari berbagai bidang, serta dibekali kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pola seperti ini mendorong terbentuknya cara pikir, gaya hidup, dan tuntutan masyarakat yang lebih tajam. Seiring dengan perkembangan ini, tumbuh suatu gerakan konsumen yang kita kenal sebagai vigilante consumerism yang kemudian berkembang menjadi ethical consumerism .
Riset yang dilakukan oleh Roper Search Worldwide menunjukkan 75% responden memberikan nilai lebih kepada produk dan jasa yang dipasarkan oleh perusahaan yang memberikan kontribusi nyata kepada komunitas melalui program pengembangan. Sekitar 66% responden juga menunjukkan bahwa mereka siap berganti merek kepada merek perusahaan yang memiliki citra sosial yang positif. Hal ini membuktikan terjadinya perluasan ‘minat’ konsumen dari ‘produk’ menuju korporat.
llustrasi 1.1. UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Pasal 74
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Pasal 74
- Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan lingkungan.
- Tanggung Jawab Sosial dan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya dilakukan dengan mem perhatikan kepatutan dan kewajaran.
- Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan .
- Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
llustrasi 1.2. Hasil Riset Preferensi Konsumen
- Research by Roper Search Worldwide indicated that about 75% respondents prefer goods and services produced or marketed companies that give real contribution to their community through development programs.
- About 66% respondent also indicated that they prefer to switch to other brands with good corporate social image.
Konsumen menaruh perhatiannya terhadap tanggung jawab sosial perusahaan yang tebih luas, yang menyangkut etika bisnis dan tanggung jawab sosialnya. Kepedulian konsumen telah metuas dari sekadar kepada suatu produk menjadi kepada korporatnya.
Konsumen semacam ini tidak hanya peduli pada faktor pemenuhan kebutuhan pribadi sesaat saja, tetapi juga peduli pada penciptaan kesejahteraan jangka panjang. Meningkatnya tingkat kepedulian akan kualitas kehidupan, harmonisasi sosial, dan lingkungan ini juga mempengaruhi aktivitas dunia bisnis. Maka lahirlah gugatan terhadap peran perusahaan agar mempunyai tanggung jawab sosial. Di sinilah salah satu manfaat yang dapat dipetik perusahaan dari kegiatan CSR. Dalam konteks inilah aktivitas Corporate Social Responsibility (CSR) menjadi menu wajib bagi perusahaan, di luar kewajiban yang digariskan undangundang.
llustrasi 1.3. Evolusi Hubungan Perusahaan dengan Komunitas
Hubungan antara komunitas dan perusahaan telah mengalami pergeseran. Awalnya perusahaan meluncurkan program Community Development (CD) dalam upaya membina hubungan dengan komunitas, kemudian dengan aktivitas CSR sebagai lisensi sosial untuk beroperasi. Dan terakhir, perusahaan dituntut untuk mempunyai peran kepemimpinan dalam komunitasnya.
Namun ternyata hanya sekadar menjalankan aktivitas CSR tidak lagi mencukupi. Dalam pelaksanaannya, CSR masih memiliki kekurangan. Program-program CSR yang dijalankan oleh perusahaan banyak yang hanya memiliki pengaruh jangka pendek dengan skala yang terbatas. Program-program CSR yang dilaksanakan seringkali kurang menyentuh akar permasalahan komunitas yang sesungguhnya. Seringkali pihak perusahaan masih menganggap dirinya sebagai pihak yang paling memahami kebutuhan komunitas, sementara komunitas dianggap sebagai kelompok pinggiran yang menderita sehingga memerlukan bantuan perusahaan. Di samping itu, aktivitas CSR dianggap hanya semata-mata dilakukan demi terciptanya reputasi perusahaan yang positif, bukan demi perbaikan kualitas hidup komunitas dalam jangka panjang.
Kritik lain terhadap pelaksanaan CSR adalah bahwa program ini seringkali diselenggarakan dengan jumlah biaya yang tidak sedikit, maka CSR identik dengan perusahaan besar yang ternama. Masalahnya, dengan kekuatan sumber daya yang dimilikinya, perusahaan-perusahaan besar dan ternama ini mampu membentuk opini publik yang mengesankan seolah-olah mereka telah melaksanakan CSR. Padahal yang dilakukannya hanya semata-mata aktivitas filantropis, bahkan boleh jadi dilakukan untuk menutupi perilaku-perilaku yang tidak etis serta perbuatan melanggar hukum.
Diidentikkannya CSR dengan perusahaan besar dan ternama membawa implikasi lain. Bila perusahaan besar dan ternama tersebut melakukan perbuatan yang tidak etis atau bahkan melanggar hukum, maka sorotan tajam publik akan mengarah kepada mereka. Namun bila yang melakukannya perusahaan kecil atau menengah yang kurang ternama, maka publik cenderung kurang peduli. Atau kalaupun publik menaruh perhatian, perhatian yang diberikan tidak sebesar bila yang melakukannya adalah perusahaan besar yang ternama. Padahal perilaku-perilaku yang tidak etis serta perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh siapa pun tidak dapat diterima.
Sekali lagi, ini bukan berarti CSR kehilangan relevansinya. CSR tetap penting dan harus dijalankan. Namun di samping CSR, perusahaan perlu mengambil inisiatif kepemimpinan sosial. lnilah yang diistilahkan oleh Hills dan Gibbon dengan Corporate Social Leadership (CSL). Dalam CSL, perusahaan bukan hanya dituntut untuk menjalankan tanggung jawab sosialnya, namun juga harus menjadi sebuah institusi yang memimpin, memberikan inspirasi bagi terjadinya perubahan sosial dalam masyarakat, sehingga kualitas hidup masyarakat secara umum meningkat dalam jangka panjang.
Dalam CSL, perusahaan harus menyadari bahwa dirinya adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat yang lebih luas, sehingga hal buruk yang menimpa dan merugikan masyarakat pada gilirannya akan berdampak pada mereka juga. Karenanya perusahaan harus memperlakukan komunitasnya sebagai mitra.
Dalam CSL, program-program yang dilaksanakan harus mampu benar-benar memberdayakan masyarakat, artinya masyarakat yang memiliki daya tahan yang tinggi serta mampu memecahkan setiap persoalan yang dihadapi dengan kekuatan sendiri dalam jangka panjang.
Sumber: Reputation-Driven Corporate Sosial Responsibility (Pendekatan Strategic Management dalam CSR), Penulis: A. B. Susanto, Hal: 2-6.