Perubahan, Belajar dan Ilmu Pengetahuan
Pengantar Kuntoro Mangkusubroto, pada buku Knowledge Management, terbitan SBM ITB.
Ada tiga kata dasar yang banyak diteliti dan dikupas dalam buku ini, yakni: perubahan, belajar dan ilmu pengetahuan. Ketiga kata tersebut memang saling terkait dan sulit dipisahkan satu dengan lainnya, dimana perkembangannya akan saling berpengaruh. Namun kenyataannya, organisasi-organisasi yang ada di Indonesia, baik itu organisasi bisnis, pemerintah maupun organisasi sosial, sampai saat ini kebanyakan mengabaikan kekuatan yang terkandung dalam ketiga kata tersebut. Sehingga saya bisa memahami jika penulis merasa gundah dengan lambatnya proses reformasi di negara kita, karena saya juga sepakat bahwa proses reformasi (perubahan menuju kesejahteraan nasional) bangsa kita sangat terlambat jika kita bandingkan dengan reformasi di negara-negara tetangga.
Mengapa reformasi bangsa kita terlambat? Terutama karena kebanyakan dari manusia Indonesia kurang mampu belajar dari kesalahan masa lalu, sehingga pengetahuan yang dimiliki oleh kebanyakan manusia Indonesia tidak digunakan untuk menciptakan kesejahteraan bangsa, namun lebih banyak digunakan untuk mencari keuntungan untuk dirinya dan kelompoknya. Karena hanya memikirkan dirinya dan kelompoknya, maka enerji kolektif bangsa kita terpecah dan vektornya saling berlawanan arah, saling meniadakan, sehingga akibatnya vektor kolektif enerji untuk melakukan reformasi menjadi kehilangan daya. Saya pun mencatat beberapa pertanyaan yang cukup menarik perhatian saya tentang tiga kata utama yang dikupas cukup dalam dari buku ini (perubahan, belajar dan pengetahuan), yaitu:
Mengapa manusia harus berubah? Tentunya perubahan fisik maupun mental manusia sudah merupakan hukum alam (fitrah), dimana Tuhan sudah menentukan bahwa untuk dapat mempertahankan hidupnya, manusia harus berubah secara fisik maupun mental. Namun, mengapa manusia mampu berubah? Tentunya karena manusia memiliki pengetahuan yang ada dalam otaknya; dan karena manusia mampu belajar, maka ia mampu berubah menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman.
Belajar bagi setiap manusia merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendasar, karena manusia pada dasarnya akan mampu mempertahankan hidupnya hanya jika ia mampu belajar (berubah). Belajar merupakan syarat untuk dapat hidup, sama mendasarnya dengan kebutuhan makan dan minum untuk memenuhi kebutuhan fisik. Dengan kata lain, hanya orang yang mau dan mampu belajar yang akan berubah, sehingga ia mampu hidup di alam yang selalu berubah. Sebaliknya dapat dikatakan bahwa orang yang tidak mau dan tidak mampu belajar, maka ia tidak akan mampu berubah, dan pada hakekatnya, orang yang tidak mampu berubah adalah orang yang sudah mati. Demikian pula hal tersebut berlaku juga bagi organisasi/perusahaan maupun bangsa – akan bangkrut atau tidak mampu bertahan jika manusia yang menghuni organisasi/ perusahaan atau negara tidak mampu belajar dan pada akhirnya tidak mampu berubah.
Peristiwa bangkrutnya perusahaan secara masal juga dibahas dalam buku ini – terjadi di Indonesia – pada periode 1998-1999, yaitu periode dimana kondisi ekonomi nasional mengalami over heating, sehingga nilai rupiah jatuh secara drastis. Pada periode yang relatif singkat tersebut, ratusan bahkan mungkin ribuan perusahaan bisnis nasional dari kelas konglomerat sampai perusahaan kecil mengalami kebangkrutan atau “mati suri” secara masal, karena mereka tidak mampu belajar dan tidak mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan lingkungan. Kebanyakan perusahaan-perusahaan di Indonesia sampai saat ini masih belum mampu belajar dari kesalahan masa lalu, sehingga belum mampu berubah mengikuti tuntutan zaman.
Sejak krisis nasional tahun 1997, bangsa Indonesia sepakat untuk melakukan reformasi disegala bidang – baik di bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Kenyataannya, sampai saat ini kita belum berhasil memperbaiki tingkat kemudahan berbisnis bagi calon investor. Menurut survei Bank Dunia dan International Finance Corporation, pada tahun 2006 ini Indonesia menduduki urutan 135 dalam indeks kemudahan bisnis, atau turun dari posisi 131 pada tahun 2005. Perbaikan pada berbagai bidang tersebut bukannya tidak dilakukan di Indonesia, namun kenyataannya kita kalah cepat dibandingkan dengan reformasi di negara-negara lain, terutama di ASEAN.
Studi yang dilakukan Ellen de Rooij dari Stratix Group di Amsterdam mengindikasikan bahwa rata-rata ekspektasi hidup perusahaan-perusahaan di Eropa (dengan tidak memandang ukuran perusahaan), hanya 12,5 tahun (De Geus, 1997). Pada beberapa negara bahkan 40% dari semua perusahaan yang baru didirikan, hanya berumur kurang dari 10 tahun. Di sisi lain Stora (perusahaan Swedia) kira-kira telah berumur 800 tahun, Sumitomo (perusahaan Jepang) sampai sekarang telah beumur kira-kira 400 tahun, Du Pont (perusahaan Amerika Serikat) kira-kira telah berumur 195 tahun dan Pilkington (perusahaan Inggris) kira-kira telah berumur 171 tahun.
Fenomena di atas menunjukkan bahwa kebanyakan perusahaan berumur pendek, walaupun kenyataannya ada beberapa kasus dimana perusahaan memiliki umur panjang (dalam hal ini lebih dari 150 tahun). Fenomena umur perusahaan ini mengundang pertanyaan lebih jauh, diantaranya: “Mengapa ada perusahaan yang berumur panjang?”.
Selanjutnya, De Geus menjelaskan fenomena perusahaan berumur panjang dengan karakteristik sebagai perusahaan yang hidup (the living company). De Geus menjelaskan sebuah perusahaan yang hidup dengan mengibaratkan sebagai suatu metafor organik atau perusahaan yang memiliki atribut-atribut sebagai makhluk hidup, yaitu seperti makhluk yang memiliki pikiran dan karakter, sehingga perusahaan tersebut mampu “bertingkah laku” seperti entitas yang hidup. Sejelasnya de Geus menyatakan bahwa “ada korelasi antara perusahaan yang berumur panjang dengan kemampuannya menjadi perusahaan yang belajar (organisasi pembelajar)”.
Sekarang kita berada di knowledge era. World Bank mengibaratkan “knowledge is like light” – ringan dan telah menjadi sumber daya organisasi yang bersifat tangible dan sekaligus intangible, sehingga dapat ditransfer ke seluruh pelosok dunia dengan mudah, dan dapat menerangi kehidupan manusia dimanapun kita berada. Namun, era pengetahuan telah menciptakan era persaingan global yang kompleks dan dinamis.
Di era globalisasi dan pengetahuan ini diperlukan suatu organisasi baru yang dapat menjawab berbagai tantangan dan permasalahan yang timbul. Perusahaan harus mampu berubah menjadi sebuah organisasi pembelajar melalui manajemen pengetahuan yang ada di organisasinya.
Era pengetahuan telah mendorong inovasi yang berkelanjutan terutama dalam informasi dan teknologi komunikasi, sehingga kompetisi makin intensif dan terjadi dalam ukuran digital, memunginkan untuk akses pada actionable knowledge. Inovasi teknologi informasi melipatgandakan kemampuan kita untuk menciptakan, mengorganisasikan, menggandakan, maupun melindungi human (intellectual) capital, sebagai sumber daya utama organisasi di era pengetahuan, untuk menciptakan nilai tambah organisasi.
Era pengetahuan telah melahirkan Knowledge Management, yang mampu melahirkan Learning Organization (organsasi pembelajar), yaitu organisasi yang mampu belajar dari pengalaman masa lalu, memiliki pengetahuan tentang konsumen maupun karyawan, mampu menyelesaikan berbagai permasalahan, dan dihuni oleh manusia-manusia yang memiliki pola pikir positif, mau dan mampu berbagi pengetahuan maupun pengalamannya, sehingga mampu menciptakan nilai tambah secara signifikan dan berkelanjutan, dengan menggunakan pengetahuan sebagai faktor produksi utama.
Saya cukup terkesan membaca kutipan penulis bahwa Knowledge Management dapat juga dipandang sebagai perwujudan dari sebuah integrasi dan sekaligus kulminasi dari berbagai metoda organisasi yang pernah ada. Knowledge Management merupakan kesimpulan akhir dari berbagai konsep manajemen yang pernah ada dan sekaligus merupakan sebuah konsep baru yang bersifat menyeluruh dan utuh, yang fokus pada penciptaan dan implementasi pengetahuan dalam organisasi.
Saya menyadari bahwa sukses implementasi Knowledge Management dan Learning Organization sangat dipengaruhi oleh ketersediaan outer shifts (organisasi, teknologi informasi beserta sistem dan prosedur organisasi, sebagai sarana untuk menyimpan dan mendistribusikan pengetahuan) dan inner shifts organisasi (manusia dan lingkungan psikologis yang kondusif untuk terjadinya proses berbagi pengetahuan diantara anggota organisasi). Dari berbagai pengalaman yang dialami oleh beberapa perusahaan yang telah menerapkan Knowledge Management dan Learning Organization, ditemukan bahwa hambatan utama dalam implementasinya lebih karena ketidaksiapan manusia (inner shift) untuk belajar dan melakukan perubahan. Oleh karena itu, perlu dicatat bahwa efektivitasnya sangat dipengaruhi oleh kompetensi para pengambil keputusan, kompetensi aparat pemerintah, serta kompetensi para pemimpin maupun manajer bisnis itu sendiri.
Saat ini bangsa Indonesia membutuhkan Knowledge Governance, yaitu integrasi antara pelaku manusia, proses administrasi serta struktur kekuasaan yang cerdas, yang mampu mempercepat kelahiran Knowladge Management nasional, yang mampu memperlancar proses aliran sumber daya nasional, dan pada akhirnya mampu memperbaiki daya kompetisi nasional. Pemerintahan yang efektif, yang didukung oleh aparat yang kompeten, akan sangat berpengaruh pada lahirnya Knowledge Management di tingkat organisasi bisnis maupun sosial. Bandung, November 2006.
Sumber: Air Sejati.