Perencanaan Advokasi dan Pemberdaya
Pemberdaya pada hemat saya adalah aktivis yang memiliki sumber daya dan keberpihakan pada yang lemah. Jadi pemberdaya adalah siapa saja-termasuk sektor swasta-asalkan mereka berdaya, aktif, dan memiliki hati dalam bekerja untuk pihak yang lemah-dengan cara-cara yang rasional tentunya. Dan pada pengamatan saya, yang tampaknya paling “siap” dimobilisasi secara efektif untuk menghadapi krisis saat ini adalah “sebagian” (tidak semua) LSM, konsultan pembangunan, dan para penentu kebijakan.
Dan setiap pemberdaya harus memiliki keberpihakan karena paradigm perencanaan pembangunan yang memihak harus memandang bahwa wilayah publik merupakan mosaic dari kepentingan dari tujuan yang tidak pernah “seragam” melainkan majemuk. Oleh karenanya, perencana advokasi tidak akan mendekati masalah dan merencanakan semata-mata dari pertimbangan teknis rasional. Sebaliknya ia akan bekerja dengan keyakinan untuk memperjuangkan nilai-nilai tertentu, seperti keadilan dan pembelaan terhadap yang lemah.
Dengan demikian, perencana advocacy memiliki klien dan target kelompok yang jelas secara teknis dan ideologis harus ia bela kepentingannya. Dalam amanat Paul Davidoff (1965), pelopor advocacy planning, “He would be a proponent if specific substantive solution.”
Tak Sebanding Skala Krisis
Berdasarkan pengalaman pribadi saya di lapangan, saya melihat bahwa justru di negara maju, ideology, bangunan pengetahuan dan teknik-teknik pemberdayaan selain telah lama dipraktekan juga telah berkembang sangat canggih. Di Negara kita sendiri tampaknya hanya sebagian saja sektor pembangunan yang sudah siap dengan strategi ini karena kondisi politik, institusi, dan sumber daya kita belum terlalu kondusif bagi berkembangnya strategi pemberdayaan. Di sisi lain, tokoh-tokoh pemberdaya yang intelektual sekaligus bisa bekerja nyata di lapangan memang sudah mulai bermunculan di Indonesia tetapi tidak terlalu banyak jumlahnya dibandingkan dengan skala krisis yang kita hadapi saat ini. Situasi ini diperumit oleh kesiapan masyarakat kita terutama masyarakat berpenghasilan rendah perkotaan yang kurang terlatih untuk berpartisipasi dan mengambil manfaat dari pembangunan yang berstrategi pemberdayaan.
Berdasarkan diskusi-diskusi kecil dengan tokoh-tokoh pemberdayaan yang saya ikuti, muncul ramalan yang sedikit suram, yakni bila program pengentasan kemiskinan/pengentasan krisis yang bertumpu pada pembangunan komunitas ini bisa mencapai angka kesuksesan 20 persen sampai dengan 30 persen saja, maka prestasi tersebut sudah dipandang akan sangat menggembirakan. Sisanya diramalkan akan lebih cenderung berupa usaha “membagi-bagikan sumber daya negara kepada rakyat miskin”. Dan barangkali, bagi pemikir ekonomi yang bukan beraliran neo-klasik, hal itu masih bisa dianggap sebuah “prestasi”.
Pada zaman di mana negara tidak dalam keadaan krisis strategi pemberdayaan tampaknya tidak begitu laku “dijual”, didalami, dan dikembangkan. Saya berharap, bila suatu saat nanti krisis ekonomi kita telah berlalu, program pengentasan kemiskinan dengan strategi pemberdayaan yang bertumpu pada pembangunan komunitas ini tidak lantas berhenti. Saya berkeyakinan strategi ini baik bagi negara, karena pengentasan kemiskinan dan pembangunan masyarakat madani adalah selalu sebuah pekerjaan raksasa yang meletihkan, dan akan sangat panjang.
Judul Buku: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan (Perencanaan Advokasi dan Pemberdaya), Penerbit: Kompas, Halaman: 123-124.