Penyair yang Bertutur Sederhana
Sapardi Djoko Damono mahir mengayun-ayunkan hati dengan puisi. Bahasanya sederhana, tapi dalam. Tuturannya liris. Sejak menerbitkan kumpulan puisi pertama, DukaMu Abadi, pada 1969, penyair kelahiran Solo itu langsung ditahbiskan sebagai salah satu pembaharu puisi indonesia.
Sumbangan terpentingnya kala itu adalah menawarkan alternatif atas puisi-puisi pamfet yang mendominasi indonesia sejak 1960-an. Ia tak hendak bertele-tele dengan protes yang profan. Ia juga menolak masuk pada puisi eksperimental yang gelap dan tak memedulikan pembaca yang banyak ditulis para penyair yang datang belakangan.
Dengan kekuatan kesederhanaan itu, puisi-puisi Sapardi mudah menyusup ke kalangan awam. Pemusik Dwiki Dharmawan, misalnya, menggarap lagu dari puisi Aku Ingin. Lagu itu menghiasi flm Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin nugroho pada 1991. Dua buah album musikalisasi juga dicipta dari puisi Hujan Bulan Juni dan Hujan dalam Komposisi.
Anak dari abdi dalem Keraton Surakarta itu mewarisi kesenimanan dari kakek dan neneknya. Kakeknya dari pihak ayah mahir membuat wayang. Nenek dari pihak ibunya gemar menembang dari syair berbahasa Jawa buatan sendiri.
Sejak SD, Supardi sudah membaca karya sastra. Dari sinilah minatnya terhadap puisi muncul. Apalagi, setelah keluarganya pindah dari tengah kota ke pinggiran yang sepi, ia punya banyak waktu luang karena tak memiliki teman. Sejak kelas II SMA, ia mulai menulis puisi, padahal ia harus belajar karena sedang menghadapi ujian. “Saya masih ingat, bagaimana saya harus menyembunyikan puisi saya di bawah buku, bila ayah datang dan melihat saya belajar,” ujarnya.
Karya pertamanya dimuat di Post Minggu, Semarang. Dia kuliah di Sastra Inggris UGM. Lulus pada 1964, dia tak melupakan cita-citanya menjadi dosen. Dia mengajar di beberapa universitas.
Kepada Pemimpin
Saya pensiunan guru, ingin menyampaikan surat ringkas tentang pendidikan. Sejak beberapa dasawarsa ini, ada suatu kecenderungan yang tampaknya semakin kuat untuk meyakini gagasan akan pentingnya keseragaman. Saya berharap betul gagasan semacam itu tidak hanya ditinjau kembali tetapi dimusnahkan. Hanya bangsa yang berpegang teguh pada gagasan keberagaman pendidikan akan menjadi bangsa yang maju. Pendidikan tinggi kita sejak beberapa puluh tahun yang lalu terus-menerus dipaksa untuk seragam, dari tingkat program studi sampai tingkat universitas. Gagasan keseragaman itu sudah begitu merasuk ke dalam keyakinan kita sehingga tidak sadar bahwa selama ini kita menganggap keseragaman kurikulum, program studi, departemen, dan fakultas merupakan kenyataan yang tidak usah dan tidak perlu dipertanyakan dan dirisaukan.
Perguruan tinggi di mana pun di negeri ini harus memberikan ilmu dan pengetahuan yang seragam kepada mahasiswa, tanpa sama sekali mengindahkan sumber daya manusia dan lingkungan yang berbeda-beda. Tanpa mengindahkan keberagaman kebutuhan masyarakat, tanpa mempertimbangkan perkembangan ilmu pengetahuan, tanpa memperhatikan benturan dan pergaulan yang semakin gencar dan karib antar bidang dan antar disiplin ilmu – kita diharuskan tunduk pada peraturan demi peraturan yang semakin menekankan utamanya keseragaman. Kalau ada fakultas yang berganti nama, maka fakultas sejenis pun mengganti namanya agar seragam. Dan puncak dari pemaksaan ke arah keseragaman itu adalah perintah untuk menyeragamkan semua jenis perguruan tinggi menjadi universitas. Dan sebagai universitas lembaga-lembaga itu pun berlomba-lomba menjadi seragam. Sejak beberapa dasawarsa yang lalu kita tidak lagi memiliki Institut Keguruan dan Pendidikan, kita juga tidak lagi memiliki Institut Agama Islam – semuanya menjadi universitas dan karenanya memberikan jenis pendidikan yang seragam dan bertingkah laku seragam pula. Konon pendidikan tinggi kesenian pun akan diseragamkan – maka akan sempurnalah langkah penyeragaman itu, yang tidak lain berarti upaya yang berkuasa untuk ‘menggampangkan’ penilaian. Tidak ada yang percaya bahwa pendidikan bisa dinilai dengan gampang.Percayalah, tidak adacara lain untuk memajukan bangsa ini kecuali dengan merayakan keberagaman.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Sapardi Djoko Damono, Hal: 234-235.