Penutup: Definisi CSR
Artikel ini merupakan penggalan dari artikel yang berjudul: Dari “CSR” Menuju CSR, Berbagai Kesalahan Umum tentang CSR dan Sumbangan Pemikiran untuk Meluruskannya, Penulis: Jalal (A+ CSR Indonesia), Tom Malik (Indonesia Business Link).
Di atas telah diuraikan pemahaman CSR yang salah atau tidak lengkap. Tentunya wajar kalau kemudian timbul pertanyaan: “Jadi, bagaimana pemahaman CSR yang benar? Apakah definisi CSR?.” Sejak Sekolah Dasar kita selalu dibiasakan untuk dapat mendefinisikan sesuatu bahkan harus dapat hafal definisinya kata per kata. Mungkin hal inilah yang menjadi tantangan dari pengertian CSR yang benar karena dunia bisnis maupun para pakar CSR sendiri tampak belum berhasil mendefinisikan CSR secara jelas dan non-bias.
Bantuan paling bernas datang dari Alexander Dahlsrud yang menulis artikel How Corporate Social Responsibility is Defined di jurnal Corporate Social Responsibility and EnvironmentalManagement (No. 15/2008) yang terbit Januari 2008 lalu. Dahlsrud memeriksa Google danmenemukan bahwa dari sekian banyak definisi, sebetulnya hanya 37 saja yang benar-benarpopular. Ia kemudian melakukan analisis terhadap 37 definisi CSR terpopular itu secarastatistik, dan menyimpulkan bahwa secara garis besar definisi-definisi tersebut tidakbertentangan. Dengan melakukan content analysis, Dahlsrud menyimpulkan bahwa definisidefinisiCSR itu secara konsisten mengandung 5 dimensi:
- Dimensi Lingkungan yang merujuk ke lingkungan hidup dan mengandung kata-kata seperti “lingkungan yang lebih bersih”, “pengelolaan lingkungan”, “environmental stewardship”, “kepedulian lingkungan dalam pengelolaan operasi bisnis”, dll.
- Dimensi Sosial yaitu hubungan antara bisnis dan masyarakat dan tercermin melalui frase-frase seperti “berkontribusi terhadap masyarakat yang lebih baik”, “mengintegrasi kepentingan sosial dalam operasi bisnis”, “memperhatikan dampak terhadap masyarakat”, dll.
- Dimensi Ekonomis yang menerangkan aspek sosio-ekonomis atau finansial bisnis yang diterangkan dengan kata-kata seperti “turut menyumbang pembangunan ekonomi”, “mempertahankan keuntungan”, “operasi bisnis”, dll.
- Dimensi Pemangku Kepentingan (Stakeholder) yang tentunya menjelaskan hubungan bisnis dengan pemangku kepentingannya dan dijelaskan dengan kata-kata seperti “interaksi dengan pemangku kepentingan perusahaan”, “hubungan perusahaan dengan karyawan, pemasok, konsumen dan komunitas”, “perlakukan terhadap pemangku kepentingan perusahaan”, dll.
- Dimensi Kesukarelaan (voluntary) sehubungan dengan hal-hal yang tidak diatur oleh hukum atau peraturan yang tercermin melalui frase-frase seperti “berdasarkan nilai-nilai etika”, “melebihi kewajiban hukum (beyond regulations)”, “voluntary”, dll.
Kini kita tahu, thanks to Dahlsrud, bahwa walaupun ada banyak sekali definisi CSR, sebetulnya itu hanyalah masalah artikulasi, bukan substansi. Dari dimensi-dimensi di atas kita bisa membuat definisi CSR kita masing-masing, dan dengan mudah menyimpulkan bahwa CSR bukan sekadar Community Development atau filantropi atau sesuatu yang bersifat tempelan, after profit, terpisah dari bisnis inti perusahaan, hanya untuk perusahaan sendiri, berakhir di tangan konsumen dan merupakan beban biaya bagi perusahaan, upaya memoles citra perusahaan yang dilakukan secara sukarela dan ditujukan untuk ranah eksternal saja.
Artikel selengkapnya dapat didownload pada halaman Unduh kategori Literasi.