Penggalangan Dana Publik di Lembaga Penyiaran Rawan Penyimpangan
Jakarta – Solidaritas masyarakat Indonesia untuk membantu korban bencana dinilai sangat tinggi. Namun masih ditemukan adanya penyimpangan dalam prinsip akuntabilitas dan transparansi dana bantuan tersebut. Hal tersebut dikemukakan Ismid Hadad, Ketua Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI) saat bertemu dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat yang diwakili Azimah Subagijo di kantor KPI Pusat (14/6).
Salah satu yang menjadi sorotan PFI adalah penggalangan dana masyakat lewat lembaga penyiaran yang dinilai belum menerapkan prinsip akuntabilitas dan transparansi. Selama ini banyak yang berasumsi bahwa dana bantuan kemanusiaan banyak diberikan oleh pihak dari luar negeri. Padahal dalam catatan PFI, sebenarnya bantuan terbesar justru dari masyarakat yang digalang oleh media televisi. Mengingat perhatian utama televisi bukanlah pada pengelolaan dana bantuan, PFI mengkhawatirkan pengelolaan dana masyarakat tersebut tidak profesional. Menurut Ismid, PFI telah menemukan pengelolaan dana bantuan masyarakat untuk bencana kemudian dinamai sebagai bantuan pemilik stasiun televisi. Ini justru menunjukkan tidak profesionalnya stasiun televisi dalam mengelola dana bantuan. Padahal, ujar Ismid, kegiatan filantropi adalah sebuah pekerjaan yang harus dikelola secara profesional. Dalam PFI sendiri terdiri atas tiga jenis organisasi, yakni pihak pemberi dana, pihak penyalur dana dan pihak penerima dana. “Seharusnya ketika lembaga penyiaran menyalurkan bantuan, tidak di bawah payung lembaga penyiaran tersebut, melainkan disalurkan ke lembaga pengelola bantuan yang profesional”, ujar Ismid.
Kepada KPI, PFI berharap bisa menjajaki kerjasama untuk mengatur soal penggalangan dana publik yang dilakukan lembaga penyiaran. Selain itu, ujar Ismid, PFI juga tengah menyusun etika filantropi di Indonesia. “Sejujurnya, kita memang harus berterima kasih pada media penyiaran yang ikut menggalang dana bantuan. Tapi di luar negeri hasil penggalangan dana tidak dikelola sendiri, melainkan disalurkan kepada lembaga seperti Palang Merah dan sejenisnya”, ungkap Ismid yang juga dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI).
Azimah juga mengakui regulasi soal penggalangan dana publik oleh lembaga penyiaran masih sangat longgar. Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS) 2012 yang dibuat KPI belom secara spesifik mengatur tentang filantropi. “Memang ada kekhawatiran dana publik yang digalang dan dikelola oleh lembaga penyiaran digunakan untuk PR-ing lembaga itu sendiri”, ujar Azimah. Untuk itu dirinya menyambut baik ajakan PFI untuk menyusun etika filatropi ini. Azimah juga menyarankan agar PFI berkoordinasi pula dengan Dewan Pers untuk menguatkan daya dorongnya media massa. Selain itu, ujar Azimah, penting untuk PFI berkoordinasi dengan Kementrian Sosial tentang regulasi yang ada selama ini. Bukan tak mungkin PFI pun mengusulkan adanya Undang-Undang yang baru tentang penggalangan dana publik ini ke Kementrian Sosial. “Apalagi Undang-Undang yang saat ini digunakan adalah UU tentang Pengumpulan Uang atau Barang yang diterbitkan tahun 1961”, pungkas Azimah.
Sumber: Kelas Kyutri, Jumat, 22 Maret 2013.