Pengertian Konsep Pengelolaan Pengetahuan
Persoalan pengelolaan pengetahuan tidak dapat disebutkan sebagai sesuatu yang baru. Sebagai konsep perkara ini mulai dibicarakan secara meluas pada tahun 1991. Sehingga bagi kita masih sangat relevan untuk dibahas bersama. Konon popularitas perihal ini sebagai disiplin ilmu dipicu oleh artikel The Knowledge-Creating Company yang ditulis oleh Ikujiro Nonaka bersama rekannya Hirotaka Takeuchi.
Pengertian pengelolaan pengetahuan adalah upaya yang sadar dan sengaja untuk mengelola informasi dan pengetahuan sebagai aset lembaga, menjaga keberlanjutan keberadaan pengetahuan itu dalam lembaga, termasuk didalamnya upaya mengembangkan dan menangkap (knowledge generation dan knowledge capture) pengetahuan, pembelajaran dan pengalihan pengetahuan (knowledge transfer), serta pemanfaatan pengetahuan itu. Upaya itu mencakup pula identifikasi tacit knowledge (pengetahuan tersirat), yang kadang-kadang bahkan tidak diketahui si pembawa pengetahuan sendiri, untuk menjadikannya pengetahuan yang tersurat (explicit knowledge) agar dapat didokumentasikan dan diteruskan kepada pihak lainnya.
Lalu apa tujuan pengelolaan pengetahuan itu? Pengelolaan pengetahuan itu pada umumnya diarahkan pada tujuan-tujuan organisasional seperti peningkatan kinerja, memacu inovasi, mempertahankan atau mengembangkan keuntungan komparatif, serta berbagi informasi dan pengetahuan dalam organisasi. Intinya adalah bahwa jika pengetahuan orang-orang dalam organisasi, baik secara perseorangan maupun bersama-sama merupakan modal suatu organisasi, maka sebaiknya pengetahuan itu dikelola dengan sebaik-baiknya.
Dalam bidang pengembangan masyarakat, konsep pengelolaan pengetahuan adalah kerangka berpikir yang baik dan menjanjikan sebagai acuan dalam pengembangan kerja-kerja pembangunan masyarakat. Bisa jadi anda bertanya “Apakah pengelolaan pengetahuan memang dapat didayagunakan dalam pengembangan masyarakat?” Bayangkanlah bahwa jika ada pertukaran pengetahuan yang teratur dalam masing-masing lembaga dan antara warga komunitas praktisi pembangunan masyarakat yang lebih luas, bukankah ini akan memicu kinerja semua lembaga demi manfaat bagi masyarakat yang dilayani?
Tentu saja akan ada perbedaan peran antar lembaga; LSM yang bergerak dalam bidang pembangunan masyarakat (community development), misalnya, melihat perannya sebagai “penyebar” pengetahuan kepada masyarakat yang menjadi “sasaran” program-program pembangunan masyarakat; perguruan tinggi dan lembaga penelitian lebih melihat perannya sebagai lembaga “produksi” (ilmu) pengetahuan; mass media berperan sebagai penyampai informasi pembangunan kepada khalayak pembaca/pemirsa yang luas serta pengawas (“watch dog”) pembangunan dalam upaya demokratisasi pembangunan yang lehih luas, sementara lembaga-lembaga pemerintah lebih sering menempatkan dirinya sebagai penyebar pesan-pesan pembangunan secara lebih konvensional. Kita bisa melihat persamaan dan kesejajaran dalam semua peran itu sebagai garis merah yang menghubungkan semua pemangku kepentingan tersebut. Dalam khasanah pengelolaan pengetahuan kemudian dikatakan bahwa semua pemangku kepentingan itu bisa merupakan komunitas praktisi (“community of practitioners”) pembangunan masyarakat, dan gagasan yang kemudian muncul adalah apakah para anggora komunitas itu bisa bekerjasama dalam pengembangan pengelolaan pengetahuan, atau bahkan mengembangkan sistem pengelolaan pengetahuan bersama?
Apakah ini gagasan itu realistis dan dapat dikembangkan? Dalam menjawab pertanyaan itu nampaknya ada berbagai persoalan dalam pengelolaan pengetahuan di ranah pembangunan masyarakat yang perlu menjadi perhatian bersama, antara lain:
- Pengetahuan tersirat seringkali tidak dapat serta-merta dijelaskan dan dijadikan pengetahuan tersurat (eksplisit) untuk pengalihan karena sifatnya yang sangat subjektif. Sering ada kesulitan dalam mengidentifikasi dan mendokumentasikan pengetahuan tersirat itu; dokumentasinya sering justru membingungkan dan serinci apapun petunjuk tentang bagaimana melakukan sesuatu tidak selamanya memadai. Nampaknya ada alasan mengapa suatu pengetahuan bersifat tersirat.
- Pengelolaan pengetahuan selama ini lebih banyak berkembang di dunia usaha, pada tingkat organisasi tunggal dan dengan insentif yang sangat jelas, sementara kalau kita membayangkan sistim pengelolaan pengetahuan dalam bidang pengembangan masyarakat yang kita hadapi adalah bidang kerja yang sangat luas dan beragam yang ditangani oleh banyak organisasi yang saling berbeda, masing-masing mempunyai agendanya sendiri, dan bekerja di berbagai tempat yang tersebar.
- Lembaga-lembaga pengembangan masyarakat sering mempunyai pemahamannya masing-masing tentang pengelolaan pengetahuan, sesuatu yang barangkali tidak menjadi masalah jika pemahaman itu walaupun agak berbeda masih cukup persamaannya. Bahkan terungkap juga beberapa kesalahan pemahaman; misalnya pemahaman pengelolaan pengetahuan yang terbatas sebagai pengembangan dan pengelolaan pangkalan data (data base) digital, pengembangan sistem informasi berbasis teknologi komputer, atau sistem informasi manajemen (management information system). Juga ada teknologi-teknologi “Web 2.0.” yakni perangkat lunak informasi untuk memfasilitasi partisipasi melalui jaringan komputer/ internet (seperti perangkat lunak jejaring sosial Facebook). Walaupun merupakan bagian-bagian dari pengelolaan pengetahuan, semua hal itu bukanlah sistem pengelolaan pengetahuan itu sendiri.
- Lembaga-lembaga pengembangan masyarakat pastilah memiliki prakarsa pengelolaan pengetahuan, tetapi seringkali yang dilakukan adalah kegiatan yang sepotong-sepotong, insidental, dan walaupun memang berkenaan dengan pengetahuan, kegiatan itu tidak merupakan bagian terpadu dalam rencana strategis pengelolaan pengetahuan lembaga. Artinya walaupun ada kegiatan dokumentasi, misalnya, kegiatan itu tidak merupakan rencana pengelolaan pengetahuan yang menyeluruh.
- Di samping itu pula, manakala kita membayangkan suatu sistem pengelolaan pengetahuan dalam komunitas para praktisi pengembangan masyarakat, kerjasama antara lembaga-lembaga itu belum menjadi bagian yang terpadu dalam kegiatan masing-masing lembaga tersebut. Semua teman yang pernah terlibat dalam suatu jaringan tahu bahwa tradisi berjaringan belum tumbuh; agenda jaringan belumlah menjadi agenda bersama dan belumlah dilihat sebagai bagian dari agenda individual masing-masing lembaga. Akibatnya para peserta jaringan hanya berpartisipasi secara insidental manakala ada persepsi tentang manfaat langsung bagi lembaganya.
Dengan pandangan positif, persoalan-persoalan seperti itu, dan banyak persoalan lain lagi, semestinya tidak diterima sebagaimana adanya, tetapi dilihat sebagai kendala yang mungkin diatasi. Artinya walaupun tidak akan mudah, kemungkinan pengembangan dan pemanfaatan pengelolaan pengetahuan dalam ranah pengembangan masyarakat patut tetap dieksplorasi.
Oleh: Ilya Moeliono
Sumber: Air Sejati.