Pengawasan Hutan Lemah
MATARAM, KOMPAS – Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 30 Tahun 2012 tentang Penatausahaan Hasil Hutan yang Berasal dari Hutan Hak diminta dicabut. Alasannya, surat ke- terangan asal-usul kayu yang hanya dikeluarkan kepala desa seperti diisyaratkan permenhut itu memacu percepatan kerusakan hutan. Bahkan, hal itu memborgol dinas kehutanan melaksanakan tugas pengawasan dan penindakan hukum terhadap perambahan dan pencurian kayu di kawasan hutan di Provinsi Nusa Tenggara Barat.
”Semua kabupaten/kota di NTB dalam suatu pertemuan yang membahas soal permenhut itu menginginkan peraturan ini ditinjau ulang, bahkan dicabut. Dalam kenyataan, ada celah yang bisa dijadikan peluang oleh oknum tertentu untuk mengambil kayu dalam hutan,” ujar Samsudin, Kepala Seksi Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan NTB, Selasa (5/3), di Mataram.
Samsudin mengatakan, permenhut itu demi efisiensi dan efektivitas dinas kehutanan menjaga ekosistem dan ekologi hutan, tidak lagi disibukkan oleh urusan di luar kawasan hutan. Misalnya, soal izin hasil hutan hak atau izin pemanfaatan kayu tanah hak milik (IPKTM), kepemilikan cukup diperkuat surat keterangan asal-usul kayu (SKAU) yang dikeluarkan kepala desa.
”Dalam praktiknya, akibat lemahnya pengawasan di lapangan, tak sedikit oknum warga yang menebang kayu di kawasan hutan, lalu dibawa ke lokasi kebun dan dilegalkan dengan SKAU. Misalnya, di Desa Calabai, Dompu, Pulau Sumbawa, tercatat 390 lembar IPKTM,” kata Agus Supriyadi, petugas polisi kehutanan. Untuk mendapat selembar IPKTM atau SKAU, perlu biaya Rp 1 juta-Rp 3 juta.
Bukti lain, lanjut dia, di Pelabuhan Pototano, Sumbawa Barat, pada Oktober 2012 tercatat 340 truk berkapasitas 8 meter kubik-10 meter kubik per truk diantarpulaukan ke Lombok. Pada 13 November 2012 ada 89 truk kayu jenis dua banga diseberangkan dari Pulau Sumbawa ke Lombok.
Padahal, secara empiris, areal kebun di Dompu nyaris tidak ada yang ditanami kayu bernilai ekonomis. Kebun yang ada umumnya ditanami padi gogo dan berbagai jenis tanaman palawija. Kayu yang bernilai ekonomis hanya ada di kawasan Hutan Tambora, bagian dari Gunung Tambora.
Demi berjalannya fungsi kontrol yang lebih baik, permenhut yang menjadi dasar penerbitan SKAU dan IPKTM ditinjau ulang. Jika tetap diberlakukan, kawasan hutan di Lombok dan Sumbawa akan makin hancur. (RUL)
Sumber: KOMPAS, Kamis, 07 Maret 2013.