Pengalaman Buruk yang Dialami oleh SDM
Mungkin sampai di sini, kita-kita yang bekerja di departemen SDM mulai stres. Makin kita membaca keluhan orang tentang SDM, kita semakin stres. Untunglah, kita sudah akan meninggalkan hal itu dan mulai masuk pada hal yang Iebih positif tentang SDM.
Pada kenyataannya, orang-orang SDM memang juga punya keluhan yang tidak kurang banyaknya. Coba baca komentar-komentar di bawah ini:
Marto: “Saya bekerja di bagian perekrutan. Merekrut orang yang tepat itu tidak gampang. Perusahaan kami cukup besar, staf ada, sarana ada, tetapi tetap tidak gampang. Departemen lain tidak tahu betapa sibuknya kami mencari karyawan. Kami tidak pernah benar. Kalau iklan terlalu besar, kami dituduh boros oleh perusahaan apalagi kalau tetap tidak mendapatkan pelamar. Kalau terlalu kecil, kami dituduh pelit oleh departemen yang meminta, apalagi kalau tetap tidak mendapatkan karyawan. Sesudah kami.dapat, departemen lain malah yang menunda-nunda mewawancarai sampai akhirnya orang yang bersangkutan diambil orang lain. Lalu, kami lagi yang disalahkan.
Nani: “Saya menikmati bekerja sebagai staf SDM kalau saja tidak terlalu menekan (stres). Manajer saya terus-menerus berkata bahwa tugas kami tidak sama seperti tugas para sales yang harus keluar ke lapangan sehingga kami harus benar-benar mendukung mereka. Jadi, kami membuat berbagai macam insentif dengan departemen sales, kami juga menghubungi berbagai travel agent atau training provider, tapi selalu saja ada yang menuduh kita lambat. Mereka benar-benar tidak tahu bahwa pekerjaan kami banyak ragamnya.”
Oskar: “Saya percaya manusia harus benar-benar diperlakukan bagai sumber daya penting yang sejak direkrut harus diperhatikan, dipelihara, dan dijaga supaya bertahan di tempat kita. Kalau tidak dia akan menjadi sumber daya perusahaan lain, sering kali bahkan menjadi pesaing. Nah, dari semua departemen kan kita-kita dari SDM yang memikirkan hal ini. Kalau bukan kita siapa lagi?”
Posma: “Kita ini juga karyawan yang cuma ngerjain tugas. Kita juga tidak mau ngasih SP begitu saja, apalagi kalau karyawan nggak salah. Masa sih kita nyari-nyari kesalahan, emangnya kurang kerjaan, kita kan juga sibuk sekali. Tapi, temen-temen memang kadang-kadang keterlaluan, masa telat sampai 30 menit berkali-kali dalam sebulan.”
Quiny: “Memang susah kalau bicara dengan orang yang nggak tahu dalam-dalamnya SDM. Kita yang ngebelain mereka di belakang. Kita yang minta supaya si ini dan si itu dimaafkan. Kita yang mendesakatasan supaya si Ono dikasih pinjam lagi walau utang udah sebukit.Tapi, kita nggak bisa dong cerita-cerita jasa kita.”
Roni: “Ya, komplain sih udah bosen aku dengar. Teman yang jengkel sama aku barisannya juga udah panjang. Aku bukan diem-diem. Lamaran yang masuk banyak tapi kalau waktu tes mereka gagal, lha aku mesti bagaimana. Apalagi untuk lowongan di luar pulau, banyak yang emang ga lulus, mau digimanain lagi. Temen-temen cuma bilang kok pelit. Bukan pelit, kita kan punya standar gaji. Kalau pelamar minta gaji yang ketinggian kita ngasihya darimana? Emang aku yang punya perusahaan. Temen-temen sih nggak tau aja. Coba mereka cari sendiri, pasti pusingnya sama.”
Susi: “Lama-lama aku sendiri jadi kurang PD dengan departemenku. Lha, komplainnya nggak abis-abis, padahal kita juga udah kerja cepet-cepet. Proses penggantian uang obat misalnya, memang prosedurnya harus diperiksa dokter baru kita bisa minta keuangan untuk mengganti. Makanya, cepat-cepat masukin. Karyawan juga sih yang kadang nakal, sudah dibilangin kosmetik nggak bisa diganti masa resep untuk kulit tetap aja dimasukin.”
Tomang: “Semua mau diperkecualikan. Semua mau cepat. Lha, kita di SDM cuma berapa orang? Kita begini dikit dan melayani begitu banyak. Kalau kita banyak orang nanti dikomplain kok banyak. Kalau dikit, dikatain rpian amat. Salah terus. Selama di SDM gue belon pernah tau rasanya dipuji. Kalau di kritik sih sudah kebal.”
Umar: “Kita minta karyawan sensus lagi, demi mereka juga, mereka bersungut-sungut. Kita minta data sudah pernah training apa aja, nggak ngasih. Kita tanya pendapat mereka tentang apa saja lewat e-mail, selalu dikit banget yang masukin jawaban. Coba bicara libur, hadiah, wah… nggak usah ditanya juga ngirim pendapat macem-macem.”
Wawan: “Apa karena kita kurang terlibat dengan bisnis ya? Saya perhatikan manajer SDM kita Pak Amir tetap ada di kantornya sementara manajer lain meeting. Seolah-olah kita tinggal menjalankan keputusan. Apa karena kita tidak tahu banyak tentang produk dan servis yang kita jual ya?”
Dari sekian banyak komentar, baik dari sisi SDM maupun sisi non-SDM, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sulit bagi departemen SDM untuk menjadi departemen favorit karyawan. Tetapi kita tidak perlu putus asa, masih ada puluhan halaman di buku ini yang akan memberikan kita jalan keluar.
Disarikan dari buku: Mengapa Departemen SDM Dibenci?, Penulis: Steve Sudjatmiko, Hal: 73-77.