Pemetaan Kapasitas Tata Kelola Keuangan Organisasi Nirlaba
Pemetaan terbatas atas kapasitas pengelolaan keuangan organisasi nirlaba di Indonesia dilakukan Yayasan Penabulu dengan melibatkan 83 LSM responden yang tersebar di seluruh Indonesia. Pemetaan ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran terkini atas kondisi pengelolaan keuangan organisasi nirlaba di Indonesia, mengidetifikasi kesenjangan kapasitas yang ada serta menemukan solusi yang paling mungkin dilakukan saat ini bagi peningkatan kapasitas pengelolaan keuangan organisasi nirlaba di Indonesia.
Beberapa temuan akan disajikan berikut secara ringkas, terutama yang terkait erat dengan narasi tulisan di atas, dan akan diuraikan berdasarkan tema pertanyaan kunci yang dibagikan.
Profil Organisasi
Secara Umum bentuk badan hukum LSM adalah Yayasan dan Perkumpulan, dengan komposisi yang hampir seimbang dan sebagian besar LSM tergabung dalam jaringan kerja atau aliansi program tertentu. Sebagian besar LSM menginplementasikan secara langsung program dan kegiatan masing-masing dan hanya sekitar 7% responden yang menyatakan mereka bekerja dan menyalurkan dana melalui LSM lain. Yang menarik adalah sekitar sepertiga responden menyatakan bahwa mereka memiliki unit usaha. Pernyataan ini masih perlu diperdalam lebih lanjut, dikarenakan dari keterangan jawaban kuisioner yang diterima, ditemukan indikasi bahwa unit usaha yang mereka kembangkan tidak hanya bertujuan sebagai alat penggalangan dana, namun juga sebagai alat intervasi program dan perluasan gerakan.
Penganggaran
Hampir seluruh responden menyatakan telah memiliki mekanisme penganggaran yang memadai, baik mengenai proses dan periode penganggaran dan keterlibatan seluruh komponen organisasi. Proses penganggaran biasanya dilakukan bersamaan dan menjadi bagian dari perencanaan strategis atau perencanaan tahunan organisasi. Penyusunan proyeksi arus kas sebagai penurunan dokumen anggaran juga telah dilakukan secara periodik oleh sebagian responden. Beberapa catatan penjelas mengidikasikan masih minimnya proses evaluasi dan revisi anggaran secara periodik, yang menunjukkan lemahnya aktivitas pemantauan dalam pengelolaan keuangan organisasi nirlaba. Kombinasi aneh kondisi di atas (mekanisme penganggaran yang baik, mekanisme proyeksi dan pemantauan yang lemah) menyodorkan pertanyaan mendasar mengenai sebarapa jauh sebenarnya LSM mampu menyusun anggaran organisasi mereka secara mandiri?
Seberapa jauh ketergantungan LSM kepada para penyumbang dalam proses perencanaan program dan anggaran organisasi? Indikasi yang ditemukan adalah bahwa anggaran masih sekadar menjadi kelengkapan proses perencanaan program dan belum dapat sepenuhnya menjadi intrumen pengelolaan keuangan strategis.
Struktur Pengelolaan
Pada sekitar 36% responden ditemui ketidaklengkapan personel bagian keuangan, yang juga sekaligus mencerminkan belum tegasnya pemisahan fungsi kelola pada unit keuangan pada LSM tersebut. Sedangkan mengenai fungsi otorisasi dan pengawasan, secara umum mekanismenya didasarkan pada persetujuan transaksi pengeluaran dana dan review atas laporan keuangan. Fungsi otorisasi dan pengawasan keuangan dilakukan dengan mengacu pada hierarki organisasi masing-masing dengan titik berat keterlibatan pengurus/pelaksana pada transaksi pengeluaran dana dan keterlibatan board/ dewan pengawas sebagai bagian akhir dari mekanisme pengawasan organisasi. Tampak bahwa prinsip pengendalian internal telah dipahami dengan baik oleh LSM pada fungsi otorisasi dan pengawasan, namun seberapa jauh kualitas kedua fungsi diselenggarakan dan apa saja hambatan yang ditemui belum dapat dikaji lebih lanjut berdasarkan hasil pemetaan ini.
Pencatatan dan Pelaporan
Menarik untuk melihat bahwa hanya sekitar 44 % responden menyatakan telah menyusun laporan keuangan lembaga sesuai PSAK 45 yang dikerjakan oleh staf akunting/ akuntan/ administrasi keuangan. Padahal pada bagian sebelumnya terlihat bahwa terdapat 36 % responden yang tidak memiliki kelengkapan personel secara ideal. Kesimpulan awal dari kondisi ini adalah bahwa kelengkapan personel unit keuangan tidak serta merta menjamin organisasi mampu memproduksi laporan keuangan kelembagaan sesuai dengan standar akuntansi PSAK 45. Sebagian besar responden juga menyatakan bahwa laporan keuangan, khususnya laporan mengenai status anggaran per proyek, telah menjadi basis pertimbangan pengambilan keputusan organisasi. Temuan-temuan ini kembali menggambarkan bahwa selama ini LSM masih terfokus pada laporan pertanggungjawaban keuangan kepada para penyumbang dan belum sepenuhnya mengembangkan sistem pelaporan keuangan organisasi yang terkonsolidasi.
“LSM masih terfokus pada laporan pertanggungjawaban keuangan kepada para penyumbang, dan belum sepenuhnya mengembangkan sistem pelaporan keuangan organisasi yang terkonsolidasi.”
Mengenai perangkat pencatatan, kesimpulannya telah diuraikan pada bagian sebelumnya. Sebanyak 22% responden menggunakan perangkat pencatatan yang diisyaratkan oleh penyumbang atau perangkat lain yang dikembangkan sesuai standar PSAK 45, 5% lainnya menggunakan perangkat akuntansi versi entitas bisnis, dan sejumlah besar sisanya masih menggunakan program spreadsheet Ms. Excel sebagai alat bantu dalam pencatatan dan pelaporan keuangan organisasi.
“Audit kelembagaan belum sepenuhnya LSM lakukan dengan alasan tidak adanya dukungan anggaran. Namun, terindikasi bahwa audit kelembagaan belum dapat dilakukan karena belum mempunyai LSM itu menyajikan laporan keuangan konsolidasi.”
Sistem Akuntansi dan Keuangan
Seluruh responden menyatakan telah memiliki SOP Keuangan, dengan keterangan jenis formulir yang cukup lengkap. Namin hanya separuh dari responden yang mampu menguraikan kebijakan dan prosedur apa saja yang terdapat dalam SOP tersebut. Hanya terdapat sedikit catatan penjelas yang menyebutkan bahwa SOP Keuangan belum sepenuhnya dapat diimplementasikan pada beberapa LSM. Temuan lain adlah kurangnya proses review dan pembaruan SOP Keuangan yang bertujuan untuk memeriksa kembali relevansi SOP tersebut di tengah perkembangan dinamika opersional organisasi. Lagi-lagi, kombinasi berbagai kondisi tersebut, terutama pada pernyataan sebagian responden tentang kepemilikan atas SOP Keuangan, namun tanpa kemampuan untuk menguraikannya dalam peta prosedur; menunjukkan lemahnya implementasi sistem pengendalian internal pada sebagian organisasi nirlaba di Indonesia.
Audit
Tidak mencapai separuh responden yang menyatakan telah diaudit kelembagaan dengan opini auditor yang cukup baik. Di sisi lain, hampir 86% responden menyatakan telah diaudit dalam ruang lingkup proyek, juga dengan opini auditor yang cukup baik. Audit kelembagaan belum sepenuhnya LSM lakukan lebih karena alasan tidak adanya dukungan anggaran. Namun, membandingkan pernyataan ini dengan temuan pada aspek pencatatan dan laporan sebelumnya, terindikasi bahwa audit kelembagaan belum dapat dilakukan oleh sebagian LSM bukan hanya karena keterbatasan anggaran, tapi juga disebabkan oleh belum mampunya LSM itu sendiri menyajikan laporan keuangan konsolidasi sesuai dengan standa PSAK 45.
Peningkatan Kapasitas
Tanggapan responden pada aspek ini cukup beragam, namun gambaran secara umum atas kesenjangan kapasitas pengelolaan keuangan yang ditemui telah cukup diuraikan pada bagian-bagain sebelumnya. LSM membutuhkan peningkatan kapasitas pada tiga lapis faktor pengelolaan keuangan, baik pada pengembangan/perbaikan sistem keuangan, peningkatan kapasitas personel pengelola dan juga kebutuhan mendesak atas perangkat pencatatan dan pelaporan keuangan organisasi.
Yang cukup menarik untuk dicatat adalah uraian beberapa responden yang menyatakan bahwa metode pelatihan tidak dirasa cukup efektif dalam memupus kesenjangan kapasitas yang ada saat ini. Beberapa responden secara jelas menyatakan bahwa pendampingan harus dilakukan untuk menyertai metode pelatihan dalam upaya meningkatkan kapasitas personel pengelola dalam waktu pendek dan segera. Selain itu, aspek peningkatan kapasitas lain yang mengemuka adalah kebutuhan akan peningkatan pemahaman atas kewajiban perpajakan organisasi nirlaba dan juga tentang model pengelolaan keuangan unit usaha dan koperasi.
Pemetaan status kapasitas pengelolaan keuangan organisasi nirlaba di Indonesia ini diharapkan juga dapat sedikit banyak memberikan gambaran mengenai transisi saat ini. akuntanbilitas pengelolaan keuangan semakin menjadi tuntutan yang harus direspon dengan serius, sebagai bagian dari upaya LSM menjamin keberlanjutan gerak organisasi. Mendorong organisasi tetap relevan dalam situasi saat ini, bergerak maju untuk mencapai visi organisasi, menggalang sumberdaya keberlanjutan organisasi dan meningkatkan akuntabilitas kelembagaan (termasuk di dalamnya akuntabilitas pengelolaan keuangan); kesemuanya merupakan tantangan aktual yang harus direspon pada saat yang sama. Tidak mungkin mengharapkan kesempurnaan secara instan, mendayung perahu ke tujuan sambil menjahit layar menjadi pilihan terbaik untuk saat ini. atau dalam ungkapan Romawi, Cresit In Cundo, organisasi masyarakat sipil harus mampu bertumbuh selagi berjalan.
Disarikan dari buku: Akuntabilitas Keuangan Pengendalian Internal dan Pengelolaan Keuangan Organisasi Nirlaba, Penulis: Eko Komara Kurniawan, Hal: 27-31.