Pemberdayaan dan Percepatan Pembangunan
Pemberdayaan telah muncul menjadi wacana publik di sekitar tahun 1970-an ketika pemerintah (Orde Baru) sedang melancarkan percepatan pembangunan ekonomi yang mensyaratkan adanya stabilitas politik dan keamanan yang mantap dan dinamis. Seluruh potensi sumber daya alam yang ada dikeruk untuk menggenjot laju pertumbuhan ekonomi yang merupakan indikator penting kebehasilan pembangunan seraya melibas segala faktor yang dianggap akan menghambat laju pembangunan itu. Maka, pembangunan kemudian muncul menjadi keniscayaan yang tidak dapat ditolak karena pembangunan dirumuskan oleh pemerintah sebagai upaya sistematis untuk meraih masa depan yang maju dan bekemakmuran. Pemerintah dalam hal ini menjadi satu-satunya pemilik kebenaran yang harus dipatuhi rakyatnya dan pembangunan sendiri kemudian kecenderung menjadi ideologi tersendiri.
Di tengah derap pembangunan yang demikian, proses marjinalisasi terhadap peranan masyarakat terus terjadi. Masyarakat dan sumber daya lainnya terus “dieksplotasi” demi pembangunan yang berideologikan kemajuan dan kemakmuran bersama sehingga masyarakat merelakan apa saja yang dimilikinya. Namun masyarakat sendiri terus-menerus dihantui perasaan telalienasi dari pembangunan yang digelar tepat di depan hidungnya. Sementara kekuatan untuk berekspresi sekedar untuk mengartikulasi kegelisahan, selalu ditanggapi oleh pemerintah sebagai bentuk pembangkangan yang tidak jarang ditagapi dengan tindak kekerasan pemerintah terhadap rakyat. Termasuk kasus perlawan rakyat terhadap tindakan pengurusan tanah dan perkampungan yang semena sering kali berakhir dengan kekalahan dipihak masyarakat yang tandai dengan jatuhnya korban jiwa. Pemerintah dalam hal ini berwatak hegemonik yang mengkooptasi segenap elemen masyarakat dan terus menekan perlawanan masyarakat hingga tidak berdaya.
Bertolak dari realitas yang demikian, kemudian muncul kelompok-kelompok masyarakat yang memilik kesadaran kolektif terhadap nasib masyarakyat untuk melakukan berbagi upaya kratif membebaskan masyarakat dari cengkraman pemerintah yang demikian hegemonik. Mereka pada mulanya berkerja secara swadaya, mereka ini yang kemudian dikenal pelaku-pelaku pemberdayaan masyarakat yang tergabung ke dalam berbagai LSM. Meraka yang pada mulanya berkerja secara relawan dan menjadikan kepentingan masyarakat sebagai kekuatan alaternatif, meskipun harus dicap sebagai rival pemerintah.
Berbagai bentuk kebijakan pemerintah yang dinilai melemahkan posisi masyarakat dan menguatakan kelompok tertentu seperti berbagai bentuk kebijakan yang melahirkan kesenjangan, kritisi dan digempur baik dalam bentuk pengembangan wancana, advokasi hingga pembuatan pilot-pilot proyek yang digelar di tengah-tengah masyarakat. Terjadi perubahan orientasi pembangunan yang lebih menekankan pada aspek pengembangan sumber daya manusia (SDM) ketimbang pengembangan sumber daya alam (SDA) perubahan kebijakan pemerintah yang concern terhadap penegembangan ekonomi rakyat ketimbang pengembangan ekonomi ekonomi kolongmerat pada dekade 1990-an, tidak terlepas dari upaya kreatif kelompok LSM dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah.
LSM pada kondisi tersebut tidak lagi dipandang sebagai rival namun telah ditempatkan sebagai partner pemerintah yang keratif dan cekatan. LSM tidak saja tampil sebagai kekuatan idealis yang gurem, namun tampil sebagai kekuatan professional yang tangguh. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika tehadap lembaga masyarakat menaruh harapan dan kepercayaan, karena lembaga inilah yang secara nyata mewarnai berbagai kebijakan dan paradigma pembangunan sehingga lebih berpihak kepada kepentingan dan pemberdayaan masyarakat.
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Penulis: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 127-129.