Pelangi Sang Pencari Kebijakan Hidup
Budi Santoso Tanuwibowo tumbuh dalam pencarian spiritualitas. Alam seolah membentuknya menjadi manusia dalam beragam dimensi.
Orang tua dan leluhurnya mewariskan Khonghucu. Tapi Orde Baru tak mengakui keberadaan agama ini. Budi terpaksa asal-asalan mengisi kolom agama di kartu tanda penduduk. Kadang dia mengisikan Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu. Kali lain dia cantumkan Budha.
Bersama para pegiat Masyarakat Dialog Antar Agama (Madia), Budi gigih melakukan lobi agar Khonghucu diakui. Perjuangan tak sia-sia. Pada 2001, Presiden Abdurrahman Wahid mengakui Khonghucu sebagai salah satu agama di Indonesia. Sejak itu kolom agama di KTP Budi resmi berisi Khonghucu.
Budi kecil tumbuh dikelilingi lagu rohani Kristiani. Rumahnya di Tegal, Jawa Tengah, bersebelahan dengan Gereja Pantekosta. Di sekolah dasar dia mengikuti pelajaran agama Kristen karena tak tersedia pelajaran Konghucu. Budi juga hapal doa dan tata cara salat, sebab dia juga harus ada di kelas saat pelajaran agama Islam. Ketika kuliah di Institut Pertanian Bogor, Budi mengikuti mata kuliah Budha. Dia juga pernah enam bulan tinggal di sebuah banjar di Denpasar, Bali, dan menjalani ritual Hindu. Sebuah perjalanan hidup yang bagaikan pelangi.
Pria bertubuh tambun seperti Semar ini rajin menulis. Keahlian menulis ini pula yang membuatnya dikenal sebagai sosok intelektual dalam organisasi Perhimpunan Indonesia Tionghoa.
Renungannya atas berbagai persoalan hidup dia tuliskan menjadi puisi dan esai pendek. Saban dini hari, terutama saat terjadi peristiwa fenomenal, dia mengirimkan puisi kepada kawan dan kerabatnya melalui pesan telepon seluler. Kumpulan esai pendeknya diterbitkan sebagai buku berjudul Bertambah Bijak Setiap Hari, 8×3=23.
Surat Dari dan Untuk Pemimpin
Kutulis surat ini
Untuk para calon pemimpin negeri
Agar terus diingatkan
Akan pentingnya keutuhan
Aku kan bercerita
Tentang sebuah kisah nyata
Percakapanku dengan Gus Dur
Empat belas tahun lalu di Ciganjur
Aku masih ingat benar tanggalnya
Dua puluh November sembilan delapan
Waktu itu isu naga hijau mengemuka
Banyak ulama yang dicelakakan
Gus Dur benar-benar marah waktu itu
Apalagi ia Ketua Umum PBNU
Banyak tokoh lintas agama di rumahnya
Aku termasuk salah satunya
Pada kesempatan berdua
Aku berkata padanya
Sampeyan marah itu pantas
Karena warga Sampeyan dilibas
Sampeyan membalas tak bisa disalahkan
Karena banyak Kiai yang jadi korban
Sampeyan adalah pimpinan
Tentu amat wajib tampil di depan
Namun Gus
Sampeyan juga tokoh bangsa
Bahkan termasuk yang utama
Kalau Sampeyan benar-benar marah
Tentu bangsa ini hancur berdarah-darah
Sekarang pilihan ada pada Sampeyan
Bertindak sebagai pimpinan NU atau bangsa keseluruhan
Sejarah nanti yang akan menilai
Silakan Sampeyan memindai
Lama Gus Dur terdiam
Peran batin bergolak di dadanya
Akhirnya dengan wajah yang muram
Gus Dur menitikkan air mata
Ia memilih menjadi pimpinan bangsa
Meski batinnya berat menanggung lara
Namun Indonesia terselamatkan
Dengan jiwa penuh pengorbanan
Wahai para calon pemimpin bangsa
Belajarlah dengan penuh saksama
Ketulusan kearifan dan keberanian berkorban
Itulah resep utama seorang pimpinan
Utamakan kepentingan bangsa
Di atas kepentingan lainnya
Tak ada tawar-menawar
Merah putih harus tetap utuh berkibar
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Budi S. Tanuwibowo, Hal: 93-95.