Orde Baru Runtuh, Serikat Buruh Tumbuh
Sekitar pukul dua siang, beberapa saat setelah jam kerja berakhir, sekitar 80 buruh PT Nisshin Ceramics di kawasan Cibinong bergegas menuju sebuah bangunan tanpa dinding seluas 150 meter persegi. Asap masih mengepul dari cerobong pabrik pembuatan ubin keramik yang berdekatan dengan bangunan yang dipenuhi kotak-kotak kayu berlumuran lumpur kering. Kotak kayu itu dipergunakan untuk menampung keramik yang baru saja dicetak. Tanpa mengindahkan kebersihan, buruh pabrik, yang sebagian besar perempuan, menggelar potongan-potongan kardus yang diambil dari atas kotak-kotak itu sebagai alas duduk.
Panas menyengat. Peluh membasahi dahi dan kaos. Namun, tawa canda berderai di ruang tanpa dinding itu. Perhatian mereka lantas tertuju pada sepotong papan tulis yang tergantung di sisi tumpukan kotak. Mereka melantunkan mars buruh yang tertulis di sana: Kami tangan-tangan matahari… Sebuah bangsa hidup dalam keringat kami…
Di ruang bekas kantin itu, para buruh tadi yang bergabung dalam Serikat Buruh Jabotabek (SBJ) membahas sebuah agenda: tuntutan kenaikan uang makan dan uang transport menghadapi rencana pemerintah menaikkan bahan bakar minyak per 1 Oktober 2000. Mereka bebas bicara.
SBJ di PT Nisshin Ceramics lahir setelah buruh perusahaan modal asing Jepang ini mogok menuntut kenaikan upah dan cuti kerja. Sekalipun serikat buruh ini belum diakui secara resmi, bos PT Nisshin merelakan gedung bekas kantin dipakai sebagai ruang secretariat dan mengizinkan buruh melakukan aktivitas organisasi di perusahaannya.
Sejak Orde Baru tumbang, antusiasme buruh dan pekerja lainnya untuk mengorganisasikan diri tak lagi terbendung. Mereka bertemu di rumah kontrakan anggotanya atau di rumah yang dikontrak bersama untuk tempat berkumpul. Bahkan, di ruang terbuka seperti tanah lapang. Puluhan aktivis buruh yang bergabung dalam Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNBI) pada Minggu 10 September siang, misalnya, berkumpul di pinggir danau yang terletak di kampus Universitas Indonesia, Depok untuk merancang aksi menolak kenaikan bahan bakar minyak nanti.
Ratusan buruh PT TVM Indonesia Crop memilih mengadakan rapat umum pembentukkan serikat buruh di sebuah lapangan di Desa Cikoneng Hilir, Tangerang, yang berdekatan dengan rumah kontrakan seorang buruh, setelah pihak perusahaan menolak permintaan mereka untuk menggunakan kompleks perusahaan. “Sejak tahun 1994 kami telah merintis pendirian serikat buruh di perusahaan kami, tetapi selalu gagal,” kata Sekretaris Serikat Buruh TVM, Sastrow “Perusahaan menganggap serikat buruh berbau komunis.”
Rintisan ini dilanjutkan beberapa buruh TVM setelah Soeharto jatuh. Anggotanya semula tak mencapai sepuluh orang. Mereka bergerilya, berkumpul dari satu rumah kontrakan ke rumah kontrakan lainnya, kemudian membentuk Paguyuban Karyawan TVM.
Panitia pendirian serikat buruh kemudian dibentuk, tetapi perusahaan menolak keberadaan mereka. Itulah sebabnya rapat diputuskan diadakan di lapangan. “Kami minta izin ke kelurahan dan kepolisian,” kata Sastrow. “Setelah itu kami membagikan selebaran undangan.”
Pertemuan di lapangan terbuka yang berlangsung pagi hingga sore hari itu dihadiri tidak kurang 400 buruh dari 600 buruh TVM. Bardi terpilih sebagai ketua umum. :Sejak itu, ada intimidasi dan ancaman pemutusan hubungan kerja. Bardi tidak boleh bicara dengan buruh lain. Tiap pagi dan sore ia dipanggil oleh manajemen,” tutur Maryadi, seorang pengurus buruh TVM. Manajemen yang dimaksud di kalangan buruh ini adalah personifikasi untuk pihak perusahaan.
Persoalan itu akhirnya dibawa ke Kantor Departemen Tenaga Kerja Tangerang yang me-micu aksi unjuk rasa buruh TVM. Perusahaan kemudian membentuk organisasi buruh tandingan, tetapi setelah enam bulan berjalan, perjuangan buruh dalam wadah bentukan perusahaan yang bernama “Komite TVM” itu selalu terjungkal. Akhirnya buruh TVM mogok dan menduduki pabrik, 3-12 Juni lalu. Buruh menuntut pembubaran Komite TVM, pembentukkan serikat buruh yang mandiri, dan kenaikan upah sebesar 50 persen.
“Selama sepuluh malam kami tidur di pabrik. Polisi, tentara, LBH, maupun LSM yang mau masuk kompleks pabrik dan ingin mencampuri urusan kami, kami tolak. Kami ingin berunding sendiri dengan perusahaan,” kata Sastrow.
Setelah melalui perjuangan panjang, SB TVM diterima perusahaan. Serikat buruh ini bahkan diberi fasilitas kantor, lengkap dengan peralatan komputer. Antusiasme gerakan buruh tidak hanya monopoli pekerja pabrik. Di kalangan pekerja kerah putih dan profesional kini juga muncul kecenderungan baru untuk menghimpun diri dalam organisasi pekerja. Kalangan karyawan bank membentuk Federasi Organisasi Pekerja Keuangan dan Perbankan Indonesia (Fokuba). Jurnalis yang bergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) kini bergiat mengampanyekan pendirian serikat kerja di lingkungan perusahaan pers.
Perkembangan organisasi buruh pada pekerja berkerah putih kini cukup pesat. Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia, yang semula bergabung dalam Fokuba, kini telah menghimpun 52 serikat pekerja di tingkat perusahaan. Organisasi ini mengklaim memiliki anggota sekitar 70.000 orang. Aspek yang semula berbasis pada pekerja sektor keuangan dan perbankan kini menggandeng karyawan PT Indosat, PT Pos dan Telekomunikasi, Taman Impian Jaya Ancol, dan sejumlah penerbitan dan percetakan.
Protes buruh dari kalangan pekerja kerah putih ini menampilkan warna yang berbeda dengan gerakan buruh yang selalu diidentifikasi sebagai pekerja kelas bawah, kumuh, dan revolusioner. Pertemuan-pertemuan mereka diadakan di ruang ber AC. Sehari-hari mereka berdasi. Logo yang dipilih tidak jauh berbeda dengan logo perusahaan-perusahaan kapitalistik. Symbol dan idiom yang mereka pergunakan pun jauh dari kekiri-kirian.
Aspek Indonesia dalam sebuah seminar memanjang spanduk dengan slogan berbahasa Inggris United We Bargain, Divided We Beg. Penyebaran serikat pekerja di kalangan pekerja kerah putih ini cukup pesat karena, antara lain, organisasi itu telah, lengkap dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, berita acara pembentukan organisasi, surat permohonan ke Depnaker dalam sebuah disket.
Kantor Aspek Indonesia di Tebet Dalam, Jakarta Selatan, pun dipenuhi dengan poster gerakan buruh yang bersifat “multinasional”. Di kantor yang dikontrak untuk jangka waktu lima tahun dengan uang sewa Rp 25 juta per tahun itu kini tengah dibangun ruang pelatihan information technology dan bahasa Inggris untuk pengurus. Bahkan pembantu rumah tangga yang diperkerjakan di kantor itu pun terampil berbahasa Inggris. “Ia pernah bekerja sebagai TKW (tenaga kerja wanita-Red) di Singapura,” kata Saepul Tavip, Sekretaris Jenderal Aspek Indonesia.
Tak terbatas pada penampilan fisik saja, Aspek juga menjalin erat dengan jaringan internasional. Suatu ketika Aspek menerima pengaduan dari karyawan PT Korean Exchange Bank Danamon karena manajemen perusahaan asal Korea itu menolak pendirian serikat pekerja di lembaga tersebut. Bahkan, yang bersifat “multinasional”. Manajemen bank tersebut langsung menghubungi Aspek. Namun, pengurus Aspek langsung mengadukan persoalan itu kepada Presiden Federasi Union Bank di Seoul, yang langsung mengontak orang Korea yang memimpin perusahaan itu. “Akhirnya ia menyetujui pembentukan serikat pekerja di perusahaan itu. Ternyata ia sendiri anggota serikat di negaranya,”kata Tavip.
KEBANGKITAN gerakan buruh dapat pula dilihat dari kelahiran puluhan organisasi buruh baru. Bila selama Orde Baru, pemerintah hanya mengakui Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sebagai organisasi tunggal buruh, kini sederet nama baru organisasi pekerja masa lalu, politisi, aktivis kampus, aktivis LSM, dan kaum profesional. Nyaris seperti partai-partai politik, bermunculan pula organisasi buruh yang memiliki identifikasi dengan aliran ideologi, baik berbau agama maupun aliran-aliran sekuler.
Tercatat dua organisasi buruh yang mengidentifikasi dengan gerakan Islam, yakni Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi), organisasi buruh yang membawa bendera Nahdlatul Ulama, dan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMII). Di samping organisasi buruh yang mengidentifikasi dengan aliran keagamaan, muncul pula Front Nasional Perjuangan Buruh Indonesia (FNPBI) dan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) yang mencantumkan asas sosialis demokrasi. Ada pula gerakan buruh marhaen, Kesatuan Buruh Marhaenis (KBM) yang dipimpin M Pasaribu.
Meski delapan organisasi buruh yang tergabung dalam Forum Solidaritas Union (FSU) belum mencabut penolakan terhadap UU Serikat Pekerja/Serikat Buruh Nomor 21 Tahun 2000, cukup banyak organisasi buruh yang telah mencatatkan keberadaannya di Departemen Transmigrasi dan Tenaga Kerja. Aktivis buruh kawakan, seperti Agus Sudono dan Bomer Pasaribu, masih terdapat dalam kepengurusan serikat buruh. Bomer Pasaribu masih tercatat sebagai Ketua Gabungan Serikat Buruh Industri Indonesia (Gasbiindo). Nama Eggi Sudjana dan Jumhur Hidayat juga muncul sebagai organisator serikat buruh. Eggi memimpin Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia (PPMI). Jumhur muncul sebagai Ketua Gabungan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Gaspermindo).
Tokoh bawah tanah dalam gerakan buruh sesama Soeharto, seperti Mochtar Pakpahan dan Dita Indah Sari, masih saja tampil dalam gerakan buruh. Pakpahan memimpin SBSI. Dita yang dulu memimpin Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI) kini memimpin FNPBI.
Masih persis seperti fenomena partai politik, ada pula sejumlah organisasi papan nama keanggotaannya yang belum jelas diketahui. Departemen Transmigrasi dan Tenaga Kerja hingga Agustus lalu mencatat 24 organisasi federasi serikat pekerja. Dari jumlah itu, Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI)-organisasi yang pernah memonopoli gerakan buruh semasa Orde Baru-tercatat masih memiliki peringkat tertinggi dalam jumlah keanggotaan serikat pekerja.
FSPSI tercatat memiliki 6.424 organisasi pekerja di tingkat perusahaan yang tersebar di 25 provinsi. Sedangkan organisasi pecahannya, FSPSI Reformasi memiliki 3.131 serikat pekerja di tingkat perusahaan yang tersebar di 26 provinsi. Gasbiindo pimpinan Agus Sudono baru memiliki satu anggota terdaftar di Depnaker. Dari 24 organisasi yang ada, baru 13 organisasi yang memiliki anggota yang resmi.
DI balik ingar-bingar gerakan buruh itu masih banyak soal yang mesti dijawab oleh aktivis buruh. Sebuah ciri yang melekat pada serikat buruh adalah iuran anggota untuk membiayai kegiatan organisasi. Dari sederet organisasi buruh yang ada, belum satupun organisasi yang mandiri dalam keuangannya. Bahkan yang telah memulai menarik iuran anggota pun masih satu-dua. Federasi SPSI masih mengandalkan dana dari luar dirinya, yakni dana dari Jamsostek yang tidak dinikmati oleh serikat-serikat buruh lainnya. Menurut sumber-sumber, F-SPSI tahun ini menerima dana tidak kurang dari Rp 900 juta dari Jamsostek.
“Lima puluh persen dana yang ada didekap oleh Federasi dan tidak pernah dilaporkan pada anggota. Antara lain karena alasan itulah kami memisahkan diri dari F-SPSI,” kata Sofyan, Sekretaris Serikat Pekerja Pariwisata Reformasi.
Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat F-SPSI Sjukur Sarto MS mengakui selama ini, mereka menerima uang Jamsostek. Namun, SPSI karena menjualkan polis asuransi Jamsostek kepada anggotanya.
Di luar F-SPSI, serikat-serikat buruh lain masih mengandalkan dana dari luar negeri berlomba-lomba mengulurkan tangan membantu organisasi-organisasi buruh yang baru muncul di Indonesia, baik dalam dana untuk pelatihan, program, maupun dana rutin. American Center for International Labor Solidarity (ACILS) merupakan salah satu LSM dari AS yang agresif membantu pendanaan serikat-serikat buruh baru di Indonesia.
Aspek Indonesia menerima dana dari Union Network International (UNI) yang berbasis di Geneva. Selain itu, ia juga memperoleh bantuan dari serikat-serikat buruh di negara-negara lain yang tergabung dari UNI. SPSI Reformasi memperoleh bantuan dana dari International Confederation of Trade Union (ICFTU). AJI memperoleh dana dari International Federation of Journalists. SBSI menerima dana dari serikat buruh Kristen Belanda (CNV) dan World Confederation of Labor (WCL), selain iuran dari 70 persen anggotanya yang kini, menurut Sekjen SBSI Raswan Suryana, telah mencapai 1.693.275 orang. SBJ memperoleh dana dari organisasi buruh di Denmark.
“Iuran anggota memang belum mentradisi. Bagaimana buruh mau membayar iuran kalau mereka belum mempunyai bukti konkret bahwa serikat pekerja memang perlu untuk memperjuangkan kepentingan mereka? Iuran sangat kecil, sementara overhead cost organisasi tidak kecil,” kata Tavip.
Kucuran dana dari luar negeri yang cukup deras itu boleh jadi merupakan salah satu penyebab organisasi buruh menolak memberikan laporan bantuan luar negeri yang diterimanya kepada pemerintah, sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang. Menurut para pengurus organisasi tersebut, mereka wajib melaporkan dana yang diterima dan penggunaan dana tersebut kepada anggota, bukan kepada pemerintah.
Di luar iuran, sederet persoalan lain masih menghadang. Belum tumbuhnya kultur serikat pekerja di kalangan buruh membuat kemampuan buruh dalam berunding dengan pihak perusahaan menjadi sangat lemah. Akibatnya, mereka lebih mudah memilih cara-cara yang militant dengan mogok, menutup jalan, atau merusak pabrik daripada bernegosiasi dengan perusahaan. Keterampilan bernegosiasi dan berunding ini tidak akan tumbuh seketika.
Judul Buku: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan (Orde Baru Runtuh, Serikat Buruh Tumbuh), Penerbit: Kompas, Halaman: 251-259.