Musikus yang Tak Berfantasi
Musik itu, bagi Cholil Mahmud, sakral. Ia menolak memainkan musik yang tak ia sukai. Musik yang ia suka adalah musik yang menyampaikan pesan dan menjadi alat perubahan sosial.
Cholil adalah otak band pop minimalis asal Jakarta, Efek Rumah Kaca. Wajar, sebagian besar lagu band itu memang ciptaannya. Penampilannya bersahaja. Tapi pemikirannya “cadas”, yang tertuang dalam lirik lagu-lagu ciptaannya.
Lulusan Perbanas tahun 2000 ini sudah nge-band sejak lama. Cita-citanya ingin menjadi rock star dan disukai cewek-cewek. Tapi itu hanya motif sesaat. “Urusan saya cuma satu: membuat musik yang berkualitas. Tak hanya menghibur, tapi juga berisi,” katanya.
Beberapa lagu ERK menjadi anthem bagi kalangan mahasiswa dan aktivis, antara lain “Mosi Tidak Percaya” dan “Di Udara”. Lirik lagunya yang berjudul “Menjadi Indonesia” juga mewarnai berbagai kegiatan Tempo Institute: “Lekas, bangun dari tidur berkepanjangan. Cuci muka biar segar, rapikan wajahmu. Masih ada cara menjadi besar.”
Dengan musiknya, ia memposisikan diri sebagai juru kamera: memotret kehidupan sosial yang ada disekelilingnya. Karena itu, setiap karyanya bukan sekedar fantasi, tapi sesuatu yang nyata. Dengan musiknya pula, ia melawan berbagai bentuk penyimpangan yang mencederai kehidupan sosial.
Semua lirik ciptaannya tajam dan penuh makna. Tak heran jika Efek Rumah Kaca menjadi band favorit berbagai kampus dan lembaga swadaya masyarakat. Penampilannya magnet bagi berbagai kegiatan kampanye antikorupsi, keberagaman, kebebasan berekspresi, dan hak asasi manusia.
Kepada Kaum Muda Calon Pemimpin Bangsa
Mimpi melihat Indonesia menjadi negara yang maju yang bisa menyejahterakan warganya tak pernah surut dari benak banyak orang termasuk saya. Namun terpancar dan berjauhan, perlu lebih terjalin, bertalian dan berdekatan.
Demokrasi yang kita jadikan kendaraan untuk mencapai kesejahteraan masih jauh dari konsep yang seharusnya. Partai politik tumbuh subur namun tetap kurang mampu menyerap kegelisahan masyarakat. Sering kali ia hanya menjadi kendaraan para elit politik untuk menuju kekuasaan. Kebanyakan tak mengakar, kalau pun mengakar tak sarang sifatnya transaksional.
Pemilu sebagai salah satu tanda berjalannya proses demokrasi yang aman dan tingkat partisipasinya yang cukup tinggi bukan jaminan proses demokratisasi telah dijalankan secara substansial. Politik uang dan pemilihan figure calon legislatif yang populer, bukan berdasarkan kinerja dan prestasi, menjadi salah satu penyebabnya.
Kita butuh orang-orang yang mau terjun untuk menjalankan sebagian fungsi partai politik yang macet tersebut. Orang-orang yang menolak pembodohan politik dalam masyarakat, mau meningkatkan pentingnya kesadaran politik, turut serta memberdayakan masyarakat serta mengawasi jalannya roda pemerintahan.
Pemberdayaan masyarakat sipil yang sudah berjalan sejauh ini masih perlu dukungan yang lebih banyak dari kaummuda sekalian di seluruh penjuru negeri. Indonesia Mengajar, Pencerah Nusantara, Tim Sapu Bersih Ranjau Paku di jalan (SABER) dan inisiatif masyarakat lainnya menantang kita untuk turut menyumbangkan kemampuan kita untuk masyarakat luas.
Prestasi baik itu menular, begitu juga sebaliknya. Iklim yang baik ini harus kita rawat agar menstimulasi kebaikan-kebaikan dan prestasi-prestasi lainnya. Dua hal yang penting dan mendesak: mengoptimalkan potensi di bidang masing-masing dan saling menguasai serta mau turun tangan memenahi apabila ada sel-sel kehidupan bernegara yang macet atau aus.
Dari para tetua kita petik pelajaran, kita pantulkan keseluruh pelosok menjadi sebuah gerakan mengkritis, berdialektika da saling mengawasi.
Wahai kaum muda yang penuh semangat, bersemilah…
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Cholil Mahmud, Hal: 284-285.