Merajut Damai di Papua
Pater Neles Tebay bagaikan Romo Soegija bagi rakyat Papua. Pendeta Katolik dari Suku Mee ini menjalankan fungsi dialog secara intensif. Seperti Romo Soegija yang aktif membangun dialog dengan dunia internasional, terutama diplomasi dengan Vatikan, begitu pula Neles. Neles menulis ratusan artikel untuk koran lokal maupun nasional. Dia juga aktif menghadiri konferensi di berbagai forum perdamaian internasional.
Sepuluh tahun lalu, Neles merintis Jaringan Damai Papua sebagai aksi konkret mencari jalan keluar bagi masalah Papua. Kegelisahan Neles beralasan. Kepercayaan rakyat Papua pada pemerintah pusat telah lama tergerus. Sebaliknya, Jakarta dihinggapi kecurigaan kronis terhadap Papua. Alhasil, kekerasan terus terjadi dalam berbagai variasi. Status Otonomi Khusus, yang diterapkan sejak 2001, juga belum membuahkan perbaikan signifikan di Papua.
Neles aktif berkeliling ke gunung-gunung, menjumpai suku-suku di pedalaman. Ada 250-an suku di kawasan ini, masing-masing memiliki bahasa, adat, dan agama yang berbeda. Tak ada satu pun kelompok yang bisa mewakili suara keseluruhan orang Papua. “Oleh karena itu dibutuhkan kerja keras, berdialog dengan semua pihak,” katanya.
Tak hanya bicara, Neles juga bekerja bersama berbagai komunitas, menghidupkan perekonomian di tingkat lokal di tingkat itu. Neles juga menjadi fasilitator berbagai lembaga untuk menjalankan program pemberdayaan komunitas di berbagai titik di Papua. Bersama Muridan, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dia mempromosikan dialog Jakarta-Papua demi merajut dan membangun kembali kepercayaan.
Neles percaya generasi muda Indonesia mengutamakan dialog untuk merangkul Papua dan menyatukan Indonesia. Kekerasan seharusnya dikubur sebagai masa lalu, bukan lagi menjadi pilihan saat ini dan masa depan.
Abepura 19 Oktober 2012
Orang-orang muda yang saya hormati,
Izinkanlah saya menyampaikan salam khas Papua: Wa Wa Wa Wa.
Saya menulis surat ini dari Papua yang masyarakatnya majemuk. Anggota masyarakat Papua terdiri dari berbagai suku bangsa baik dari Papua maupun luar Papua.
Tanah Papua telah menjadi tanah konflik sejak 1963 hingga kini. Konflik ini menewaskan banyak orang, baik rakyat biasa maupun anggota POLRI dan TNI. Kekerasan digunakan untuk menyelesaikan masalah, sebab itu berita dari Papua selalu menyangkut kekerasan. Kekerasan tidak pernah menyelesaikan masalah sebaliknya kekerasan melahirkan kekerasan baru, memperkeruh suasana, melukai hati, memperdalam rasa kebencian dan melahirkan kecurigaan dan ketidak percayaan antara pemerintah dan rakyat Papua.
Saya percaya bahwa dialog merupakan jalan untuk menyelesaikan masalah, membangun relasi yang harmonis dalam masyarakat yang heterogen. Berdasarkan kepercayaan tersebut saya terus memajukan budaya dialog, sekalipun saya menghadapi berbagai tantangan dan ancaman karena mendorong dialog Jakarta – Papua.
Saya masih mempunyai harapan bahwa orang-orang muda Indonesia akan mengutamakan dialog sebagai cara yang bermartabat dalam membangun persahabatan dan persatuan, memelihara keunikan dari setiap budaya dan agama, dan menyelesaikan berbagai konflik.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Neles Tebay, Hal: 163-164.