Menuju Indonesia 2045
Ke mana para visioner ketika pemerintah sibuk mengekspor sumber daya alamnya? Ke mana para ahli ekonomi ketika semua kebijakan negara seolah berjalan tanpa strategi masa depan?
Inilah ironi Indonesia. Negeri dengan kekayaan sumber daya alam luar biasa, tetapi semua nyaris habis terkuras karena orientasi jangka pendek hampir di semua bidang. Sepanjang diskusi, ironi terus muncul dalam deretan angka dan fakta.
Ketika India dan China menghemat-hemat cadangan batubaranya, produksi batubara Indonesia justru digenjot hingga 332 juta ton per tahun, termasuk untuk diekspor ke China. Ketika Rusia sibuk ekspansi untuk meningkatkan cadangan minyaknya, ladang-ladang minyak Indonesia yang sudah dikuras hanya mampu berproduksi hingga 11 tahun ke depan.
Di manakah duduk soalnya sehingga seolah kita jalan di tempat, sementara banyak negara sudah melesat jauh ke depan?
Kesadaran baru
Bangkitnya kesadaran lingkungan berjalan seiring dengan terbitnya buku Silent Spring karya Rachel Carson, 1962. Menjadi best seller, buku ini menginspirasi keprihatinan publik terhadap kerusakan lingkungan, terutama karena polusi dan penggunaan pestisida yang berlebihan. Silent Spring turut berjasa membuat pestisida DDT dilarang di Amerika Serikat tahun 1972.
Pada tahun 1972 pula, berlangsung Konferensi PBB tentang Lingkungan Manusia, di Stockholm, Swedia. Konferensi ini menyepakati Deklarasi Stockholm yang berisi prinsip-prinsip pengelolaan lingkungan hidup untuk masa depan, rencana aksi untuk merencanakan permukiman, pengelolaan sumber daya alam, pengendalian pencemaran, pendidikan, dan informasi tentang lingkungan hidup.
Meskipun kesadaran tentang lingkungan sudah muncul dan prinsip-prinsip untuk menjaga kelestarian lingkungan sudah dihasilkan, dalam praktiknya lingkungan hidup dan pembangunan ekonomi ternyata masih berjalan secara terpisah.
Maka, sepuluh tahun kemudian, diselenggarakanlah Konferensi Dunia tentang Lingkungan dan Pembangunan yang lebih dikenal sebagai KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, 3-14 Juni 1992. Konferensi yang dihadiri para kepala pemerintahan dunia ini mencari pola pembangunan yang bisa serentak mengintegrasikan tiga jalur: ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Pada saat itu memang terjadi ketidakmerataan karena rata-rata pendapatan satu miliar penduduk negara kaya 20 kali lebih tinggi dari lebih tiga miliar penduduk negara miskin. Di antara penduduk negara miskin, 450 juta di antaranya menghuni daerah pertanian yang tidak subur, 450 juta menghuni daerah bencana yang rawan longsor, banjir, dan degradasi lahan, sementara 100 juta lagi menghuni daerah-daerah kumuh.
Hal itu semakin mengukuhkan perlunya KTT Bumi karena pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan produksi ternyata hanya membuahkan perbaikan ekonomi, tetapi gagal di bidang sosial dan lingkungan. Inilah yang kemudian melahirkan konsep pembangunan berkelanjutan, suatu model pembangunan yang menyejajarkan aspek ekonomi dengan sosial dan lingkungan.
Namun, komitmen bersama lebih dari 180 negara dalam KTT Bumi itu tak berjalan sesuai harapan. Banyak faktor yang membuat sejumlah negara melanggar kesepakatan Rio: ancaman terorisme, krisis ekonomi, dan liberalisasi ekonomi, selain paradigma pembangunan berkelanjutan yang digagas di Rio memang tidak tegas mekanisme pelaksanaannya. Maka, yang terjadi adalah perusakan lingkungan yang berkelanjutan.
Maka, pemicu ancaman terbesar bagi kehidupan umat manusia ke depan adalah bencana hidrometeorologi: banjir, tanah longsor, kekeringan. Laporan Global Humanitarian Forum 2009 menyebutkan, perubahan iklim adalah penyebabnya, dampak dari penggunaan energi fosil yang tidak terkendali, penebangan hutan, dan emisi industri.
Menuju 2045
Indonesia adalah bagian dari kegagalan implementasi hasil KTT Bumi. Konflik dan pelanggaran HAM yang dilaporkan ke Komnas HAM sepanjang dua tahun terakhir mencapai 10.139 pengaduan, yang sebagian besar adalah kasus agraria dan sumber daya alam.
Untuk mencapai Indonesia 2045 perlu perubahan pola pikir ke konsep pembangunan berkelanjutan: pembangunan yang berbasis efisiensi penggunaan sumber daya, pola konsumsi dan produksi yang berkelanjutan, dengan memasukkan biaya lingkungan dan sosial.
Inilah paradigma baru yang seharusnya bisa mengubah drastis proses pembangunan sekaligus menuntut perubahan gaya hidup. Meski demikian, implementasinya jelas membutuhkan kreativitas, pengetahuan, dan kesertaan masyarakat.
Ekonomi yang terkait kuantitas, kompetisi, dan perluasan harus dikaitkan dengan lingkungan alam dan sosial yang lebih membutuhkan kualitas kerja sama dan konservasi. Salah satu kuncinya adalah buku ini mengubah cara organisasi berproduksi, mengelola lingkungan, dan terutama dalam berinteraksi dengan masyarakat di sekitar lokasi usaha.
The Handbook for Corporate Action dari Persatuan Internasional untuk Konservasi dan Alam (International Union for Conservation of Nature/IUCN) menyebutkan, lembaga punya tanggung jawab sosial dalam pengambilan keputusan terkait dengan etika, penegakan hukum, hak asasi manusia, dan pelestarian sumber daya alam.
Dalam dunia bisnis konsep tersebut juga dikenal sebagai Creating Shared Value (CSV), sebuah konsep strategi bisnis yang mengintegrasikan faktor sosial dalam merencanakan strategi lembaga dan sekaligus membangun keunggulan kompetitif baru. Penciptaan nilai bersama menjadi bagian integral dari keuntungan dan daya saing unggulan organisasi.
Dengan segenap kekurangannya, program peringkat kinerja lembaga dalam pengelolaan lingkungan yang lebih dikenal sebagai Proper sebenarnya di jalur CSV ini. Proper tidak hanya berdampak pada internal organisasi, tetapi juga pada lingkungan dan masyarakat sekitarnya. Bahkan, pasar modal dan perbankan pun sudah memanfaatkannya. Pertanyaannya, siapkah mengimplementasikannya dalam skala luas?
Sumber: KOMPAS, Selasa, 12 Juni 2012, Halaman: 7.