Menjelajahi Filsafat, Sastra, dan Demokrasi
Artikel maupun esainya mulai bermunculan di media nasional seperti Basis, Horizon, Budaya Jaya sejak dia masih mahasiswa filasat di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Ledalero, Maumere, Flores. Ignas Kleden adalah filsuf, sosiolog, sekaligus budayawan. Bergelut dengan diskursus sosial dan kebudayaan sejak remaja, pemikirannya merentang lebar dari dunia kebudayaan, sosial, pendidikan, agama, sastra, konflik, hingga demokrasi.
Di Ledalero, Ignas—yang nyaris menjadi pastor—jatuh cinta pada filsafat dan menekuni teologi dengan serius. Tapi saat belajar di Jerman, ayah satu anak ini memilih sosiologi.
Ignas tak bisa hidup tanpa buku dan musik. Dia membaca karyakarya sastra Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Amir Hamzah sejak remaja di Waibalun, Flores Timur. Rumahnya di Jakarta Selatan, mirip gudang buku. Bacaannya berserakan dari ruang tamu hingga depan kamar mandi. Satu-satunya “kemewahan” di ruang tamunya adalah sebuah piano. Pada bilah nada instrumen musik itulah dia memainkan lagu-lagu klasik bila lelah membaca atau menulis.
Tulisan-tulisannya turut memajukan dunia pengetahuan dan pemikiran sosial di Indonesia. Dua-tiga tahun terakhir tulisan Ignas seolah “menghilang” dari publik. Apa yang terjadi? “Saya mulai capek memperjuangkan pendidikan demokrasi dan sosial hanya lewat tulisan,” katanya.
Alhasil, Ignas kini lebih mudah ditemui di pelosok-pelosok Tanah Air—dalam aktivitasnya sebagai Chairman Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID). Lembaga ini merintis sekolah demokrasi di Aceh Utara, Ogan Ilir, Tangerang Selatan, Pangkep, Jayapura, Sanggau, Belu, dan Batu.
KID telah memasuki tahun ketujuh. Targetnya orang dewasa, baik anggota partai politik, pegawai negeri, pebisnis, atau masyarakat biasa.
Sekolah demokrasi digagas untuk menumbuhkan demokrasi dari bawah. Dengan demikian warga daerah menjadi sadar politik—sekaligus tak takut berpolitik. Konsep KID kini telah menular ke, antara lain, Burundi, Mozambique, Tunisia, Guatemala, hingga Mesir.
Surat ini di tulis untuk mereka yang bakal memimpin Indonesia di masa depan. Surat ini juga bercerita tentang impian saya mengenai perilaku mereka dalam membentuk masa depan itu berdasarkan pandang hidup dan pandang mereka tentang masa lampau.
Tokoh-tokoh masa depan itu tahu, generasi orangtua mereka tidak mewariskan banyak nilai, dan hanya mewariskan banyak utang, tidak meninggalkan banyak kebanggaan, hampir tidak ada kebajikan, dan banyak aib yang memalukan. Namun demikian mereka tak menjadi sinis tetapi manjadi lebih waspada tentang apa yang mereka lakukan. Pemimpin masa depan rata-rata berusia muda, menjadi matang antara 20 atau 30 tahun. Mereka terdidik, terbuka dan sangat percaya diri. Identitas mereka menjadi citra mereka dan bukan sebaliknya. Mereka tak malu mengenang orangtua mereka dalam usia renta dan dengan fisik yang mungkin menunjuk nafsu berkuasa. Mereka tak menyangkal bahwa Ayah Ibu mereka yang punya jabatan tinggi, tanpa ragu mengambil uang Negara dalam jumlah yang astronomis, dan kemudian di depan pengadilan menyatakan lupa atau kurang ingat, karena penyakit pikun tiba-tiba menyerang pada saat mereka membutuhkannya.
Tidak! Orang-orang muda, pemimpin masa depan ternyata lebih sopan dan beradab. Tanpa menyumpahi masa lampau, mereka tersenyum ke masa depan. Mereka hormat pada hukum karena menghormati hak mereka dan hak orang lain. Mereka bekerja dengan jujur karena yakin administrasi yang bersih akan membuat kesejahteraan yang luas, di mana mereka dapat mengambil bagiannya yang sah tanpa harus mencari. Mereka tak percaya pada kekayaan tetapi pada kualitas hidup. Cuaca kehidupan mereka cerah karena mereka dapat menepis godaan prasangka dan kepicikan hati dan sempitnya wawasan.
Mereka bergaul dengan pemimpin Negara lain tanpa merasa lebih tinggi atau lebih rendah. Hormat mereka kepada orang lain adalah hormat kepada manusia dan bukan hormat pada kekuasaan, bukan rasa segan kepada jabatan. Perjumpaan dengan kelompok berkeyakinan beda dihayati sebagai proses belajar yang menyenangkan.
Merekalah orang-orang Indonesia yang sudah merdeka. Saya percaya, impian ini akan terwujud, bukan karena lahir manusia-manusia unggul, tetapi karena kejahilan dan kejahatan, kelicikan dan intoleransi ada batasnya dan sudah tiba pada batasnya.
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Ignas Kleden, Hal: 106-107.