Menjadi Distributor yang Pintar
AAM tak hanya piawai mendistribuskan barang, tapi juga bisa memberikan saran ke para produsen obat-obatan. Itu semua berkat penguasaan informasi dan pengetahuan.
Apakah Anda Tahu daerah mana di Indonesia yang warganya paling banyak terkena diabetes? Perusahaan distribusi farmasi swasta, PT Anugrah Argon Medica (AMM), tahu soal ini. Bagaimana caranya anak usaha dari Dexa Group itu bisa tahu soal ini?
Lewat para front liner yang tersebar di seluruh Indonesia, AAM bisa menghimpun data permintaan obat diabetes dari sejumlah daerah. Data ini dari transaksi harian, mingguan, bulanan, bahkan tahunan. Data ini mereka kumpulkan, pilah-pilah dan kemudian diolah menjadi informasi. Dari situ akan tergambar daerah mana yang permintaan obat diabetesnya paling tinggi. Informasi ini memberikan gambaran daerah mana saja di Indonesia yang warganya paling banyak menderita diabetes. Penguasaan data dan informasi inilah yang menjadi andalan AAM untuk bersaing di bisnis distribusi. Dengan data semacam ini, yang bisa diolah menjadi beragam informasi, kalau ada produsen obat-obatan ingin meluncurkan produknya di suatu daerah, AAM bisa memberikan masukan. Di antaranya, informasi tingkat permintaan masyarakat setempat terhadap obat tersebut, siapa saja pesaing yang ada di sana, bagaimana strategi promosi, dan sebagainya. Dengan penguasaan informasi semacam ini, AAM memang bak konsultan bagi para produsen obat. Ini menjadi “pembeda” AAM dengan perusahaan-perusahaan distribusi lainnya.
Meski begitu persaingan bisnis semakin sengit, termasuk di bisnis distribusi. Apalagi taltun 2015 Indonesia akan memasuki era ASEAN Economic Community, era di mana barang dan jasa di kawasan ASEAN akan bebas keluar masuk. AAM tahu pada cara itu akan banyak distributor asing yang ingin memanfaatkan potensi pasar Indonesia yang begitu besar. Bagaimana AAM antisipasi hal itu? Sejauh mana AAM memainkan knowledge management (KM) untuk menghadapi perubahan tersebut?
AAM berdiri tahun 1980 di Palembang, Sumatera Selatan, sebagai anak usaha Dexa Medica. Dexa Medica membentuk AAM karena sesuai aturan Menteri Kesehatan tahun 1980, distribusi farmasi harus dilakukan oleh badan usaha yang terpisah dari perusahaan produsen.
AAM bergerak dalam bisnis distribusi produk-produk farmasi ethical, peralatan dan produk kesehatan. Distribusi produk semacam ini perlu pengetahuan khusus agar tidak salah penanganan dan salah pakai. “Menjual obat berbeda dengan menjual permen atau semen,” kata Erwin Tenggono, mantan Presiden Direktur AAM dan kini menjadi komisaris di perusahaan itu.
Dalam perjalanannya AAM tidak hanya mendistribusikan obat-obatan buatan Dexa Group, tapi juga dari perusahaan lain baik lokal maupun multinasional. Sejak 1993, AAM bahkan diperbolehkan mengimpor dan mendistribusikan produk-produk farmasi yang telah terdaftar di Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Kini, AAM juga menjadi distributor produk-produk farmasi, alat serta produk kesehatan dari Abbott Nutrition, Actavis, Alere, Becton Dickinson, BSN Medical, Alcon Vision Care, Pfizer, Glaxo SmithKline, Novartis, Novo Nordisk, Merck, Safecare (GSC), Tanabe, Zoetis dan lain-lain.
Berkat perannya yang strategis, dari tahun ke tahun kinerja AAM terus meningkat. Kini AAM memiliki pusat distribusi dan cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Sistem distribusi AAM juga telah memperoleh sertifikasi ISO 9001:2008 dan Goods Distribution Practices (GDP) WHO Technical Scries No. 937, 2010 serta Cara Distribusi Obat yang Baik (CDOB—BPOM Indonesia). Sebagai distributor, AAM paham benar bahwa ketersediaan produk di setiap titik distribusi pada waktu, kualitas dan jumlah yang tepat merupakan kunci sukses meraih kepercayaan pelanggan dan mitra bisnis.
Untuk memenangkan persaingan bisnis, papar Ervin Tenggono, AAM mengandalkan pada tiga keunggulan. Pertama, kekuatan eksplorasi pasar (strong market exploration). “Pikiran kami sederhana saja, yakni sebagai orang Indonesia, kami harus lebih tahu pasar Indonesia daripada orang lain. Untuk itu kami tak mau hanya mendiscribusikan barang, tapi juga harus bisa memberikan rekomendasi. Kalau ada produk baru, kami harus tahu di mana potensi pasarnya, atau bagaimana cara promosinya. Jadi knowledge-nya kami bangun di area itu,” papar Erwin.
Keunggulan kedua, lanjut Erwin, ekspedisi AAM yang siap 24 jam melayani permintaan produk-produk life saving dari rumah sakit maupun apotik. AAM juga selalu menjaga tingkat pemenuhan order pelanggan dengan baik, mengantarkan dan menjamin seluruh produk diterima dalam keadaan baik (reliable supply chain solution). “Kami membangun supply chain solution agar dapat memberikan layanan terbaik dengan level stok, biaya dan modal usaha yang efisien. Kami akan terus memperkuat keunggulan ini,” terang Erwin.
Menyimpan dan mendistribusikan produk-produk farmasi memang berbeda dengan produk consumer. Untuk produk farmasi, suhu gudang atau suhu kendaraan ketika mengirimkan barang ke daerah tujuan harus selalu terjaga sesuai aturan. Bahkan kendaraan distribusi produk-produk farmasi harus didesain khusus, tak bisa sembarangan dipakai mendistribusikan produk-produk lain. Ini agar kendaraan tersebut tidak terkontaminasi dengan bahan-bahan lain yang pada akhirnya bisa membahayakan pasien.
Sementara, untuk produk consumer penanganannya tak serumit itu. Kendaraan yang pada pagi harinya dipakai untuk mengangkut susu kaleng, misalnya, siang harinya bisa langsung digunakan mendistribusikan mie instant atau produk-produk consumer lainnya.
Kerumitan ini harus mampu dikelola AAM. Untuk itu AAM mendidik awak armada pengirimannya agar betul-betul memililki kepedulian dan komitmen yang tinggi, terlebih ketika menangani produk-produk farmasi. Mereka tak boleh tergoda memakai kendaraannya untuk mengangkut produk consumer. Memang secara bisnis terkesan kinerja kendaraan menjadi kurang optimal. Tapi, itulah tuntutan dalam mendistribusikan produk-produk farmasi. Sebab jika sampai terkontaminasi, taruhannya adalah keselamatan pasien.
Ketiga, kekuatan sebagai organisasi yang berbasis pengetahuan. Soal ini, Erwin menguraikan, “Setiap obat mengandung knowledge. Jadi jangan sampai kami menjual obat, tapi tidak tahu penanganan dan kegunaannya. Ini membutuhkan edukasi. Kami punya knowledge, dan ini kami sharing kepada pelanggan dan karyawan di front line lewat I-Care.” Untuk menopang akumulasi knowledge, AAM menerapkan berbagai solusi TI, seperti Enterprise Resource Planning (ERP), Supply Chain Management (SCM), Customer Relationship Management (CRM), Mobile Order Management (IScaps) dan bahkan Business Intelligence serta solusi informasi untuk prinsipal yang di-branding dengan nama InfoStep.
Sumber: Successful Implementation of KM in Indonesia, Penulis: J. Budi Soesetyo, Hal: 2-7.