Mengukur Pertumbuhan Inklusif
Kemajuan tak bisa lagi dibaca secara konvensional kalau prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan diterapkan dengan benar. Pertumbuhan ekonomi harus dihitung ulang dengan memasukkan nilai kerusakan lingkungan dan sumber daya alam akibat tindakan ekonomi.
Konsep pembangunan berkelanjutan dimatangkan tahun 1983 dengan dibentuknya Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (WCED) untuk menanggapi deteriorasi masif dari kondisi ekologi sosial-lingkungan.
Laporan WCED berjudul ”Our Common Future” (1987) mendefinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya. Pilar pembangunan berkelanjutan adalah ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Meski sejarahnya cukup panjang, isu lingkungan dan sumber daya alam terus dilepaskan dari perdebatan ekonomi. Paradigma lingkungan untuk waktu yang lama tidak masuk dalam perencanaan dan kebijakan ekonomi, di tingkat nasional maupun dunia.
Masalah lingkungan adalah urusan global. Dalam konteks itu segala hal berkait dan berkelindan. Kebutuhan pangan, energi, dan air bersih akan meningkat karena populasi Bumi terus bertambah, mencapai sembilan miliar orang tahun 2050, sehingga memberikan tekanan pada sumber daya alam.
Kota akan menghadapi persoalan migrasi, energi, air bersih, polusi, dan berbagai persoalan terkait penurunan kondisi lingkungan karena lebih dari 50 persen penduduk akan bermukim di daerah urban.
Paradoks
Memang pertumbuhan ekonomi dunia berhasil menurunkan tingkat kemiskinan dari 42 persen tahun 1990 menjadi 15 persen tahun 2015. Akan tetapi, pertumbuhan menyisakan persoalan besar di bidang lingkungan dan sumber daya alam.
Data Bank Dunia (2012) mencatat, 13 miliar hektar hutan hilang setiap tahun, konsumsi air naik 300 persen dalam 30 tahun terakhir, emisi karbon dioksida meningkat, dan 85 persen ikan di laut dieksploitasi habis-habisan. Setiap tahun dibutuhkan 1 triliun dollar AS untuk subsidi bahan bakar minyak.
Di Indonesia, upaya memasukkan faktor kerusakan lingkungan dan eksploitasi berlebih sumber daya alam dalam produk domestik bruto (PDB) pernah dilakukan, tetapi tak diperbarui sejak tahun 2004. Namun, dari pengukuran itu diketahui, kekayaan Indonesia sebenarnya sudah menipis. Jika pembangunan terus berjalan dengan prinsip ”business as usual” (BAU), kita bahkan berada di ambang bahaya.
Neraca perdagangan saat ini memang surplus oleh ekspor perkebunan dan tambang, tetapi pembangunan tak akan berkelanjutan kalau satu-satunya cara untuk bertahan dilakukan dengan merusak sumber daya alam.
Ekspor bauksit, misalnya, kalau pada tahun 2004 diekspor 1 juta ton, tahun 2010 sudah 27 juta ton, tahun 2011 naik menjadi 40 juta ton. Menurut catatan Prof Emil Salim, cadangan bauksit akan habis sekitar tahun 2018.
Cadangan besi, nikel, tembaga akan habis dalam 10, 15, dan 45 tahun. Cadangan minyak bumi dan gas alam akan habis dalam 11 dan 33 tahun. Cadangan batubara habis dalam 64 tahun. Berbagai data juga menunjukkan, sedikitnya 1 juta hektar hutan di Indonesia rusak dan hilang per tahun.
Koreksi
Dalam diskusi lain, Prof Emil Salim menjelaskan, pembangunan ekonomi selama ini didominasi oleh paradigma ”pasar sebagai alokasi sumber daya untuk output yang efisien”. Perkembangan pembangunan melahirkan dampak sosial serius dan pelanggaran hak-hak asasi manusia, seperti kemiskinan dan ketimpangan, konflik, serta persoalan lingkungan, termasuk ancaman perubahan iklim dan merosotnya keragaman hayati.
Melihat luasnya spektrum perusakan atas nama pertumbuhan, istilah ”pertumbuhan hijau (green growth)” tak cukup memadai menghitung kerusakan dan menipisnya sumber daya alam. Istilah ”pertumbuhan inklusif (inclusive growth)” dipilih karena mencakup konteks lebih luas, termasuk permasalahan sosial akibat eksploitasi sumber daya alam (sosial-ekologis) yang dihilangkan dalam penghitungan pertumbuhan.
Selama ini kemajuan lebih dipahami sebagai tingginya PDB. Namun, indikator konvensional itu dikritik sebagai dukungan terhadap pertumbuhan jangka pendek dan tidak berkelanjutan karena mengabaikan dampak penghancuran terhadap ekosistem lingkungan dan sosial. PDB ternyata tidak mampu mencerminkan kesejahteraan manusia dan situasi sumber daya alam suatu negara.
Kekayaan inklusif
Maka Program Perserikatan Bangsa- Bangsa untuk Lingkungan (UNEP) bersama Program Dimensi Manusia Universitas PBB (IHDP) di Rio de Janeiro meluncurkan ukuran baru, yakni Inclusive Wealth Index (IWI) atau Indeks Kekayaan Inklusif dalam Rio+20 (18/6).
Laporan berjudul ”Inclusive Wealth Report 2012: Measuring Progress Toward Sustainability” itu menegaskan bahwa pencapaian yang hakiki harus terfokus pada kesejahteraan manusia saat ini dan pada generasi mendatang.
Survei dilakukan pada 20 negara untuk menghitung ulang angka pertumbuhan pada 20 negara melalui valuasi layanan ekosistem bagi kesejahteraan manusia. Perhitungan itu ”menghadapkan” angka pertumbuhan ekonomi dengan kerusakan lingkungan, dihitung dari menurunnya cakupan hutan, menipisnya sumber bahan bakar fosil dan cadangan mineral, menyusutnya lahan pertanian dan situasi perikanan di perairan setiap negara.
Laporan itu memperlihatkan, pertukaran bentuk kapital yang berbeda (manufaktur, manusia, dan modal alam) cenderung meningkatkan kerusakan sumber daya alam. Enam negara menunjukkan jejak tidak berkelanjutan, lima negara menunjukkan tingkat PDB dan Indeks Pembangunan Manusia yang positif, tetapi negatif dalam IWI.
Dengan perhitungan ulang, pertumbuhan ekonomi China sebesar 422 persen (1990-2008) sebenarnya hanya 45 persen kalau diperhitungkan dengan kerusakan sumber daya alam. Brasil 31 persen tinggal 18 persen, AS dari 37 persen tinggal 13 persen, Afrika Selatan 24 persen, malah minus 1 persen setelah penghitungan ulang. Antara tahun 1990 dan 2008, sumber daya alam per kapita turun 33 persen di Afrika Selatan, 25 persen di Brasil, 20 persen di AS, dan 17 persen di China.
Dengan penghitungan ulang, angka pertumbuhan Indonesia yang 7 persen itu boleh jadi sebenarnya jauh di bawah nol….
Sumber: KOMPAS, Selasa, 10 Juli 2012, Halaman: 6.