Mengisi Peluang Otonomi Desa
Proses desentralisasi di Indonesia memasuki periode yang sangat krusial sejak pemerintah mulai menerbitkan bermacam kebijakan yang berkaitan dengan desa. Banyak peraturan dikeluarkan sebagai langkah untuk melakukan reformasi tata kelola pemerintahan desa dan model pembangunan yang paling ideal bagi desa. Setelah membuka otonomi dan memberikan bermacam kewenangan bagi daerah, maka dorongan untuk memberikan otonomi bagi desa kian menguat. Tahapan ini dianggap krusial karena dengan otonomi desa diyakini bisa lebih mendekatkan capaian pembangunan, yakni kesejahteraan, kepada rakyat bawah. Masyarakat desa bisa merasakan dampak pembangunan secara langsung dan dapat menikmati pelayanan publik yang baik dari pemerintah. Alasan lain mengapa pemerintah perlu melakukan akselerasi kebijakan tentang desa adalah untuk menanggulangi kemiskinan yang dialami sebagian besar masyarakat kita di pedesaan.
Reformasi kebijakan pembangunan yang selama ini berjalan perlu memperkuat partisipasi rakyat dengan merubah proses bottom-up dalam kebijakan perencanaan di tingkat desa. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan memberikan kewenangan yang lebih luas kepada desa. Jika tidak, maka pembangunan yang bertujuan untuk menurunkan angka kemiskinan di Indonesia dari tahun ke tahun akan berjalan sangat lamban. Padahal anggaran untuk pengurangan kemiskinan naik secara signifikan.
Sebagai ilustrasi kebijakan penurunan kemiskinan yang berjalan lamban, sejak tahun 2005 anggaran belanja untuk pengurangan kemiskinan naik secara siginifikan, dan mencapai kenaikan 250% di tahun 2009, namun angka kemiskinan hanya turun 2,5 %. Anggaran penanggulangan kemiskinan pada tahun 2005 sebesar Rp 23 triliun dengan angka kemiskinan sebanyak 35,1 juta. Sementara pada tahun 2009, dengan penambahan anggaran menjadi Rp 66,2 triliun hanya mampu menurunkan angka kemiskinan 2,5 % menjadi 32,5 juta. Jumlah penduduk miskin tersebut masih didominasi penduduk di pedesaan, yakni sebanyak 20,62 juta; sedangkan penduduk perkotaan jumlahnya hanya 11,91 juta jiwa. Ini berarti, 70% angka kemiskinan masih berada di pedesaan.
Selain memberikan pengakuan terhadap lokalitas, otonomi desa diyakini mampu membawa negara lebih dekat pada rakyat desa. Otonomi desa juga bertujuan untuk membangkitkan potensi dan prakarsa lokal, menciptakan pemerataan dan keadilan, serta memberdayakan kekuatan rakyat pada level grass root. Dengan otonomi desa, kualitas layanan publik diharapkan juga semakin meningkat. Dalam jangka waktu kurang dari satu dekade ke depan, reformasi kebijakan pembangunan desa diharapkan mampu menciptakan desa yang mandiri. Kemandirian ini mengidealkan desa dengan berbagai aktornya, baik dari kalangan aparatur pemerintahan, swasta maupun civil society, telah siap sebagai subjek pembangunan. Sementara target waktu kurang dari 10 tahun untuk terciptanya desa mandiri mengikuti alur program MDGs dengan pencapaian target program di tahun 2015.
Saat ini banyaknya program pemerintah yang bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan di pedesaan. Oleh karena itu, desa perlu dijadikan sebagai basis evaluasi untuk mengukur sukses tidaknya program tersebut. Indikatornya adalah apakah program pemerintah dalam jangka pendek, menengah maupun panjang berpengaruh terhadap peningkatan kapasitas warga untuk keluar dari kemiskinannya. Apalagi, pemerintah telah melakukan desentralisasi fiskal hingga tingkat desa yang diimplementasikan lewat Alokasi Dana Desa (ADD). Pemerintah Kabupaten/Kota mengalokasikan dana yang bersumber dari bagian dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima untuk desa. ADD dimaksudkan untuk membiayai program Pemerintahan Desa dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan dan pemberdayaan masyarakat.
Terbukanya pintu otonomi desa ini perlu disambut dengan memaksimalkan partisipasi masyarakat desa dalam setiap perencanaan pembangunan. Meskipun masih jauh dari harapan, perubahan kebijakan pemerintah mengenai perencanaan pembangunan terus-menerus mengalami perbaikan.
Selain untuk memperbaiki kualitas proses partisipasi, perubahan sistem perencanaan juga dimaksudkan untuk memperkuat pelembagaan partisipasi sebagai wujud dari representasi masyarakat. Berbagai peluang tersebut perlu kita sambut untuk memantapkan praktik otonomi desa dari tujuan yang ingin dicapai, yakni kedaulatan dan kesejahteraan rakyat. Langkah reformasi sistem, inovasi kebijakan, dan akselerasi program pemerintah untuk menghadirkan kesejahteraan, khususnya di pedesaan, jangan sampai `menguap’ begitu saja, sehingga desa sebagai arena desentralisasi perlu terus-menerus dikawal.
Disarikan dari buku: Sinkronisasi Perencanaan Desa, Penulis: Rohidin Sudarno, Suraji, Hal: 1-4.