Menggerakkan Ekonomi Tanpa Melukai Alam
Tidak semua cerita di Kalimantan adalah kelam. Menggerakkan ekonomi tanpa merusak sumber daya alam bisa dilakukan. Salah satunya adalah pertanian jeruk yang menjadi urat nadi perekonomian Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Tanpa perlu bergantung pada ketersediaan bahan tambang, perekonomian masyarakat Sambas masih tetap bisa bergulir.
Desa Sempalai suatu hari. Para pekerja cekatan memilah jeruk siam menggunakan sortiran berbahan papan yang memiliki beberapa lubang dengan garis tengah berbeda. Dengan menggunakan papan itu, jeruk ukuran paling besar atau yang jamak disebut kualitas A hingga kualitas D bisa dipilah.
Jeruk yang disortir di tempat penampungan milik Masri di Sempalai, Kecamatan Tebas, Kabupaten Sambas, itu kemudian dikirim ke Pulau Jawa. Selain berasal dari kebun milik Masri, jeruk juga dipasok dari petani sekitarnya yang tergabung dalam beberapa kelompok tani. Cara ini dinilai efektif untuk mengorganisasi para petani dan memperluas informasi terkini mengenai berbagai hal yang terkait dengan budidaya jeruk.
Jeruk yang dikirim ke Jawa, seperti dari tempat Masri itu, jarang dikenal sebagai jeruk Sambas. Di Pulau Jawa, orang lebih mengenal komoditas jeruk asal Sambas sebagai jeruk Pontianak. Nama Pontianak menempel pada komoditas jeruk itu karena menjadi pelabuhan antarpulau untuk mengirim jeruk itu ke Jawa.
Masri mempunyai 7 karyawan, 1 truk, dan 6 subagen yang memasok jeruk kepadanya. Dia adalah salah seorang petani dan pengumpul yang sukses berkat komoditas jeruk.
Di Desa Pusaka, Kecamatan Tebas, orang juga mengenal Madun sebagai petani jeruk yang sukses dan ulet. Berbeda dengan kebanyakan petani jeruk yang membudidayakan jeruk siam, Madun memilih jenis jeruk keprok. Harga jeruk keprok sedikit lebih tinggi dan lebih stabil dibandingkan dengan jeruk siam. ”Pembudidaya jeruk keprok belum terlalu banyak dan pasarnya terbatas sehingga harga bisa lebih stabil,” kata Madun.
Madun termasuk generasi setelah Masri yang terjun dalam bidang budidaya jeruk. Proses regenerasi petani jeruk juga lebih dinamis, dan banyak kalangan muda di Sambas tertarik pada budidaya jeruk. Ini agak berbeda dengan sektor budidaya padi yang tidak terlalu menarik bagi kalangan generasi muda.
Potensi
Budidaya jeruk Sambas sudah dilakukan setidaknya pada tahun 1984. Ketika itu, lahan-lahan masyarakat yang semula digunakan untuk menanam padi atau palawija mulai ditanami jeruk. Ini dilakukan untuk meningkatkan nilai ekonomis lahan.
Perlahan-lahan, luas tanaman jeruk bertambah dan akhirnya mencapai 11.000 hektar pada tahun 2008. Sektor budidaya jeruk Sambas lambat-laun menggerakkan ekonomi Sambas.
Ada ribuan petani dan pekerja yang terlibat dalam proses budidaya dan pascapanen, mulai dari menanam, merawat, memanen, hingga mendistribusikan keluar dari Sambas. Sebagian besar lahan tanaman jeruk berada di Kecamatan Tebas. Kecamatan itu lalu terkenal menjadi sentra jeruk di Sambas. Saat ini, produksi jeruk Sambas rata-rata 10.000 ton per bulan. Produksinya fluktuatif, antara lain bergantung pada musim.
Selain memenuhi kebutuhan jeruk di wilayah Kalbar, produksi jeruk asal Sambas juga memenuhi kebutuhan jeruk di beberapa wilayah di Pulau Jawa, seperti Jakarta dan Semarang. Para petani yang bergabung dalam kelompok tani di Sambas pada umumnya sudah mengikat kontrak pengiriman dengan sejumlah pedagang atau distributor jeruk di Jakarta dan Semarang.
Kebijakan pemerintah melarang impor buah memberi angin segar kepada petani buah lokal, termasuk petani jeruk Sambas. Harga komoditas buah lokal terkatrol dan pasar buah lokal terbuka lebar di Indonesia. Sayangnya, para petani jeruk Sambas hanya beberapa bulan menikmati harga buah jeruk hingga Rp 10.000 per kilogram.
Pemerintah kembali membuka lagi keran impor buah. Di pasaran, buah jeruk Sambas harus berhadapan muka dengan jeruk impor asal China yang harganya lebih murah. Jeruk Sambas harus kembali ke siklus semula, harganya jatuh saat pasokan buah ke pasar tinggi.
Beberapa tahun lalu, luas lahan pernah berkurang 3.000 hektar hingga tersisa 8.000 hektar saja karena serangan penyakit. Tanaman jeruk yang terserang CVPD perlahan-lahan mati. Hama itu menyerang tanaman jeruk di satu hamparan yang sama sehingga biasanya kematian tanaman jeruk terjadi massal. Hingga kini, upaya mengatasi hama itu masih terus dilakukan.
Terlepas dari berbagai persoalan yang terjadi, budidaya jeruk Sambas masih tetap bisa diandalkan untuk menggerakkan ekonomi. Apalagi, sudah ada upaya untuk memberikan nilai tambah pada jeruk saat harga jatuh terutama jika terjadi pada saat panen raya.
Kepala Dinas Pertanian Kalbar Hazairin menuturkan, sudah terbentuk sebuah kelompok usaha untuk mengolah jeruk menjadi minuman kemasan. Idenya, kelompok usaha itu menampung jeruk petani saat harga jatuh atau saat panen raya. Awalnya, minuman kemasan berbahan baku jeruk lokal Sambas itu dipasarkan terbatas di Kalbar. Namun, kini minuman kemasan itu terus coba dipasarkan hingga ke banyak daerah.
Sebelum terjadi pemekaran menjadi 2 kabupaten dan 1 kota, Kabupaten Sambas pernah membawahkan wilayah Monterado yang dikenal sejak tahun 1776 sebagai penghasil emas di Nusantara. Saat ini, wilayah itu menjadi bagian dari Kabupaten Bengkayang.
Setelah era kilau emas di Monterado pudar karena deposit tambang itu semakin berkurang, Monterado berangsur sepi. Ini menjadi contoh, bagaimana wilayah terdekat dengan Sambas yang pernah tenar karena emas, perekonomiannya terus melambat setelah deposit emas makin habis.
Langkah Pemerintah Kabupaten Sambas dan Provinsi Kalbar untuk menggerakkan ekonomi di Sambas berbasis perkebunan jeruk rakyat patut diapresiasi. Tanpa perlu bergantung dengan deposit tambang, perekonomian suatu daerah tetap bisa bergulir. (Aha)
Sumber: KOMPAS, Rabu, 9 Oktober 2013.