Mengakhiri Konflik LSM dan Pemerintah
Hubungan lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah menjelang pemilu presiden kembali menghangat. Hal ini dipicu pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara AM Hendropriyono tentang kemungkinan pengusiran Sidney Jones (Direktur International Crisis Group di Indonesia) dan sinyalemen keterlibatan 20 LSM dalam “menjual bangsa”.
Pernyataan ini selain memanaskan kembali hubungan lembaga swadaya masyarakat (LSM)-pemerintah yang relatif baik sejak reformasi, juga mencerminkan pemerintah sekarang belum berubah dalam memandang LSM.
Pada masa rezim Soeharto, LSM (nonpelat merah) selalu diidentikkan sebagai “agen dan antek asing”, “penjual”, dan “pengkhianat bangsa”. Stigmatisasi ini dilakukan untuk mengurangi kredibilitas LSM di mata rakyat, mengingat LSM saat itu adalah satu-satunya elemen masyarakat yang kritis terhadap Pemerintah Soeharto. Posisi LSM dan rezim Soeharto selalu dalam posisi berlawanan. Maka, wajar bila pemerintah masa lalu selalu mencurigai aktivitas LSM.
Anehnya, stigmatisasi gaya Orde Baru (Orba) masih muncul pada pemerintahan ini. Padahal, kemunculan pemerintahan sekarang salah satunya disebabkan sikap kritis LSM atas rezim masa lalu. Tanpa sikap kritis LSM dan kelompok lain atas Orba, hampir bisa dipastikan rezim reformasi yang dimulai dari Abdurrahman Wahid lalu Megawati tidak akan muncul secepat ini. Mengapa demikian? Salah satu jawabannya adalah karena penyelenggara Negara sekarang terdiri orang-orang lama yang masih memiliki pandangan lama pula.
Upaya mempertentangkan kembali LSM-pemerintah sudah lama terdengar. Fungsionaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Roy BB Janis, misalnya, pernah melontarkan kekesalannya terhadap sikap LSM atas masalah amandemen UUD 1945. Ia mengatakan, LSM sebagai agen kepentingan asing. (Radio Nederland, 17/4/2002). Juga, Jenderal Ryamizard Ryacudu, KSAD, saat menanggapi sikap kritis LSM atas darurat militer di Aceh. Menurutnya, LSM ialah salah satu pintu yang digunakan asing untuk kepentingan mereka. (Jawa Pos, 1/1/2004). Kini, mengambil kasus Direktur International Crisis Group (ICG), Sydney Jones, dan 20 LSM AM. Hendropriyono mengatakan hal senada dengan dalih orang dari LSM-LSM itu sudah menimbulkan keresahan kehidupan bangsa Indonesia.
Kemunculan isu itu menunjukkan, Pemerintah Megawati masih berpijak paradigm lama, LSM dilihat sebagai “musuh bangsa”. Paradigma ”musuh bangsa” ini akan berdampak amat jauh, tidak hanya menyangkut eksistensi LSM sendiri, tetapi juga masa depan agenda demokrasi dan hak asasi manusia yang selama ini mereka perjuangkan. Berbeda dengan musuh pemerintah, paradigm “musuh bangsa” mengandung pengertian, LSM adalah musuh rakyat Indonesia. Dalam konteks ini seolah-olah LSM tidak memiliki jasa baik terhadap republik ini.
Bila dilihat secara seksama, selama pemerintahan Megawati, sering muncul kecaman terhadap LSM. Ini menunjukkan, rezim ini telah gagal memaknai kehidupan demokrasi di Indonesia. Dalam rezim demokrasi yang sehat, peran negara (pemerintah) tidak sekuat seperti dalam rezim otoritarian. Lebih dari itu, tidak semua pekerjaan harus dilaksanakan oleh negara karena pada intinya tidak semua hal bisa ditangani negara, misalnya, soal pendidikan politik rakyat. Bila pendidikan politik rakyat hanya digantungkan pada pemerintah, hampir bisa dipastikan nasib pendidikan politik rakyat akan telantar. Karena itu, dibutuhkan pihak-pihak di luar pemerintah yang bisa melaksanakan pekerjaan yang tidak bisa dilaksanakan pemerintah. Di sinilah sebenarnya letak peran LSM-LSM yang sering disebut civil society.
Selain mencerminkan kegagalan dalam memaknai demokrasi, kecaman pemerintah terhadap LSM juga menunjukkan, pemerintah kini memiliki kecenderungan untuk merevitalisasi pola lama dalam mengelola negara. Yang dimaksud pola lama adalah pola yang memandang pemerintah satu-satunya lembaga dalam negara yang paling berhak mengelola dan paling sah mewakili negara. Konsekuensinya, peran-peran di luar pemerintahan terutama peran yang mengkritisi kinerja pemerintah, bisa dikatakan sebagai musuh negara. Pandangan yang menyejajarkan pemerintah dan negara ini amat berbahaya karena kecuali bisa menggiring munculnya otoritariasme dan abdolutisme baru, juga bisa mengaburkan pembagian peran dan kerja pemerintah terutama fungsi kontrol yang merupakan tuntutan dari sebuah rezim demokrasi.
PEMERINTAH sekarang perlu mengubah pandangan dan definisinya terhadap LSM. Perubahan pandangan ini sebaiknya didasarkan asumsi-asumsi obyektif dan seimbang. Pertama, LSM maupun pemerintah sama-sama aset bangsa yang ingin membangun negara. Kedua, dalam membangun negara, kedua aset itu memiliki cara berbeda-beda, pemerintah berjuang dari dalam sistem, LSM berjuang dari dan di luar sistem (civil society), namun keduanya masih dalam batas kepentingan negara. Ketiga, dalam kenyataannya, baik pemerintah dan LSM benar-benar menjadi pejuang juga sebaliknya menjadi pecundang. Berdasarkan asumsi-asumsi itu, kedua institusi itu memiliki potensi sederajat untuk menjadi musuh dan sekaligus teman bangsa.
Untuk menuju ke arah perubahan pandangan dan definisi mengenai LSM, pemerintah dan kita semua bisa mulai dari berpikir sederhana, tidak usah terlalu canggih, tentang situasi bangsa selama 33 tahun terakhir. Misalnya dengan menjawab pertanyaan, pihak mana yang selama 32 tahun lebih telah menjual negara dan bangsa? LSM atau pemerintah? LSM memang mendapatkan funding (tak banyak) dari luar negara untuk program demokratisasi, hak asasi manusia (HAM) , dan good governance. Dalam kegiatannya LSM mengkritisi pemerintah karena penyelenggara negara kurang maksimal menegakkan demokrasi, HAM, dan good governance. Sementara pemerintah telah mengijonkan hampir semua kekayaan bangsa ke pihak asing (utang), namun hasil itu tidak memakmurkan rakyat, tetapi menjadikan pemerintah yang korup dan otoriter.
Bila ukuran menjual bangsa itu mencari bantuan asing keduanya sama-sama mencari bantuan asing hanya bedanya pada produk yang dijual. LSM menjual isu demokratisasi, HAM, dan good governance yang bisa berdampak pada instabilitas pemerintah, sedangkan pemerintah menjual kekayaan negara yang berdampak pada pemiskinan bangsa. Kedua-duanya tidak kita kehendaki.
Pemikiran sederhana ini tidak dimaksudkan untuk mencari siapa yang lebih pecundang dan siapa yang lebih panjang, tetapi untuk bekal refleksi. Baik LSM maupun pemerintah harus berani mengakui kelemahan dan kelebihan masing-masing. Pemerintah bisa mengatakan baik bila hasil kerja LSM memang baik, sebaliknya mengatakan buruk bila hasil kerja pemerintah memang buruk.
Sebaliknya, LSM bisa mengatakan baik bila hasil kerja pemerintah memang baik dan mengatakan buruk bila hasil kerja pemerintah memang baik dan mengatakan buruk bila hasil kerja LSM memang buruk. Posisi menjadi pemerintah dan menjadi LSM bukan berarti hasil kerja masing-masing tidak bisa dikritik. Yang diperlukan kini bukan mencari pengertian antarkeduanya atas dasar prinsip demokrasi, HAM, dan kebangsaan.
Judul Buku: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan (Mengakhiri Konflik LSM dan Pemerintah), Penerbit: Kompas, Halaman: 155-159.