Mencermati Idealitas Mekanisme Kontrol Kinerja Ornop
Motivasi dasar kehadiran Organisasi non pemerintah (Ornop) atau yang lebih akrab dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) secara umum ingin berperan sebagai “pengimbang” atas dominasi negara dalam merancang bangun proses pembangunan. Kecenderungan demikian itu, terjadi di berbagai belahan dunia, baik di Utara (negara-negara maju) maupun di Selatan (negara-negara berkembang).
Namun demikian, terdapat perbedaan yang cukup mendasar antara Omop di negara maju dengan yang ada di negara berkembang. Di negara-negara maju, peran Omop terlihat lebih jelas. Mereka dapat secara substansial ikut ambil bagian dalam pengambilan kebijakan yang bersifat makro, bahkan dalam batas-batas tertentu mampu mempengaruhi kebijakan-kebijakan sosial, ekonomi, dan politik dunia. Hal itu bisa terjadi, karena budaya demokrasi telah berkembang baik, sumber daya manusia lebih maju, dan sumber pendanaannya pun relatif tidak menjadi kendala.
Dalam pada itu, di negara-negara berkembang di Amerika Latin, Afrika, Asia Tengah. dan Asia Tenggara pada umumnya Ornop belum bisa tampil sebagaimana di negara maju. Ornop di kawasan ini masih sibuk-berjuang untuk tampil sebagai mitra pemerintah dalam dialog pembangunan yang berdimensi pemerataan dan keadilan (Aminoto, 1998).
Di Indonesia, sejarah kelahiran dan peran Ornop terlihat dalam berbagai variasi karakteristik sekaligus menjadi identitas tersendiri untuk generasinya. Dalam rentang waktu tahun 1950-an hingga rentang 1960-an, peran Ornop secara umum terbatas pada upaya mengatasi krisis kelaparan dan karenanya pendekatan yang dominan adalah aktivitas “karitatif atau sinterklas”. Dengan pendekatan demikian, Ornop yang lahir di era itu akrab disebut sebagai generasi pertama.
Dengan munculnya rezim Orde Baru tahun 1966 hingga tahun 1970-an, peran Ornop mulai bergeser secara mendasar yang ditandai gerakan-gerakan yang tidak lagi terfokus pada kelaparan, tapi lebih tertarik pada kajian-kajian kritis kehidupan sosial kemasyarakatan. Pada tahun tersebut, sangat kaya dengan refleksi serta diskusi perdebatan seputar model, pendekatan dan strategi pembangunan bangsa.
Pendekatan partisipatif menuju perwujudan kemandirian rakyat, menjadi tawaran strategis sebagai respon kritis tehadap dominannya keterlibatan negara dalam semua aspek kehidupan rakyat. Akan halnya pendekatan bottom up, juga dipandang jawaban yang pas untuk mengganti pendekatan sentralistis (top down) dalam merancang bangun kebijakan-kebijakan pembangunan. Di era itu, keberadaan Ornop lazim disebut sebagai generasi kedua.
Di penghujung tahun 1970-an hingga tahun 1990-an ketika harga minyak bumi yang menjadi andalan Indonesia, anjlok, dan mendesaknya pembayaran utang luar negeri dalam jumlah besar, menjadi fenomena memprihatinkan bangsa Indonesia. Bersamaan dengan itu, isu-isu dunia, seperti: lingkungan hidup, demokratisasi, gender, HAM dan tranparansi, berhembus kencang ke berbagai pelosok tanah air.
Dalam rentang waktu tersebut, terlihat booming kelahiran Omop yang secara umum watak gerakan-gerakannya lebih meluas, meliputi kritik tajam terhadap hancumya lingkungan hidup, tirani kekuasaan sampai kepada pelanggaran HAM dan kesetaraan gender. Wama dasar gerakan Omop di era ini, adalah bagaimana tercipta suatu transformasi sosial. Omop yang lahir di era ini, oleh David Korten (1990), disebut sebagai Ornop generasi ketiga.
Subur dan berkembangnya Ornop generasi ketiga juga tidak terlepas dari dukungan donor-donor internasional yang mengucurkan dana cukup besar secara langsung kepada aktivis Ornop. Bersamaaan dengan itu, kritik pedas terhadap Ornop tak terelakkan lagi. Tudingan demi tudngan dialamatkan kepada Ornop, mulai dari vonis penjual kemiskinan, agen-agen kapitalis sampai kepada perampok-perampok intelek, datang bergelombang tiada henti.
Dari realitas demikian itu, maka Ornop dituntut oleh publik agar menerapkan sikap dan perilaku yang transparan dan akuntabel. Kalau tidak, maka Ornop yang bersangkutan tidak akan pemah membawa manfaat untuk rakyat dan karenanya tidak layak menamakan diri sebagai Ornop.
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Editor: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 44-48.