Menanam Pohon, Menyimpan Air
Jakarta, Kompas — Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan menghapuskan sanksi administrasi atas pajak usaha kecil dan menengah. Penghapusan ini hanya berlaku untuk sanksi atas keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak masa pajak Juli-Desember 2013.
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kismantoro Petrus, dalam siaran pers di Jakarta, Kamis (5/9), menyatakan, keringanan tersebut diberikan mengingat pajak UKM diberlakukan dalam waktu yang singkat sejak terbitnya aturan. Ada kecenderungan pelaku UKM terlambat melaksanakan kewajibannya.
Ketentuan pajak UKM yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak (WP) yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Aturan ini terbit per 12 Juni dan berlaku per 1 Juli 2013.
Ditjen Pajak, kata Kismantoro, juga memberikan keringanan bagi WP yang tidak memperoleh validasi Nomor Transaksi Penerimaan Negara dalam Surat Setoran Pajak dari bank persepi atau kantor pos. Kewajiban pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) mulai diterapkan masa pajak Januari 2014. Sementara itu, secara normatif, SPT masa semestinya dilaporkan paling lambat 20 hari dari masa pajak berakhir.
”Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan ada cukup waktu bagi WP untuk memahami aturan PP Nomor 46 Tahun 2013 dan aturan pelaksanaannya sehingga pemenuhan kewajiban perpajakannya dapat dilakukan sesuai aturan yang ada,” kata Kismantoro.
Pajak UKM berlaku untuk usaha dengan omzet kurang dari Rp 4,8 miliar per tahun. Besarnya pajak adalah 1 persen dari omzet bulanan. Intinya WP badan atau WP pajak orang pribadi yang memiliki usaha dengan omzet kurang dari Rp 4,8 miliar per tahun dikenakan pajak 1 persen dari omzet setiap bulan.
Meski demikian, tidak semua usaha beromzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun dikenai ”pajak UKM”. Ada dua jenis usaha yang tidak dikenai pajak.
Pertama adalah WP badan atau WP orang pribadi yang menggunakan sarana dan prasarana yang dibongkar pasang atau menggunakan sebagian atau seluruh tempat fasilitas umum untuk tempat usahanya. Contohnya pedagang kaki lima ataupun penjual bakso dorongan.
Kedua adalah WP badan yang belum beroperasi secara komersial atau setelah beroperasi setahun omzetnya mencapai lebih dari Rp 4,8 miliar.
Belum Terjaring
Adapun usaha dengan omzet lebih dari Rp 4,8 miliar menggunakan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 17 UU PPh. WP badan dikenakan pajak 25 persen dari keuntungan. WP orang pribadi dikenakan pajak progresif mulai dari 5 persen sampai 30 persen dari keuntungan.
Banyak UMKM yang layak menyetor pajak, tetapi belum terjaring. Sekitar 60 persen produk domestik bruto Indonesia disumbang sektor UMKM. Namun, dari data tahun 2009, sumbangan pajaknya baru 0,5 persen dari total penerimaan pajak.
Sementara itu, Group Head of Small Medium Enterprise Sales Management and Customer Offerings for SME Banking di Standard Chartered Bank Christopher Dalo mengatakan, UKM di Indonesia masih potensial untuk tumbuh. Seperti halnya UKM di seluruh dunia yang bisnisnya semakin global, begitu juga di Indonesia.
Christopher Dalo mengemukakan, bisnis UKM sekitar 20 persen dari bisnis Standard Chartered. Dalam 4 tahun mendatang, diperkirakan porsinya meningkat menjadi 30 persen. Di Standard Chartered Indonesia, UKM adalah usaha yang memiliki omzet tahunan Rp 2,5 miliar-Rp 400 miliar. (LAS/IDR)
Sumber: KOMPAS, Jumat, 6 September 2013.