Memimpin dari Kancah Indonesia
Anies Baswedan hari-hari ini sudah identik dengan harapan baru bagi dunia pendidikan Indonesia. Ketika penyelenggara negara bingung bagaimana memajukan mutu pendidikan, ia menepuk pundak para pemuda melalui gerakan ‘Indonesia Mengajar’. Gerakan ini mengajak lulusan terbaik dari berbagai universitas untuk menjadi pengajar muda, dan pergi mengajar ke sudut-sudut negeri.
Bukan kebetulan bila Anies menaruh perhatian besar pada masalah pendidikan. Lahir dari ayah seorang Wakil Rektor Universitas Islam Indonesia dan ibu seorang guru besar di Universitas Negeri Yogyakarta, Anies menempuh pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi di Yogyakarta. Namanya mulai dikenal luas ketika ia menjadi rektor termuda di Indonesia. Ayah empat anak ini menjadi rektor Universitas Paramadina ketika berusia 38 tahun. Pada 2008, ia mendapat anugerah sebagai 100 Tokoh Intelektual Muda Dunia versi majalah Foreign Policy dari Amerika Serikat.
Pada 2012, gerakan Indonesia Mengajar sudah masuk angkatan keempat. Sudah hampir 15 ribu orang mendaftar. Seleksi terhadap peminat menjadi tenaga pengajar telah memilih lebih dari 200 orang. Mereka ditempatkan di 130 lebih desa di 16 kabupaten.
Cucu Abdurrachman Baswedan, salah seorang pejuang kemerdekaan, ini sepertinya sudah ditakdirkan menjadi pemimpin. Saat usianya baru 12, Anies memimpin sebuah kelompok anak muda di kampungnya yang bernama Kelabang (Klub Anak Berkembang). Di sekolah menengah atas, ia menjadi ketua OSIS. Ketika kuliah ia terpilih menjadi Ketua Senat Mahasiswa. Kini, antara lain berkat prakarsanya memimpin anak-anak muda “berperang” di garis depan melawan kebodohan, ia dipercaya berpeluang menjadi pemimpin Indonesia di masa depan.
Kepada Pemimpin dan Calon Pemimpin Masa Depan Indonesia
Menjadi pemimpin itu bukan soal kecerdasan, kharisma, komunikasi, tampilan, dan segala macam atribut yang biasa dilekatkan pada figur pemimpin. Disebut pemimpin atau tidak ini adalah soal ada atau tidaknya yang mengikuti. Hadirnya pengakuan dan kepengikutan itu yang mengubah seseorang jadi pemimpin. Menjadi pemimpin adalah soal pengakuan dari yang dipimpin, sebuah rumusan sederhana yang sering terlupakan.
Seseorang diakui sebagai pemimpin bila kepadanya diberikan kepercayaan. Pemimpin adalah orang yang diikuti kata-kata dan perbuatannya. Dia diikuti karena dipercaya. Kepercayaan adalah pilar utama pemimpin. Kepercayaan adalah kombinasi dari kompetensi, integritas dan kedekatan. Ketiga faktor itu meningkatkan tingkat kepercayaan. Tapi ada sebuah faktor yang mampu memelorotkan kepercayaan pemimpin yaitu self-interest. Meng-nol-kan self-interest itu hampir mustahil tapi kegagalan dalam mengelola self-interest dan dalam menyamakan self-interest-nya dengan kepentingan kolektif bisa membuat pemimpin mengalami erosi kepercayaan. Pemimpin terpercaya bisa selalu menomorsatukan kepentingan kolektifnya. Kecintaannya pada kepentingan kolektif itu memberikan efek yang besar. Kini dan kelak bangsa ini selalu membutuhkan pemimpin yang mencintai bangsanya melebihi cintanya pada dirinya. Kehadiran pemimpin seperti itu bisa luar biasa dahsyat dalam menggerakan seluruh bangsa untuk meraih cita-cita kolektif.
Pemimpin dan pemimpi bedanya di huruf N. Pemimpin pada dasarnya adalah pemimpi. Pemimpi yang mimpi-mimpinya dipercaya dan diikuti. Pemimpi yang mampu mengonversi mimpi jadi realita bisa disebut sebagai pemimpin. Wajar jika pemimpin menitipkan mimpinya pada imaginasi, dan membiarkan imaginasinya itu terbang amat tinggi lalu ia bekerja amat cerdas dan keras menggerakkan seluruh daya yang tersedia untuk meraih dan melampaui mimpinya. Disinilah sebuah huruf N sebenarnya itu mewakili komponen amat kompleks menyangkut kemampuan meraih mimpi dan melampaui mimpi.
Pemimpin selalu disorot. Pemimpin adalah manusia yang harus selalu menyadari kemanusiawiannya dan sempurna bukanlah atribut yang manusiawi. Karena itu pemimpin harus selalu sadar bahwa ia berada dalam sorotan di saat ia jauh dari kesempurnaan. Efeknya simpel, pemimpin itu jadi kotak pos untuk pujian dan kritikan. Maka itu jika tidak ingin dikritik maka jangan sesekali mau jadi pemimpin. Pemimpin yang matang itu menjalani perannya dengan menempatkan cita-cita bersama sebagai rujukan. Karena itu ia matang dan mantap menjalaninya. Bisa dikatakan bahwa pemimpin yang tulus pada cita-cita kolektifnya itu takkan terbang bila dipuji dan takkan tumbang bila dicaci.
Pemimpin yang kita ingin lihat adalah yang tidak mengejar penghormatan, tapi ia menjaga kehormatan. Penghormatan itu memang bisa dipanggungkan dan bisa dibeli karenanya mudah diadapat. Sementara kehormatan itu tidak untuk diperjualbelikan. Pemimpin yang gagasan dan langkahnya terhormat, dengan sendirinya akan dapat kehormatan.
Mencari rujukan tentang pemimpin itu sesungguhnya mudah. Ada terlalu banyak contoh pemimpin di sekitar kita. Di republik ini masih amat banyak pemimpin yang solid, yang keteladanannya jadi rujukan, yang gagasannya diikuti, yang langkahnya menginspirasi. Masalahnya adalah banyak dari mereka justru tidak berada di panggung penting republik ini. Di panggung-panggung penting justru sering ditemui orang-orang berkuasa tanpa kepemimpinan. Di sisi lain, banyak pemimin yang kepemiminannya solid tapi tanpa kuasa dan otoritas.
Jika kita menengok pada sejarah negeri besar ini maka kita temui catatan gemilang sebuah generasi. Republik ini didirikan oleh orang-orang yang berintegritas. Integritas itu membuat mereka jadi pemberani dan tak gentar hadapi apa pun. Integritas dan keseharian yang apa adanya membuat mereka memesona. Orang-orang yang sudah selesai dengan dirinya. Mereka jadi cerita teladan di seantero negeri.
Hari ini, republik membutuhkan pemimpin yang berani tegakkan integritas, berani perangi ”jualbeli” kebijakan dan jabatan, dan pemimpin yang mau bertindak tegas kepentingan rakyat ”dijarah” oleh mereka yang punya akses. Republik ini butuh pemimpin yang bernyali dan menggerakkan dalam menebas penyeleweng tanpa pandang posisi atau partai. Bukan pemimpin yang serba mendiamkan seakan tidak pernah terjadi apa-apa. Pemimpin yang bisa jadi bersahabat tampilannya, sopan dan simpel tuturnya, tapi amat besar nyalinya, dan amat tegas sikapnya. Tidak selalu nyaring, tapi selalu bernyali karena nyali itu memang beda dengan nyaring.
Republik ini perlu pemimpin yang bisa mengajak semua untuk mendorong yang macet, membongkar yang buntu, dan memangkas berbenalu. Pemimpin yang tanggap memutuskan, cepat bertindak, dan tidak toleran pada keterlambatan. Pemimpin yang siap untuk ”lecet-lecet” melawan status quo yang merugikan rakyat, berani bertarung untuk melunasi tiap janjinya. Republik ini perlu pemimpin yang memesona bukan saja saat dilihat dari jauh, tetapi pemimpin yang justru lebih memesona dari dekat dan saat kerja bersama.
Bukan pemimpin yang selalu enggan memutuskan dan suka melimpahkan kesalahan. Bukan pemimpin yang diam saat rakyat didera, lembek saat republik dihardik. Pemimpin yang tak gentar dikatakan mengintervensi karena mengintervensi adalah bagian dari tugas pemimpin dan pembiaran tidak boleh masuk dalam daftar tugas seorang pemimpin.
Kelugasan, ketegasan, keberanian, kecepatan, keterbukaan, kewajaran, kemauan buat terobosan, dan perlindungan kepada anak buah bahkan kesederhanaan dalam keseharian itu semua bisa menular. Tapi kebimbangan, kehati-hatian berlebih, kelambatan, ketertutupan, formalitas, kekakuan, pembiaran masalah, orientasi kepada citra dan ketaatan buta pada prosedur itu juga menular. Menular jauh lebih cepat dan sangat sistemik.
Pemimpin bisa menentukan suasana. Pemimpin adalah dirigen yang menghadirkan energi, nuansa, dan aurora dalam sebuah orkestra. Setiap pemain memiliki peran, dan tanpa dirigen-pun instrumen musik bisa dijalankan tapi orkestra itu tidak ada jiwa-nya. Pemimpin hadir membawa suasana. Memberikan arah dan greget. Pemimpin membawa visi dan menularkannya pada semua. Pemimpin meraup aspirasi dan energi dari semua yang dipimpinnya, lalu mengkonversinya menjadi cita-cita kolektif dan energi besar untuk semua berkerja bersama meraihnya.
Memang pemimpin bukan dewa atau superman. Tidak pantas semua masalah dititipkan, ditumpahkan ke pundak pemimpin. Karena itu kita amat membutuhkan pemimpin yang berorientasi pada gerakan. Pemimpin menjadikan semua merasa ikut memiliki tanggung-jawab, merasa ikut memiliki masalah. Pendekatannya Movement bukan programatic sehingga semua merasa terpanggil untuk terlibat. Pemimpin yang bisa membuat semua merasa perlu berhenti lipat tangan, lalu terpanggil untuk gandeng tangan dan turun tangan. Pemimpin yang menggerakkan. Akhir-akhir ini kita sering menyaksikan pemimpin hadir untuk “menyelesaikan” tantangan dan masalah. Menyelesaikan tantangan dan masalah itu baik-baik saja. Tetapi sesungguhnya yang diperlukan justru bukan itu. Kita memerlukan pemimpin yang kehadirannya bukan sekadar hadir untuk “menyelesaikan” masalah dan tantangan tapi kehadirannya untuk “mengajak semua pihak turun-tangan” menyelesaikan masalah dan tantangan.
Kita memerlukan pemimpin yang menginspirasi, membukakan perspektif baru, menyodorkan kesadaran baru dan menyalakan harapan jadi lebih terang. Pemimpin yang membuat semua terpanggil untuk turun tangan, untuk bekerja bersama meraih cita-cita bersama. Pemimpin yang kata-kata dan perbuatannya menjadi pesan solid yang dijalankan secara kolosal. Kita memerlukan pemimpin yang menggerakkan!
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Anies Baswedan, Hal: 78-81.