Membangkitkan Film Nasional
Film Indonesia tak jadi mati. Salah satu yang mengembangkan kembali layar film nasional itu adalah Mira Lesmanawati, lebih dikenal sebagai Mira Lesmana. Bersama sejumlah sutradara muda, Mira memproduksi film-film layar lebar Indonesia yang sukses di pasar.
Salah satu film produksinya Ada Apa Dengan Cinta (2002) meledak di pasar, ditonton hampir dua juta orang. Film Petualangan Sherina (2000) juga tak kalah sukses. Ini jadi angin segar bagi dunia film nasional yang sudah lama mati suri. Mira tidak berhenti. Film-film lainnya tak kalah sukses seperti Soe Hok Gie (2005) dan Laskar Pelangi (2008).
Mira gandrung pada film sejak kecil. “Kalau orang lain mungkin hanya menanyakan siapa bintangnya, saya malah ingin tahu siapa pembuatnya,” katanya. Dia pun bercita-cita menjadi pembuat film.
Secara formal, bahasa film mulai ditekuni Mira di Australian Centre for Photography. Pulang ke tanah air, 1985, ia kuliah di Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta meski ditinggalkan di tengah jalan. Dia sempat terjun di industri periklanan sebagai produser dan sutradara.
Mira kemudian membangun rumah produksi Miles Productions dengan produksi awal film dokumenter Anak Seribu Pulau yang mencapai 14 episode. Lalu dia mulai merambah layar lebar. Kuldesak adalah film layar lebar pertama yang disutradarainya bersama Rizal Mantovani, Riri Reza, dan Nan Triveni Achnas. Saat ditayangkan pada 1998, film itu cukup menyita perhatian karena dibesut orang-orang muda.
Ke depan Mira ingin tetap punya kesempatan panjang membuat film dan menerjemahkan buku-buku film atau buku-buku kesenian anakanak. “Bagi saya, medium film penting sekali,” ujarnya. Dari media apapun, dia berkeyakinan semua bisa berbagi untuk Indonesia. “Sedang apa kalian? Semoga sedang membuat rencana mulia untuk bangsa ini.”
Kepada Para Pemimpin Indonesia Masa Depan
Sedang apakah kalian saat ini?
Semoga sedang membuat sebuah rencana yang mulia untuk bangsa ini.
Saya ingin berbagi cerita tentang indahnya hidup bila dikelilingi oleh orang-orang yang selalu menanamkan pentingnya berbagi rasa, mengasah rasa dan mempertajam rasa.
Saya terlahir di Jakarta, dari sebuah keluarga kelas menengah yang hidup dari musik. Musik Jazz. Bukan jenis musik yang dapat dengan mudah disukai banyak orang. Nama ayah dan ibu saya, cukup dikenal ketika saya kecil dan memasuki kehidupan remaja. Mungkin saat ini, sebagian masih ingat: (almarhum) Jack Lesmana & Nien Lesmana.
Kedua orang tua saya sangat mencintai musik jazz dan mendedikasikan hidup mereka untuk memperkenalkan musik ini kepada siapapun yang belum dapat memahaminya dan mengajarkan, berbagi ilmu, kepada mereka yang tertarik untuk menggelutinya.
Sejak kecil, saya menyaksikan dan mempelajari dan akhirnya memahami arti “berbagi”. Saya tidak bisa bermain musik. Sudah mencoba, tapi memang tidak berbakat. Tetapi, kedua orangtua saya tidak kemudian berhenti memperlihatkan kepada saya indahnya musik, indahnya seni secara keseluruhan. Sekalipun cita-cita saya saat itu, seperti kebanyakan anak lainnya, ingin menjadi dokter atau ahli fisika: menjadi inventor yang menghasilkan sebuah penemuan baru di dunia ini! Saya diajak untuk menikmati rekaman musik, pertunjukan tarian, lukisan-lukisan, film, dan bahkan komik. Saya diberikan ruang untuk mencicipi les musik, menari, memotret, dan menggambar. Saya dibiarkan membaca berbagai buku mulai dari roman, komik, dan perlahan berlanjut ke sastra dan puisi.
Entah mereka sadari atau memang semua dilakukan secara naluriah, saya yakin betul, inilah yang disebut dengan mengasah rasa. Bahwa apapun kelak bidang yang akan saya tekuni atau pekerjaan yang akan saya jalani, memahami keindahan melalui kesenian akan membantu kita menjadi manusia yang lebih peka, yang lebih berbudaya.
Para pemimpin Indonesia di masa depan,
Kesenian di negeri ini tidak pernah mendapat perhatian yang sesuai dengan fungsinya. Tidakkah mudah terlihat, negara-negara yang maju atau melaju pesat adalah negara yang memberikan ruang pada kesenian sebagai sesuatu yang dihormati. Baik para seniman maupun masyarakatnya mendapatkan kesempatan untuk belajar, mengajar, dan membuka pikiran mereka melalui banyaknya sekolah kesenian maupun ruang-ruang publik seperti perpustakaan, museum galeri, gedung pertunjukan, bioskop yang semuanya tertata dengan baik dan didukung serta dilindungi oleh negara. Negara memberi kemudahan kepada masyarakatnya untuk menikmati kesenian dan mendukung seniman negerinya, hingga kemudian dapat memahami nilai-nilai kesenian yang terbaik.
Bukankah tidak ada gunanya memiliki industriawan, ahli kedokteran, ekonomi, atau ahli dalam bidang apapun, yang tidak terasah perasaannya? Yang tidak lagi bisa meresapi keindahan? Yang mudah lupa dengan kepentingan banyak orang dan lebih mementingkan diri sendiri?
Bahwa pada akhirnya saya memilih untuk berkesenian, semata karena ingin berbagi keindahan dan dapat terus belajar serta mengasah perasaan ini. Kedua orangtua saya adalah orang yang sangat mebuat saya bangga dan semoga sayapun dapat berbuat sama kepada anak-anak saya dan masyarakat Indonesia.
Para pemimpin Indonesia di masa depan,
Sedang apakah kalian?
Jika tengah membuat rencana mulia untuk bangsa ini, semoga kalian tidak lupa untuk memberikan tempat terhormat kepada kesenian. Amin.
Hormat saya,
Mira Lesmana
Sumber: Surat Dari & Untuk Pemimpin, Penulis: Mira Lesmana, Hal: 210-212.