Melembagakan Transparansi dan Kontrol LSM Di Indonesia
Keberadaan aktif LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dalam menggeluti isu atau masalah-masalah struktural seperti kemiskinan, penegakan hukum, demokratisasi serta advokasi kebijakan-kebijakan publik di Indonesia akhir-akhir ini terkesan paradoks. Di satu pihak, prakarsa aktif LSM di dalam menggeluti masalah-masalah tersebut dipandang kontraproduktif, tidak murni atau malah dilihat memuat indikasi karupsi, karena cenderung sarat dengan vested interest dari penyandang dana atau para pengurus dari LSM bersangkutan.
Bahkan, mengambil beberapa kasus mencolok seperti penggelapan dana JPS yang melibatkan sejumlah LSM tahun 2000, dugaan penyimpangan dana banjir oleh ICE on Indonesia di tahun 2002 atau tuduhan kolusi antara PLN dengan salah satu pengurus YLKI di tahun 2001, masyarakat dan media massa menilai bahwa LSM yang selama ini vokal menyuarakan gagasan “good governance” justru terjerembab sendiri ke dalam praktik-praktik KKN. Tak mengherankan bila bulan-bulan terakhir tahun lalu kampanye negatif meluas terhadap gerakan LSM di Indonesia.
Sebaliknya, di pihak lain peran aktif LSM dalam kegiatan kampanye sekaligus advokasi korban pelanggaran HAM, seperti: Tragedi Trisakti, Semanggi I/II, pelanggaran HAM berat di Timtim yang melibatkan sejumlah perwira TNI, merupakan bentuk kesadaran yang sekaligus mencerminkan perkembangan kepedulian LSM dalam menjalankan fungsi kontrol sosial dan politik untuk melawan bentuk-bentuk kekerasan struktural aparat dan institusi publik kita terhadap masyarakat.
Dua persepsi berbeda di atas, otomatis melahirkan berbagai ketidakpastian terhadap peranan LSM dalam konteks mengisi reformasi di Indonesia. Di satu sisi LSM dicerca dan ditatap miring oleh aparat birokrat dan keamanan, namun di sisi lain dipuji dan dipandang menjadi alternatif kekuatan publik yang membela kepentingan masya-rakat. Oleh karena itu, sangatlah penting memahami peranan LSM, khususnya dalam kaitannya dengan persoalan mendasar menyangkut kontrol dan transparansi LSM, baik secara internal maupun eksternal.
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Editor: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 85-86.