Masyarakat Sipil Tergoda Politik
Selain negara dan pasar, peran masyarakat sipil sama pentingnya. Peran masyarakat sipil bukan semata pengontrol, namun menjadi mitra dalam pengelolaan kehidupan bernegara. Kehadiran masyarakat sipil yang kuat merupakan salah satu variabel pengukuran kualitas kehidupan berdemokrasi.
Begitulah pandangan yang disampaikan pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Adi Suryadi Culla. Perbincangan lebih jauh dilakukan di ruang kerjanya di Kampus Unhas di Tamalanrea, Makassar, beberapa waktu lalu.
Bagaimana Anda melihat perkembangan organisasi masyarakat sipil pascareformasi?
Organisasi masyarakat sipil kehilangan isu kalau kita membandingkan dengan kehadiran mereka di era otoritarian. Di era Orde Baru, organisasi masyarakat sipil, meskipun ada yang ”pelat merah”, tingkat kemandiriannya jauh lebih besar karena adanya identifikasi diri yang berbeda sebagai wilayah di luar negara. Beberapa yang kritis, muncul mengidentifikasi diri sebagai kekuatan di luar state. Masyarakat sipil di era Orde Baru sebenarnya bermain dengan cantik. Dalam konteks sistem politik, mereka sebenarnya tak punya ruang demokrasi untuk mengontrol negara karena ada represi dari negara waktu itu. Akan tetapi, mereka menjalin hubungan dengan elite-elite negara.
Organisasi masyarakat sipil originalnya lahir dibentuk dari negara. Walhi, LBH tidak bisa dilepaskan dari peran (Gubernur DKI Jakarta waktu itu) Ali Sadikin. Di situlah kekuatan mereka, state tidak homogen, ada elemen-elemen prodemokrasi yang juga banyak membela dan berkontribusi. Itu yang membuat mereka bisa mengartikulasikan peran dengan baik. Apalagi waktu itu juga dibutuhkan oleh rezim untuk bantuan internasional yang mensyaratkan adanya masyarakat sipil.
Saat ini bagaimana?
Membandingkan dengan sekarang, agak sulit untuk membedakan elemen-elemen yang pro dan yang antidemokrasi. Itu yang menyulitkan organisasi masyarakat sipil sehingga mereka sulit mengidentifikasi diri dalam membangun gerakan. Banyak juga mereka ini yang masuk ke dunia politik. Namun, godaan politik membuat mereka tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik.
Bagaimana dengan organisasi masyarakat sipil saat ini yang mencoba lebih masuk ke formulasi kebijakan publik?
Secara genetik, berbeda antara masuk ke parpol dan masuk ke instrumen masyarakat sipil. Kekuasaan organisasi masyarakat sipil lebih bersifat moral. Sementara yang masuk ke politik, masuk ke kepentingan parsial, berdasarkan kepentingan politik. Kelihatannya teman-teman yang masuk ke parpol, gagal menjalankan komitmennya sewaktu di masyarakat sipil.
Sebenarnya ada konsensus di masyarakat sipil untuk berbagi tugas. Tapi kelihatannya hasilnya berbeda. Mereka yang masuk parpol bisa terperangkap dalam kepentingan kekuasaan, dan tidak mampu melakukan perubahan. Kekuasaan itu tetap korup, perilaku elitenya tetap tak berubah. Yang dihadapi adalah perilaku elite yang relatif susah untuk mengintrospeksi diri dan melakukan perubahan. Kesulitannya di situ. Asistensi yang diberikan hanya menjadi instrumen teknis yang tidak masuk ke substansi.
Lantas, apa yang bisa dilakukan?
Yang dibutuhkan adalah ketegasan, komitmen. Akhirnya semua kembali kepada tokoh bersangkutan. Aktivis organisasi masyarakat sipil sebenarnya diharapkan, tapi kelihatannya mereka tidak berhasil untuk memengaruhi elemen partai. Perlu ada semacam instrumen yang bisa menjembatani antara masyarakat sipil, state, dan parpol yang dilembagakan. Elemen quasi-state, seperti KPK atau Komnas HAM, sepertinya bisa menjembatani. Elemen masyarakat sipil cocok untuk masuk ke situ. Di situ titik strategisnya. Ini yang seharusnya berperan. Kalau bisa diisi, dikuasai untuk menghubungkan kebutuhan rakyat dengan sistem.
Bagaimana kalau kemudian itu dianggap jenjang karier berikutnya bagi elemen masyarakat sipil?
Itu berarti melanggar komitmen mereka kalau itu kemudian dianggap sebagai model jenjang karier. Cara itu hanya instrumen gerakan perubahan, ruang tersedia yang paling memungkinkan untuk menyentuh kekuasaan. Kalau hanya mengandalkan ruang organisasi masyarakat sipil, susah sekali. Apalagi realitasnya bantuan internasional sudah berkurang.
Soal dana asing bagi organisasi masyarakat sipil di Indonesia?
Kalau itu diberikan tanpa semacam intervensi kepentingan, sebenarnya tidak ada masalah. Organisasi masyarakat sipil di Indonesia berkembang juga karena dana internasional, berbeda halnya dengan Eropa. Kasus Indonesia, yang berperan adalah dana asing dan negara sendiri. Mungkin itu pula yang membuat organisasi masyarakat sipil di Indonesia rapuh sekalipun di era otoritarian cukup kuat. Ketika era otoritarian runtuh, runtuh pula mereka (masyarakat sipil) punya fondasi. Yang diharapkan dari organisasi masyarakat sipil adalah fundraising dan membuat usaha sendiri. Beberapa organisasi di sejumlah daerah membuat usaha kreatif, bekerja sama dengan masyarakat mengembangkan itu, dan pada saat sama mereka membuat gerakan. Harusnya ada otonomi, self supporting dan self generating, seperti swasembada untuk menghidupi dirinya sendiri. Mereka tidak hadir semata dalam postur politik, postur moral mestinya mereka mengembangkan sayap usaha lain untuk menghidupi dirinya. Itu sudah terjadi di Aceh, juga di Bali, dan Sulawesi Tenggara.
Bagaimana idealnya organisasi masyarakat sipil ke depan?
Mereka semua berada dalam kesepahaman yang sama dalam mewujudkan aturan demokrasi. Tidak bisa lagi mengonfrontasikan, memisahkan sebagai batang-tubuh yang saling berhadapan antara state dan society. Kadang saya masih melihat aktivis masyarakat sipil yang melihat negara sebagai musuh. Itu perilaku dalam sistem otoritarian. Dalam sistem demokrasi, tidak bisa lagi seperti itu. Masa depan organisasi masyarakat sipil sangat ditentukan dengan bagaimana mereka menciptakan jejaring dengan elite yang diidentifikasi memiliki sikap yang prodemokrasi.
Oleh: Aswin Rizal Harahap dan Sidik Pramono.
Sumber: KOMPAS, Sabtu, 4 Agustus 2012, Halaman: 5.