Manajemen Strategis untuk Kelangsungan Hidup Perusahaan
Perusahaan harus terus-menerus berjuang untuk mencapai kecermerlangan dengan keunggulan bersaing di pasar sebagai hasil dari perencanaan strategis dan operasional. Dengan kata lain, perusahaan harus dapat menciptakan strategi untuk mencapaikan produk dan jasa mereka sedemikian rupa, sehingga, dapat menciptakan nilai yang lebih besar untuk pelanggan. Senjata itu disebut dengan manajemen strategis (strategic management), yang meliputi pengembangan rencana bisnis sebagai penuntun perusahaan sewaktu berjuang untuk mencapai misi, tujuan, dan cita-cita serta mempertahankan arah pertumbuhan perusahaan yang sehat.
Praktik dunia usaha di masa lampau yang cenderung berdampak negative, membuat wacana tanggung jawab sosial perusahaan, atau yang lebih dikenal sebagai CSR (Corporate Social Responsibility), menjadi kebutuhan untuk mengubah citra dunia usaha yang ramahlingkungan. Menurut Edward Freeman, dalam bukunya A Stakeholder Approach (1984), pada era terakhir ini pemahaman manajemen strategis mulai berkembang, tidak hanya sekadar menguasai pasar (pelanggan) saja, tetapi juga mengusai stakeholder (pemangku kepentingan) yang menentukan kelangsungan hidup perusahaan. Pendapat itu didukung oleh Ann Svendsen dalam bukunya The Stakeholder Strategy (1998). Namun konsep pemangku kepentingan itu sendiri telah mengalami banyak perubahan yang mencolok. Kalau dulu yang dianggap sebagai stakeholder adalah investor, dewan dereksi, manajemen, pelanggan, pemasok dan pemerintah, telah berkembang menjadi lebih luas menyangkut karyawan, serikat kerja, masyarakat umum, dan kelompok peminat khusus.
Karena itulah dengan semakin banyak pihak berkepentingan yang terlibat, semakin besar perbedaan pendapat yang muncul. Andrew Weiss, misalnya mengungkapkan tentang keretakan pada dasar teori stakeholder yang berubah tersebut. Namun, Chris Laszo, penulis The sustainable company (2003), dan Robert Philips, penulis Theory and Organizational Ethics (2003) menjawab kritik Weiss tersebut sebagai akibat dari pergeseran paradigma perusahaan yang berimpit dengan keinginan untuk mencegah terjadinya bencana sosial dan lingkungan. Sebagai perusahaan, mereka menyadari adalah bagian dari lingkungannya yang perlu di rawat dengan baik untuk bisa hidup bersama secara berkelanjutan.
Dalam sepuluh tahun terakhir secara perlahan tampak kecenderungan positif yang berkembang dengan cukup mencolok, berupa upaya nyata dan membumi, yang dilakukan didasari niat baik untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, serta pelestarian lingkungan.
Masyarakat menghendaki standar bisnis yang lebih tinggi daripada era-era sebelumnya, yaitu perusahaan harus dapat melampaui “berhasil dengan baik” dengan cara mendapatkan laba, dan melakukannya dengan baik” dengan cara berbuat sesuai dengan tanggung jawab sosial adalah kepedulian para manajer suatu perusahaan berkenan dengan konsekuensi sosial, lingkungan, politik, manusia, dan keuangan, atas tindakan-tindakan yang mereka ambil.
Suatu bisnis yang bertanggung jawab secara sosial mempertimbangkan tidak hanya “apa yang terbaik bagi perusahaannya” saja, tetapi juga “apa yang terbaik bagi masyarakat umum”. Bisnis-bisnis memiliki tanggung jawab kepada beberapa pihak utama yang berkepentingan, termasuk lingkungan, karyawan, pelanggan, investor, dan komunitas, minimal dalam radius operasi usaha.
Sebagian besar perusahaan secara cermat menyadari kebutuhan untuk memastikan bahwa produk dan proses mereka menjadi “bersahabat dengan lingkungan”. Kebijakan lingkungan yang logis merupakan bisnis yang baik. Sebagai tambahan untuk menurunkan biaya operasi, produk-produk yang bersahabat dengan lingkungan menarik pelanggan yang sadar lingkungan, dan dapat memberikan keunggulan bersaing dalam bidang pemasaran kepada suatu perusahaan.
Little Earth Production menarik pelanggannya dengan pakaian yang terbuat dari bahan baku daun daur ulang, termasuk seat belt mobil, tutup botol, plat nomor mobil, dan kaleng ikan tuna. “masalah dengan pakaian yang bersahabat dengan lingkungan adalah warnanya yang pudar”, kata Ava De Marco, pendiri Little Earth. Akan tetapi, garmen mereka yang tidak biasa ini tidak mengalami pelunakan. Perusahaan tersebut menjual model-model pakaian dalam berbagai bentuk yang unik, sejak dari tas bahu yang terbuat dari dop dan karet daur ulang, tas tangan dari karet daur ulang dan kaleng bir, serta buku catatan dari plat nomor mobil daur ulang. Konon yang paling laku adalah ikat pinggang dari seat belt mobil yang didekorasi dengan tutup-tutup botol.
Disarikan pada buku: CSR dalam Praktik di Indonesia, Pengarang: Jackie Ambadar, Hal: 28-31.