Makna Desentralisasi bagi Desa
Reformasi dalam dekade terakhir telah membawa perubahan yang bisa dirasakan hingga tingkat desa. Desentralisasi telah mengembangkan harapan dan cita-cita bagi masyarakat desa. Selain memberikan kewenangan yang lebih luas dalam perencanaan pembangunan dan pengelolaan keuangan, desentralisasi telah mengarahkan tata pemerintahan agar lebih transparan, akuntabel, serta mampu menyediakan pelayanan publik yang lebih baik.
Desentralisasi telah merubah sistem pemerintahan yang sebelumnya terpusat (sentralistik) menjadi terdesantralisasi ke daerah. Terjadi perubahan drastis hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Daerah dan hubungan antar Sektor dalam pemerintahan. Perubahan ini ditegaskan dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Upaya perubahan terus-menerus dilakukan, hingga terbitlah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Mulai 2001, telah terjadi penataan ulang hubungan vertikal antara pemerintah Pusat, pemerintah Provinsi, dan pemerintah Kabupaten/Kota.
Penataan juga dilakukan secara horisontal di tingkat Pusat antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dan di tingkat Daerah antara pemerintah Daerah dengan DPRD, baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota.
Intinya, desentralisasi adalah sebuah proses yang memungkinkan daerah mampu berkembang berbasiskan prakarsa lokal (daerah). Hal ini bisa terjadi karena adanya pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam fungsi-fungsi publik. Dengan adanya pelimpahan tersebut diharapkan bisa terwujud tata kelola pemerintahan yang efisien dan partisipatif.
Pelaksanaan desentralisasi selaras dengan agenda demokratisasi dan tujuan terwujudnya kesejahteraan. Dengan desentralisasi, dapat terjamin pengambilan keputusan publik secara demokratis, begitu juga pelayanan masyarakat dapat terselenggara dengan lebih baik. Dalam rangka menilai dampaknya terhadap pelayanan publik dan kemiskinan, desentralisasi bisa dibedakan atas 3 jenis:
- Desentralisasi politik, melimpahkan kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam berbagai aspek pengambilan keputusan, termasuk penetapan standar dan berbagai peraturan.
- Desentralisasi administrasi, berupa redistribusi kewenangan, tanggung jawab dan sumber daya di antara berbagai tingkat pemerintahan. Kapasitas yang memadai disertai kelembagaan yang cukup baik di setiap tingkat merupakan syarat agar hal ini bisa berjalan efektif.
- Desentralisasi fiskal, menyangkut kewenangan menggali sumber-sumber pendapatan, hak untuk menerima transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi, dan menentukan belanja rutin maupun investasi.
Sebagai alat ukur dampak perubahan kebijakan, ketiga jenis desentralisasi ini saling berkaitan satu sama lain. Desentralisasi politik dan administrasi secara bersamaan merupakan prasyarat awal bagi peningkatan kualitas layanan publik.
Partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan akuntabilitas pemerintah daerah hanya dapat terjadi apabila desentralisasi politik sudah berlangsung. Desentralisasi administrasi kemudian memperkuat kondisi tersebut lewat pembentukan kelembagaan yang bertanggung jawab menjalankan proses partisipasi. Sementara desentralisasi fiskal menjadi bagian yang melengkapi persyaratan awal tadi agar ada kepastian bahwa semua program dan target dapat dilaksanakan.
Selanjutnya, untuk mewujudkan pemerintahan yang demokratis, partisipatif, dan akuntabel dibutuhkan reformasi birokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance). Karakteristik dasar yang harus dipenuhi pemerintah dalam mempraktikkan good governance, antara lain: partisipasi, orientasi pada konsensus, akuntabilitas, transparansi, responsif, efektif dan efisien, ekuiti (persamaan derajat) dan inklusifitas, serta penegakan/supremasi hukum.
Praktik kepemerintahan yang baik mensyaratkan bahwa pengelolaan dan keputusan manajemen publik harus dilakukan secara terbuka dengan ruang partisipasi sebesar-besarnya bagi masyarakat yang terkena dampaknya. Konsekuensi dari transparansi pemerintahan adalah terjaminnya akses masyarakat dalam berpartisipasi, utamanya dalam proses pengambilan keputusan.
Pada masa Orde Baru, partisipasi lebih diartikan sebagai kerelaan masyarakat mengorbankan harta benda, waktu dan tenaga demi mensukseskan program-program pemerintah. Partisipasi dalam semangat demokrasi bukan lagi semata-mata pengorbanan, namun keikutsertaan masyarakat dalam proses manajemen publik yang mencakup: perencanaan, pengambilan keputusan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi.
Selain partisipasi, good governance juga membutuhkan transparansi dalam manajemen. Transparansi adalah proses keterbukaan dari para pengelola manajemen publik untuk membangun akses dalam proses pengelolaannya. Dalam proses transparansi, masyarakat memiliki hak untuk memperoleh informasi yang menyangkut kepentingan publik. Masyarakat tidak lagi pasif menunggu informasi dari pemerintah atau dinas-dinas penerangan pemerintah, tetapi mereka berhak mengetahui segala sesuatu yang menyangkut keputusan dan kepentingan publik. Keputusan yang mengikat publik harus dapat diterima oleh nalar publik dan tidak ada alasan yang irasional dan tertutup untuk diperdebatkan.
Dari berbagai gambaran capaian proses desentralisasi dalam dekade terakhir, dapat ditarik pelajaran bagi desa tentang pentingnya mengembangkan inisiatif lokal, mempraktikkan partisipasi yang seluas-luasnya, serta manajemen publik yang transparan dan akuntabel untuk mewujudkan kesejahteraan di desa. Dengan kata lain, desentralisasi bagi desa merupakan alat untuk mewujudkan visi kehidupan baru desa yang mandiri, demokratis dan sejahtera.
Disarikan dari buku: Sinkronisasi Perencanaan Desa, Penulis: Rohidin Sudarno, Suraji, Hal: 5-9.