Lupakan Seniman, Implementasi CSR Tidak Maksimal
Unik, hasil karya seniman Indonesia justru mendapatkan pengakuan di mata internasional. Namun, di negeri sendiri semua seakan tak berarti. Lantaran para seniman Indonesia jarang mementaskan pertunjukan kesenian di negeri sendiri karena keterbatasan dana.
Neraca
Terkait dengan kultur budaya yang sangat beragam, kualitas karya seniman Indonesia memiliki karateristik bentuk dan cita rasa estetis yang khas. Tak ayal, karya-karya hasil seniman Indonesia di bidang tari, musik, dan teater (kontemporer) mendapatkan pengakuan publik di panggung-panggung internasional. Namun, karena keterbatasan dukungan pendanaan dalam berkarya, para seniman jarang mementaskan pertunjukan kesenian tari, musik, dan teater di negeri sendiri.
Kepada Neraca, Ketua Pengurus Yayasan Kelola, Linda Hoemar Abidin menuturkan, banyak sekali seniman dan kelompok kesenian Indonesia di bidang tari, musik, dan teater yang telah mendapatkan pengakuan publik di panggung-panggung internasional. Contohnya, kelompok tari asal kota Padang, Nan Jombang yang sering diundang pentas di Festival-festival Seni internasional, seperti Singapura, Australia, Jerman, Amerika Serikat, dan Jepang.
“Selain Nan Jombang, ada Papermoon Puppet Theater, asal Yogyakarta, yang juga sudah banyak pentas di panggung-panggung internasional. Sayangnya, karena keterbatasan dukungan dana untuk pertunjukan kesenian kontemporer, mereka jarang pentas di Jakarta bahkan di kota-kota besar lain di Indonesia,” ujar dia.
Untuk mendorong seniman agar terus menghasilkan karya dengan kualitas yang semakin baik, sambung Linda, maka sejak tahun 2001, Kelola menawarkan program Hibah Seni. Program-program Kelola membuka akses pembelajaran, pendanaan dan informasi bagi seniman-seniman se-Indonesia. Proses pembelajaran ini memerlukan waktu hingga hasilnya bisa dilihat.
Hibah Seni memiliki dua kategori yakni Karya Inovatif dan Pentas Keliling. Karya Inovatif ditujukan untuk karya seni yang mencari dan mengedepankan hal-hal baru dalam seni. Pentas Keliling diberikan agar karya seni terpilih dapat dipentaskan di suatu kota dan dilihat oleh penonton baru di kota-kota lain. Oleh karena kelompok tradisi juga berkesempatan mendapatkan hibah Pentas Keliling, maka pementasan keliling juga menjadi ruang untuk merayakan keberagaman seni budaya Indonesia.
Lebih lanjut, wanita yang telah menekuni seni tari sejak kecil ini mengatakan, adanya perhatian dan dukungan pendanaan dari berbagai pihak bagi pengembangan kesenian Indonesia dengan komitmen jangka panjang mutlak diperlukan. Maka dari itu, Kelola telah menjalin kerja sama dengan lembaga donor dari dalam dan luar negeri.
Terkait program Corporate Social Responsibility (CSR), Linda mengungkapkan bahwa hingga kini masih jarang perusahaan yang membantu para seniman. Selain dukungan filantropi First State Investments Indonesia (FSI) melalui program kerjasama dengan Citibank Indonesia, belum ada program perusahaan lain yang memberikan dukungan dana jangka panjang bagi kegiatan seni budaya melalui Yayasan Kelola.
“Saat ini, hanya 15% dari proposal masuk yang bisa Kelola danai. Jika ada lebih banyak lagi dukungan dana yang terkumpul dan disumbangkan kepada Kelola, akan lebih banyak lagi kelompok kelompok seni ternama yang bikin karya invoatif dan membanggakan kita semua sebagai orang Indonesia,” papar dia.
Tidak Maksimal
Ya, seperti di anak tirikan memang. Jika dicermati perusahaan-perusahaan lebih memfokuskan bantuan sosial mereka di bidang pendidikan, kesehatan, lingkungan ketimbang kesenian. Lantas, mengapa perusahaan-perusahaan masih jarang memberikan bantuan pada para seniman melalui program CSR mereka? Menanggapi hal tersebut, Program Manager Jembatantiga.com (Penabulu Alliance), Herman Simanjuntak mengatakan, minimnya perusahaan yang memberikan bantuannya kepada para seniman dikarenakan belum adanya aturan atau regulasi yang mengarah ke isu kesenian.
“Selain itu bantuan atau dana CSR yang biasanya dilakukan oleh perusahaan akan digelontorkan dengan melihat salah satu aspek yaitu legalitas lembaga. Nah banyak lembaga-lembaga kesenian yang belum memperhatikan hal ini,” kata dia kepada Neraca.
Di sisi lain, lanjut Herman, implementasi CSR yang dilakukan perusahaan belum maksimal. Beberapa program yang dilakukan masih bersifat instan, karikatif, tidak unik dan beberapa masih mengikuti trend isu, misalnya trendnya penanaman pohon, perusahaan akan berbondong-bondong memprogramkan isu ini.
Padahal, sambung Herman, dalam acuan prinsip, nilai dan standar tanggung jawab sosial perusahaan seperti UN Global Compact (2000), Equator Principle (2006) dan terkini ISO 26000 (2010), ditambah lagi dengan adanya UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang ditegaskan dalam UU No. 40 tahun 2007 telah mendorong bahwa CSR sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan adalah sebuah urusan wajib dan bukan lagi kesukarelaan.
“Intinya, perusahaan perlu mengelola isu-isu sosial sebagai akibat langsung maupun tak langsung dari dampak operasi bisnisnya. Kita ketahui bahwa sebagian besar isu sosial tersebut merupakan wilayah isu dimana CSO (Civil Society Organization) selama ini bekerja,” tegas dia.
Maka dari itu, tutur Herman, sangat penting bagi perusahaan untuk turut andil dalam upaya mengembangkan kesenian di Indonesia. Karena, seni dapat menyalurkan energi artistik dan kultural yang akan menularkan kekuatan yang segar pada kehidupan berbangsa dan bernegara, membuat daya cipta dimasyarakat berkembang subur sehingga mampu memecahkan masalah-masalahnya dengan penuh martabat.
“Kekuatan senilah yang ikut menjadi inti peradaban dan kebudayaan. Sehingga ketika sebuah kebudayaan dan peradaban melapuk, hanya seni dan intelektualnya yang bertahan menahan gerusan waktu dan tak jarang ikut membentuk jaman yang datang sesudahnya. Selain itu seni juga menegaskan kesamaan umat manusia sekaligus meneguhkan kekhasan kaum atau bahkan pribadi yang menciptakan karya itu,” tutup dia.
Sumber: NERACA, Sabtu, 01 Juni 2013.