LSM Tidak Berpolitik?
Harian Kompas edisi 20 November 1996 memuat berita tentang pidato kebudayaan Prof Dr Ginandjar Kartasasmita, Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas dalam Kabinet Pembangunan VI, dengan judul “Berpihak pada Rakyat tak Menyalahi Konstitusi”. Pidato dalam rangka memperingati HUT ke-28 Taman Ismail Marzuki itu antara lain menyatakan, “Agar organisasi-organisasi non-pemerintah (NGO) murni berjuang untuk masyarakat dan bukan sebagai selubung politik, apalagi dikaitkan dengan kepentingan asing.”
Politik yang dimaksud oleh Ginandjar, seperti ditulis pada kutipan berikutnya, menyangkut soal kekuasaan. Jadi, Ginandjar mengharapkan LSM atau Organisasi Masyarakat (Ormas) di Indonesia tidak berpolitik yang menyangkut kekuasaan. Timbul pertanyaan, bagaimana bila politik yang dilakukan oleh LSM menyangkut soal lain?
LSM di Indonesia berbeda dengan di negara lain, seperti Filipina misalnya, yang mempunyai agenda menjadi partai politik pada tahun 2000. Agenda ini tentu tidak mungkin dilakukan di Indonesia, sebab undang-undang mengenai kepartaian (UU No. 3/1985) dan undang-undang keormasan (UU No. 8/1985) melarang organisasi politik mempunyai onderbouw Ormas atau LSM. Sebaliknya, Ormas atau LSM tidak dibenarkan berafiliasi dengan partai politik. Di Jerman, Belanda, Amerika Serikat, dan beberapa negara lain, selain terdapat LSM yang independen, juga terdapat LSM yang merupakan kepanjangan dari partai politik atau agama tertentu.
Tetapi, benarkah LSM Indonesia tidak berpolitik? Sebagai salah satu unsur masyarakat sipil yang terorganisir, LSM sangat peduli pada pembangunan, kelestarian lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak asasi manusia (HAM), dan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan. Menurut hemat penulis, kepedulian LSM tersebut adalah ungkapan dari sikap politik yang mengacu pada kesejahteraan masyarakat dan tidak ada sangkut pautnya dengan upaya menggalang kekuatan demi kekuasaan politik.
Mahatma Gandhi dalam Semua Manusia Bersaudara (1988) mengatakan: “Saya tidak akan dapat menjalani suatu kehidupan beragama, kecuali jika saya dapat mengidentifikasi diri dengan seluruh umat manusia, dan ini tidak dapat saya lakukan jika saya tidak ikut ambil bagian dalam kegiatan politik. Seluruh aktivitas orang dewasa ini merupakan satu keutuhan yang tidak dapat dibagi-bagi. Kita tidak dapat membagi-bagi kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi, politik dan kegamaan menjadi kompartemen-kompartemen yang terpisah-pisah dan kedap satu sama lain. Saya tidak mengenal satu agama pun yang terpisah dari kegiatan manusia. Agama memberi dasar moral bagi semua kegiatan lain yang kalau tidak demikian, akan menurunkan kadar kehidupan yang menjadi suatu kesemrawutan yang tidak ada maknanya.”
Hal yang membedakan (dan harus dibedakan) antara sikap politik Ormas atau LSM dengan partai politik adalah, Ormas atau LSM melakukan kegiatan pemberdayaan dan pemihakan kepada masyarakat tanpa mengharapkan dukungan politik dan tidak sedang menggalang kekuatan politik. Sebaliknya, partai politik melakukan upaya penggalangan kekuatan politik. Sebagai ilustrasi, Ormas atau LSM dan partai atau organisasi politik sama-sama dapat mengadakan pelatihan pengembangan sumber daya manusia, membangun irigasi atau mendorong rakyat untuk membentuk koperasi simpan-pinjam dan lain-lain, tetapi harapan yang ingin dicapai masing-masing berbeda. Partai politik mengharapkan agar lewat upaya pemberdayaan dan kesejahteraan rakyat muncul dukungan bagi partainya pada saat pemilihan umum (pemilu). Sementara itu, LSM sama sekali tidak mengharapkan dukungan dalam bentuk apa pun pada saat pemilu, karena keberadaan LSM tak ada sangkut-pautnya dengan pemilu, calon legislatif (caleg), dan sejenisnya.
Pidato kebudayaan Ginandjar penulis pahami sebagai ajakan agar peran politik LSM dibawakan secara murni dan hanya ditujukan bagi pemberdayaan rakyat dan kesejahteraan masyarakat, tidak lebih. Kalangan LSM, menurut hemat penulis, akan setuju sepenuhnya dengan ajakan itu. Sebab, adalah tidak etis bila kepercayaan yang telah diberikan oleh rakyat kepada LSM untuk melayani mereka disisipi dengan tujuan politik tertentu. Walaupun demikian, meski peranan politik LSM telah dibawakan secara mumi, tidak serta-merta ketegangan antara LSM dan pemerintah terhapus.
Berbagai ungkapan yang mencuat di media masa dari tokoh-tokoh kedua belah pihak, yang bersumber dari praduga yang keliru, ternyata tidak menjernihkan duduk perkara sebenarnya. Sumber ketegangan, secara garis besar, dapat dikatakan bahwa pemerintah memandang pembangunan ini selayaknya dilakukan oleh pemerintah sebagai aktor utama, sementara rakyat adalah partisipan. Sebaliknya, LSM berpendapat bahwa pembangunan harus dilakukan oleh rakyat dan pemerintah berperan sebagai pendukung. Pemerintah melakukan pendekatan top-down, sedangkan LSM bottom-up. Perbedaan ini memang tidak dapat dihindari, tetapi bila perbedaan itu dapat dijembatani lewat berbagai forum dan dialog, maka bisa muncul berbagai gagasan sehingga kerjasama yang saling mendukung dan melengkapi, dengan mempertahankan otonomi dan kekhasan masing-masing, akan terjadi.
Disarikan dari buku: Pemberdayaan Orang Miskin, Penulis: Bambang Ismawan, Hal: 20-23.