LSM disebut sebagai Organisasi Non Pemerintah (Ornop)
Barangkali sudah menjadi takdir LSM sekalipun mereka sering disebut sebagai organisasi non pemerintah (ornop), tetapi dalam aktivitas sehari-hari tak pernah bisa melepaskan dari “campur tangan” pemerintah. LSM yang bercirikan karitatif dan developmentalist harus sering berhubungan dengan pemerintah, karena pelaksanaan programnya memang “mewajibkan” mereka berhubungan dengan pemerintah. Paling tidak, sekadar memberitahukan, program pengembangan masyarakat atau pemberian bantuannya akan dilakukan.
Sebaliknya, LSM yang berorientasi pada kegiatan advokasi maupun transformatif juga tidak dapat melepaskan diri dari hubungan dengan pemerintah. Ketika mereka harus memperjuangkan kliennya di peradilan pasti akan bertemu dengan pemerintah, minimal wakil pemerintah yakni jaksa atau hakim. Namun hubungan dengan “pemerintah” yang paling tak mengenakan terjadi, kalau aktivitas mereka dinilai terlalu kritis.
Seperti yang dialami pengacara Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Esther Indahyani Jusuf (27). Sebuah “timpukan” kecil menerpa punggungnya pertengahan tahun ini. “Sebenarnya tidak terlalu merasa sakit. Namun kata teman-teman, dari bentuk luka yang ditinggalkan, mungkin terkena tembakan peluru karet. Ini mungkin teror bentuk lain yang harus saya terima,” ungkapnya.
Bukan kali itu saja dia menerima teror. Selama berkantor di LBH Jakarta, yang menjadi tempat pertemuan hampir semua aktivis di Tanah Air, berulangkali ia menerima ancaman.
Apa yang dialami Esther mungkin belum sedramatis yang dialami aktivis ornop lainnyam seperti Pius Lustrilanang dari Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera), Desmond Junaidi Mahesa dari LBH Nusantara Jakarta, dan Rahardjo Waluyo Jati, aktivis muda dari Komite Nasional Pejuang Demokrasi (KNPD). Dalam perjalanan sebagai aktivis mereka terkadang harus berhubungan full body contact dengan aparat.
Dalam catatan hidup Pius, paling tidak tiga kali dia mengalami perlakuan “khusus” dari aparat. Pertama, saat memperjuangkan hak petani di Badega, Jawa Barat. Kedua, tubuhnya memar pada 14 tempat ketika beraksi mendukung Megawati di Bandung. Hal yang sama dialami juga Desmond J Mahesa ketika memperjuangkan hak-hak warga Cibentang dan Ciseeng, Bogor yang tidak mau dilewati jaringan kabel tegangan tinggi. Juga Jati, waktu memperjuangkan hak petani di Situbondo dan Banyuwangi, Jawa Timur yang lahannya akan dimanfaatkan untuk latihan gabungan ABRI tahun 1992.
Pengalaman dramatik bagi ketiganya adalah saat harus “dipenjara” selama beberapa bulan tanpa proses peradilan. Ketiganya adalah korban aksi penculikan dan penghilangan aktivis yang tengah diselidiki Mabes ABRI. Meski kini mereka sudah “dibebaskan” dan dapat bergerak kemana-mana, namun pengalaman buruk itu tak begitu saja bisa dilupakan.
Desmond misalnya, setelah keluar dari sekapan penculik, kini menjadi perokok berat. “Ini ‘kan untuk mengurangi kecemasan. Tak dapat dipungkiri, sampai saat ini pengalaman diculik dan disekap itu masih membayang, “tuturnya.
Seperti dikisahkan Pius, Desmond, dan Jati dalam kesaksian mereka di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atau Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (Kontras), selama diculik dan disekap di suatu tempat, mereka mengalami siksaan yang tak manusiawi. Selain diestrum dan dipukul, ketiganya dipaksa tidur di atas balok es atau dibenamkan dalam bak air.
Sebenarnya mereka sadar, risiko dari aktivitasnya, yaitu terluka atau paling ringan menerima teror. Bahkan, seperti Gilang di Solo dan korban penculikan yang lain, harus menerima kematian tragis. Tetapi diculik dan disiksa seperti yang mereka alami, tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Yang paling mungkin dan ini sering terjadi, mereka ditangkap waktu melakukan unjuk rasa dan diminta keterangan, untuk tidak menyebut ditahan, selama beberapa hari. Bila dirasa cukup, mereka baru dilepaskan. Tetapi permintaan keterangan itu dilakukan secara terbuka. Artinya, aktivis yang lainnya mengetahui di instansi mana pemeriksaan itu dilangsungkan.
“Saya tidak akan pernah lupa dengan pengalaman penculikan ini. Meski demikian, pengalaman itu tidak akan menyurutkan langkah saya untuk tetap aktif memperjuangkan demokratisasi dan keadilan rakyat. Apalagi, saat ini masih banyak rakyat yang tak memperoleh perlakuakn adil,” tandas Jati, mahasiswa Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta).
Dia membuktikan omongannya. Bersama aktivis lain, terutama dari Partai Rakyat Demokratik (PRD), Jati sudah “turun ke jalan” lagi, misalnya dengan mempersoalkan pembebasan narapidana politik dan tahanan politik (napol/tapol) yang dirasakan tidak adil, serta menuntut dibukanya berbagai ketidakadilan yang lain. Sedangkan Pius dan Desmond berulang kali tampil dalam aneka mimbar untuk terus menggelorakan semangat “perlawanan” terhadap pemerintahan yang belum menghormati demokrasi, hak asasi manusia, dan hak warga negara.
Dari pengalaman selama ini, perlakuan “khusus” yang diterima aktivis ornop dari aparat acapkali bukan menyurutkan langkah mereka untuk berteriak dan memperjuangkan keyakinannya. Seperti Esther yang kini tengah hamil, meski terus menerima teror dan ancaman, tidak ingin meninggalkan LBH Jakarta dan SNB. Dia masih ingin bersama aktivis lainnya memberdayakan masyarakat. Padahal, jika dia mau, sebagai sarjana hukum dari Universitas Indonesia, banyak tempat “basah” yang menunggu.
Pius, Desmond, dan Jati sampai saat ini masih “menganggur”. Seluruh hidupnya benar-benar untuk gerakan “mengontrol” pemerintah, serta menggalang kekuatan sosial masyarakat. Benturan dan pelajaran pahit yang diberikan aparat menjadi bahan bakar baru untuk mendorong sebuah perubahan, melalui berbagai aksi yang terencana. Keempat aktivis itu mengaku, tindakan keras yang dilakukan aparat sering justru menjadi tantangan.
Dalam konteks ini, tokoh LSM MM Billah menyatakan, benturan dan perlakuan keras dari aparat bukan cara yang tepat untuk dapat meredam aksi kritis aktivis ornop. Bahkan, benturan ini membuat para aktivis makin mencintai perjuangannya. “Mereka itu ‘kan mirip paku. Benturan itu membuat mereka semakin tertancap, dalam susah untuk mencabutnya,” ucap Direktur Community for Participatory Social Management (CPSM) itu.
Dari pengalaman selama ini, tidak semua kader ornop bisa bertahan dan menjadi militant, seperti Pius, Desmond, Esther ataupun Jati. Dari pengalaman 124 korban penyerbuan kantor DPP PDI di Jl. Diponegoro 58, Jakarta Pusat pada 27 Juli 1996 membuktikan, aksi kritis masyarakat tak bisa dihadapi dengan kekerasan aparat, karena yang terlahir justru bukan ketakutan untuk bicara benar tetapi suatu keberanian moral yang kian kental untuk menyuarakan kebenaran.
Oleh aparat, ke-124 orang itu dibawa ke pengadilan dan dihukum. Tetapi, itu tidak membuat mereka jera. Bahkan, mereka yang semula hanya menjadi simpatisan PDI, kini menjadi garda depan PDI perjuangan yang berani dan kritis. Benturan dari aparat yang membikin mereka begitu.
Disarikan dari buku: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan (LSM disebut sebagai Organisasi Non Pemerintah (ornop), Penerbit: Kompas, Hal: 93-97.