LSM dan Citra Indonesia di Mata Internasional
Membicarakan soal citra Indonesia di mata internasional, ada dua sisi yang harus kita bedakan: citra Indonesia sebagai pemerintah dan citra Indonesia sebagai rakyat/bangsa. Citra Indonesia sebagai pemerintah banyak dipersoalkan selama Pemerintah Orba berkuasa, yakni berkaitan dengan masalah good governance. Pemerintah yang bercirikan good governance adalah pemerintah yang memberi peluang bagi tumbuhnya demokrasi, bersih dari kolusi dan korupsi, hormat pada hak asasi manusia, peka terhadap pelestarian lingkungan hidup, transparan, serta mendorong partisipasi rakyat dalam pembangunan. Pemerintah Orba memberikan citra yang sebaliknya. Citra ini diperburuk lagi dengan adanya operasi militer di beberapa wilayah di Indonesia.
Saat Ramos Horta dan Uskup Zimenes Bello menerima hadiah Nobel, penulis kebetulan sedang berada di New York, AS, untuk menghadiri sidang persiapan Social Development Summit yang akan diadakan pada musim dingin berikutnya di Kopenhagen, Denmark, pada 1995. Penulis menyaksikan tayangan lengkap prosesi pemberian anugerah tersebut lewat stasiun TV CNN. Perasaan penulis campur-aduk saat menyaksikan tayangan itu. Sebagai orang Indonesia, penulis mengerti bahwa Timor Timur telah bergabung dengan Indonesia. Pikiran penulis pun segera melayang pada kegiatan diplomatik Indonesia. Kemenangan Ramos Horta, menurut penulis, selain disebabkan oleh kemenangan substansi atas soal yang diperdebatkan (soal penanganan Timor Timur), juga didukung oleh gaya diplomasi Horta. Berbeda dengan gaya diplomat Indonesia yang terkesan bersifat tradisional, formal, dan sedikit arogan, Ramos Horta melakukan diplomasi dengan lebih informal dan variatif. Ia mengaitkan soal Timor Timur dengan isu global: good governance. Ternyata yang terakhir ini lebih menarik simpati masyarakat dunia.
Dugaan penulis ternyata benar. Hal ini terungkap saat penulis hadir dalam Social Developtnent Summit di Kopenhagen. Dalam lokakarya itu, sebagai pemakalah, penulis menganjurkan agar diadakan kerjasama antara LSM dan pemerintah guna mencapai tujuan social development. Hal ini penulis anggap penting, karena akan menghemat berbagai sumber daya, mengurangi pemborosan, meningkatkan sinergi, dan mengefektifkan pelaksanaan program-program. Selain itu, tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah dan LSM di bidang pembangunan sosial, pada hakikatnya, adalah sama. Akan tetapi, penulis kaget mendapatkan tanggapan spontan dari salah seorang peserta yang berucap: “Agree, but with good goveenance.” Seketika itu penulis merasa betapa buruk citra pemerintah Indonesia di mata pegiat LSM luar negeri.
Menjelang Soeharto mundur sebagai presiden, citra buruk Indonesia tidak hanya menimpa pemerintah, tetapi juga menimpa bangsa dan rakyat Indonesia. Hal ini berkaitan dengan terjadinya kerusuhan 12-14 Mei 1998. Bangsa Indonesia yang dulu dikenal ramah, sopan-santun, beragama, dan berbudi luhur, sejak peristiwa itu berubah dikenal sebagai rasialis, penjarah, pengrusak, dan pemerkosa.
Dampak citra buruk ini banyak menimpa warganegara Indonesia yang pergi ke Singapura atau Hongkong, misalnya. Banyak orang Indonesia yang terpaksa mengaku berasal dari Filipina atau Thailand, sebab bila diketahui berasal dari Indonesia reaksi warga setempat menjadi tidak ramah. Citra buruk itu rupanya sudah begitu jatuh hingga Tim Relawan terdorong, dengan inisiatif sendiri, pergi ke AS dan Eropa untuk menjelaskan bahwa tidak semua rakyat Indonesia seperti yang mereka bayangkan.
Secara formal, pengawal utama citra Indonesia di luar negeri adalah para pejabat di kantor-kantor perwakilan pemerintah Republik Indonesia di negara-negara sahabat, di lembaga-lembaga multilateral (PBB di New York, UNESCO di Paris, FAO di Roma dan lain-lain) maupun delegasi-delegasi resmi di berbagai konferensi intemasional. Meski demikian, dalam era globalisasi yang ditandai oleh perdagangan bebas hubungan antar negara tidak hanya terbatas pada hubungan antar pemerintah, tetapi juga antar masyarakat, seperti para pelaku bisnis, pers, dan masyarakat madani, khususnya LSM.
Dalam konteks ini, masyarakat bisnis Indonesia bekerjasama dengan masyarakat bisnis mancanegara dengan motif mendapatkan untung sebesar-besarnya. Demikian juga sebaliknya, masyarakat bisnis luar negeri melakukan kegiatan bisnis atau melakukan investasi di Indonesia dengan motif mendapatkan untung yang Iebih besar bila dibandingkan berinvestasi di negara lain. Mereka berkepentingan dengan upah buruh yang murah. Demi keuntungan yang lebih besar, mereka juga berkepentingan agar bahan-bahan dasar industri yang kita pakai berasal dari negeri mereka. Akibatnya, produsen bahan mentah dalam negeri (antara lain bidang pertanian) tidak dapat hidup, karena harus bersaing dengan produk-produk luar negeri yang lebih murah.
Sementara itu, produsen dalam negeri harus membayar sarana produksi yang sudah di mark-up. Lebih dari itu, konon, para pengusaha luar negeri, terutama pengusaha Jepang, mempunyai semacam “buku pintar” tentang cara sukses berbisnis di Indonesia. “Buku pintar” itu berisi penjelasan bagaimana bermitra dengan pelaku bisnis Indonesia dan “melayani” pejabat pemerintah agar segala urusan menjadi mudah. Bila kemudian “begawan” ekonomi kita, Prof Dr Sumitro Djojohadikusumo, menyatakan bahwa 30 persen APBN kita bocor dan pemimpin Bank Dunia menyatakan 20 persen bantuan Bank Dunia dikorupsi, tentunya bukan tanpa dasar. Meskipun pernyataan itu mungkin sulit dibuktikan, masyarakat umum di dalam dan di luar negeri percaya hal itu benar.
Sebenarnya, pers Indonesia adalah pengawal citra Indonesia yang sangat efektif. Lewat kemajuan teknologi informasi, pers telah membantu membuka cakrawala kita mengenai kejadian-kejadian di dunia. Pada saat yang sama, pers juga membuka mata dunia terhadap Indonesia. Akibatnya, Indonesia menjadi begitu transparan. Bila kemudian suatu saat muncul kejadian yang membuat citra Indonesia jatuh, maka yang seharusnya dipermasalahkan bukan pers sebagai penyampai berita melainkan sumber berita yang telah menyebabkan citra Indonesia jatuh.
Sejak 30 tahun terakhir, LSM juga berperan sebagai pengawal citra Indonesia. Hubungan LSM Indonesia dengan NGO luar negeri bertujuan memperdayakan masyarakat atas dasar solidaritas kemanusiaan. LSM didirikan karena timbulnya masalah-masalah yang berhubungan dengan kemiskinan, ketidakadilan dan ketidakberdayaan. Demikian juga dengan NGO di luar negeri yang membantu pendanaan program-program pemberdayaan LSM Indonesia secara langsung. Sementara itu, untuk meningkatkan efektivitas program-program yang dilakukan (pengembangan perdesaan, kredit mikro, pertanian lestari, bangan koperasi, teknologi tepat guna, perhutanan sosial, pelestarian lingkungan hidup, pembangunan sosial, pariwisata alternatif, dan lain-lain) LSM Indonesia sering mengikuti forum-forum diskusi regional maupun internasional. Dalam forum-forum diskusi semacam itu sering dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan program-program LSM, termasuk enabling environment, yang terutama menyangkut dukungan pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan LSM. Terus terang, dibandingkan dengan negara-negara lain, dukungan pemerintah Indonesia terhadap program-program LSM termasuk yang paling jelek. Bahkan yang sering muncul bukan dukungan melainkan hambatan, karena dicurigai dan dianggap menyaingi pekerjaan pemerintah.
Terhadap berbagai tuduhan yang menjatuhkan citra Indonesia, pejabat pemerintah umumnya bersikap membantah sambil menuding pihak-pihak lain sebagai biang keladinya. Tudingan ini sering juga dialamatkan kepada LSM. LSM dituduh sebagai salah satu aktor yang turut menjelek-jelekkan nama Indonesia di luar negeri. LSM dituduh sebagai penjual kemiskinan, kegiatannya disetir atau diarahkan oleh lembaga dana luar negeri dan pberbagai tudingan lain. Tuduhan-tuduhan semacam itu, untuk konsumsi dalam negeri, mungkin sedikit bermanfaat. Tetapi, di tingkat internasional, bantahan itu tidak akan bisa mengembalikan citra buruk Indonesia. Mengembalikan citra tidak cukup dengan sekedar memberikan bantahan.
Berbagai tudingan terhadap LSM seperti itu justru menunjukkan ketidakpahaman pejabat yang bersangkutan terhadap mekanisme kerja dan visi LSM. Misalnya, tudingan bahwa kegiatan LSM diarahkan oleh NGO luar negeri adalah tidak benar. Dana-dana yang diterima oleh LSM dari NGO luar negeri diperoleh dengan mengajukan proposal yang bentuk dan jenis kegiatannya ditentukan sendiri oleh LSM di Indonesia. Apabila proposal itu sesuai dengan visi dan prioritas NGO tersebut, maka dana yang dibutuhkan oleh LSM itu pun diberikan. Sekedar ilustrasi, ada LSM yang bergerak di bidang lingkungan hidup mendapatkan dana dari USAID, tetapi LSM itu tetap saja menggugat perusahaan pertambangan PT. Freeport Indonesia, yang merupakan perusahaan Amerika Serikat di Indonesia.
Mengapa banyak LSM mencari dana bantuan ke luar negeri? Alasannya sederhana, sebab di dalam negeri belum ada mekanisme, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat, yang memungkinkan LSM mendapat bantuan untuk membiayai usaha-usaha mengatasi masalah rakyat kecil. Dalam pada itu, dibandingkan dengan rekan-rekannya di Filipina, India, Bangladesh, Srilangka, Thailand, dan lain-lain, LSM Indonesia sebenarnya masih sangat sedikit memanfaatkan dana-dana Internasional untuk membiayai kegiatan-kegiatannya. Salah satu penyebabnya adalah sikap curiga pemerintah terhadap LSM.
LSM selalu bersikap kritis terhadap berbagai ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat. Posisi yang dipilihnya jelas, berada di samping rakyat, terutama dalam hal memperjuangkan hak-hak mereka. Akibat pilihannya ini LSM seringkali harus berkonfrontasi dengan pemerintah, sehingga dianggap sebagai oposisi. Padahal, agenda yang ingin diraih adalah adanya perubahan kebijakan pemerintah yang lebih demokratis, lebih memperhatikan hak asasi manusia (HAM), lebih memperjuangkan kelestarian lingkungan hidup, dan lebih peduli pada nasib rakyat kecil.
Memang harus diakui, advokasi yang dilakukan oleh LSM tidak terbatas di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri. Advokasi ke luar negeri ditujukan untuk menekan pihak asing agar mau mengubah kebijakannya terhadap Pemerintah Indonesia, hingga Pemerintah Indonesia mau mengubah arah kebijakannya dan lebih memperhatikan hal-hal tersebut di atas. Tindakan ini diambil berdasarkan pertimbangan bahwa pembangunan di Indonesia tidak terlepas dari berbagai bantuan, finansial maupun teknis, dari berbagai lembaga di luar negeri, bilateral dan multiteral. Upaya ini pun tidak selalu berhasil, karena pihak asing (dalam bentuk kerjasama bilateral dan multilateral) mempunyai tujuan sendiri.
Jadi, bagaimana seharusnya? Kiranya sangat benar jawaban Pius Lustrilanang ketika ditanya oleh para wartawan, sekembalinya dari luar negeri, apakah kepergiannya justru tidak merusak citra Indonesia. Pius menjawab, “Yang merusak citra Indonesia di luar negeri adalah yang menculik saya.” Pius Lustrilanang adalah salah seorang aktivis muda yang pernah diculik semasa Pemerintah Orba berkuasa.
Oleh karena itu, apabila kinerja pemerintah belum menunjukkan adanya good governance, belum demokratis, belum menghormati HAM, belum bersikap tegas terhadap pengrusak kelestarian lingkungan hidup, belum bebas dari KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) hampir tak ada upaya promosi yang efektif untuk mengembalikan citra Indonesia. Promosi yang paling ampuh bagi suatu produk adalah kualitas produk itu sendiri. Kalau suatu produk berkualitas jelek, betapapun hebatnya promosi dilakukan, hasilnya akan sia-sia belaka.
Walaupun bukan sebagai pengawal citra yang utama, LSM dalam pergaulannya dengan masyarakat internasional, dapat ikut mempromosikan Indonesia di luar negeri dengan efektif, yaitu dengan cara:
Pertama, melaksanakan program-programnya sendiri. Pemerintah seyogianya menjamin keleluasaan dan kemudahan LSM untuk melaksanakan program-programnya, termasuk bermitra dengan LSM di luar negeri. Dukungan pemerintah diharapkan sama seperti terhadap dunia usaha dalam mengelola bisnis dan bermitra dengan rekanan mereka di luar negeri.
Kedua, pemerintah benar-benar mengikutsertakan LSM dalam program-program atau proyek pembangunan yang dibiayai lewat kerjasama multilateral dan bilateral yang jelas-jelas menyebut perlunya keikutsertaan LSM. Partisipasi LSM menjadi sangat penting, terutama yang berhubungan dengan pembangunan sosial seperti: a). integrasi sosial; b). penanggulangan kemiskinan; c). peningkatan lapangan kerja produktif.
Ketiga, pengalaman LSM menyelenggarakan development exposure program di Indonesia bagi mitra LSM di luar negeri perlu diperluas dan didukung oleh pemerintah. Development exposure program, yang diselenggarakan lebih dari 10 tahun, berangkat dari kenyataan bahwa banyak skema pembangunan, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat, maupun kerjasama antara pemerintah dan masyarakat, menarik perhatian mitra LSM di luar negeri. Dukungan pemerintah dapat berupa kemudahan-kemudahan prosedur, sedangkan biaya-biaya perjalanan dari negara asal dapat ditanggung dengan dukungan lembaga sponsor di luar negeri.
Keempat, mengikutsertakan LSM yang relevan dalam delegasi resmi pemerintah pada konferensi-konferensi internasional. Hal ini tidak hanya bermanfaat untuk memberi kesan baik bahwa pemerintah Indonesia memberikan apresiasi terhadap LSM, tetapi juga akan meningkatkan saling pengertian dan bahkan kemungkinan kerjasama antara pemerintah dan organisasi non-pemerintah dalam persiapan-persiapan konferensi atau tidak lanjut konferensi.
Kelima, memberikan dukungan dan kemudahan-kemudahan terhadap konferensi-konferensi internasional yang diadakan oleh LSM di Indonesia. Dukungan dan kemudahan-kemudahan semacam ini biasanya sangat dihargai sebagai sikap generous pemerintah, yang pada gilirannya, akan mengedepankan citra baik Indonesia. Hal-hal tersebut sulit dilaksanakan dan biayanya pun tidak besar. Untuk itu, suatu lembaga pemerintah yang secara khusus ditunjuk sebagai penghubung antara LSM dan pemerintah diperlukan. Mungkin lembaga itu berada di lingkungan Sekretariat Negara atau Bappenas. Tentu saja masih banyak bentuk kerjasama yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan LSM.
Disarikan dari buku: Pemberdayaan Orang Miskin, Penulis: Bambang Ismawan, Hal: 32-39.