Lobi bagi Akar Rumput
Sekitar dua dekade lalu, seorang wanita Indian berbaju etnik penuh assesoris dengan selendang gendong plus bayi yang pulas di punggungnya, berbicara di hadapan sidang umum PBB (perserikatan Bangsa-bangsa). Waktu itu, penampilan aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) di lembaga-lembaga internasional masih merupakan pemandangan langka. Mayoritas lelaki berdasi anggota dewan, tidak mempercayai penglihatan dan pendengaran mereka. Dengan suara lantang bernuansa seremonial dan agak bertele-tele, perempuan Indian itu menuntut hak ulayat atas hutan suku-bangsa Indian di benua Amerika. Perempuan berpenampilan eksotik asal Peru ini, menjadi symbol bermulanya sebuah era baru di PBB.
Benar bahwa angkatan laut sebuah negara adikuasa pernah menenggelamkan kapal perdamaian bermuatan aktivis LSM, Greenpeace, yang berupaya merebut kendali atas kapal bermuatan sampah nuklir di perairan Mururoa. Akan tetapi, saat ini, ada yang menilai LSM berhasil ‘menyandera’ PBB sebagai ‘kapal politik dunia’ yang besar dan perkasa, memberinya bensin baru, dan mengubah arah serta bentuknya.
Dari tahun ke tahun, semakin banyak LSM berseliweran di atas dek PBB, terlibat dalam siding-sidang umum di kantor pusatnya di New York serta di berbagai konferensi dunia tentang hak perempuan, lingkungan kependudukan dan perdagangan. Pada saat yang sama, aktivis LSM pun merasuk masuk ke ‘kamar mesin’ PBB, misalnya ke Bank Dunia, yang menjadi ‘motor keuangan’ PBB. Beda dengan dulu, ketika petugas keamanan PBB tidak mengizinkan masuk para aktivis, kini, umumnya, baik kapten kapal maupun awaknya dengan tangan terbuka menerima kehadiran para penumpang ‘liar’ ini. Bahkan mantan Sekjen Butros Butros Ghali merasa, “yakin, bahwa LSM berperan penting bagi terwujudnya misi PBB, yaitu mewujudkan dan melestarikan perdamaian dunia”.
JUMLAH LSM di mancanegara sejak 1987 memang mengalami booming. Di Perancis misalnya, terdapat sekitar 54.000, Filipina mencatat 27.000, sementara Bangladesh mempunyai lebih dari 10.000 LSM. Di Indonesia, jumlahnya ditaksir sekitar 4.000 – 7.000an, belum termasuk yang ‘timbul-tenggelam’ dan yang ‘dadakan’ karena ada proyek.
Sekitar 1.800 LSM mancanegara, beberapa dari Indonesia, telah memperoleh akreditasi PBB, sehingga selain mengikuti siding umum, mereka juga berhak memberikan statement selama tujuh menit dan membagi-bagikan selebaran kepada anggota dewan. Little brother is watching you. Apa pun yang dilakukan oleh penguasa di seluruh dunia selalu dipantau oleh LSM. Berbagai topik bahasan baru pun diajukan sambil membangunkan birokrasi yang melempem dan mengkritisi penguasa. Bagi LSM, berlaku motto yang konon sudah ada sejak abad ke-12: “Kami adalah orang-orang kate yang berdiri di pundak raksasa sehingga bisa melihat lebih jauh dan luas ketimbang sang raksasa itu sendiri”.
Kegiatan lobi internasional LSM, sangat terasa dalam berbagai konperensi tingkat tinggi (KTT) dunia seperti tentang perempuan di Beijing (1996), atau tentang masalah sosial di Kopenhagen (1995), kependudukan di Kairo (1994), lingkungan hidup di Rio de Janeiro (1992) dan tentang HAM di Wina (1993). Selain terlibat dalam konperensi yang menghadirkan para menteri dan diplomat mancanegara tersebut, aktivis LSM biasanya menyelenggarakan pula Forum-LSM sebagai counter conference dengan mengajukan berbagai argumentasi tandingan.
Boom kelahiran LSM terbesar terjadi usai KTT Lingkungan Hidup di Rio de Janeiro, 1992. Untuk pertama kalinya, sekitar 2.000 LSM peserta konferensi. Pada Post-Rio-Periode, PBB melonggarkan keikutsertaan LSM dalam berbagai KTT berikutnya serta siding-sidang komite di kantor pusatnya. Sejak itu pula, berbagai pengaduan, ancaman, permohonan protes, pernyataan, dan manifesto mewarnai seliweran aktiva LSM sebagai pelobi kepentingan masyarakat akr-rumput dan kelanggengan hidup bumi manusia.
Akan tetapi, para insider dunia LSM tidak terlalu mengharapkan banyak dalam mengikuti berbagai KTT dan forum internasional. “Kebijakan yang sebenarnya, tidak dilakukan disana”, ungkap Paul Hohnen, seorang mantan diplomat Australia, yang kini mengkoordinir 12 top lobbyist dari Greepeace International. Ternyata, perubahan kebijakan, dilakukan di berbagai sibdividi PBB dan “Perp-Coms”, komite berbagai LSM internasional seperti Greenpeace, Amnesty Internasional, Oxfam, Prison Watch, organisasi pencari suaka, kelompok perlucutan senjata, dan LSM pendukung hak asasi anak dan perempuan. Berbagai perubahan substansial dalam kebijakan lingkungan, gender, dan sosial, memang berhasil dicapai oleh para pelobi dari LSM.
Para bekas diplomat seperti Paul Hohnen, bukan lagi ‘barang langka’ dalam ‘jalinan’ PBB-LSM. “Suatu waktu, di kursi belakang sebuah limusin menuju kantor kedutaan di Sri Langka, saya berpikir: Sebagai diplomat, saya tidak bisa mengubah apa pun. Maka, melamarlah saya menjadi anggota Greenpeace”, ungkap Hohnen. Hubungannya, timbal balik. Ada pula aktivis LSM yang terlibat dalam perumusan berbagai dokumen PBB. Dalam KTT Perempuan di Beijing misalnya, separuh delegasi AS, adalah aktivis LSM-perempuan. Kompetensi para aktivis juga menguntungkan teamnya Hillary Clinton.
Dalam usianya yang ke-55, PBB kini mempunyai sekitar 190 negara anggota. Milyaran jiwa, langsung atau tidak, merasakan pengaruhnya lewat Dewan Keamanan, tentara perdamaiannya, bantuan bagi anak (UNICEF), bagi pengungsi (UNCHR), bantuan kesehatan (WHO) atau pangan (FAO). Tahun 1974, baru sekitar 1,5 persen bantuan pembangunan tersalurkan ke LSM Selatan. Kini, jumlah tersebut meningkat menjadi sekitar 40 persen. Pelobi dunia dari WWF (World Wild Fund for Nature) misalnya, pernah mengeluarkan Internasional Advocacy Handbook sebagai petunjuk bagi LSM kecil dalam percaturan konperensi internasional. Tak heran bahwa berbagai masalah kelompok minoritas, bangsa-bangsa terjajah dan nyaris terlupakan, menemukan forumnya. Tak jarang, LSM besar dan telah terdaftar di PBB, menjembatani LSM kecil yang mewakili kelompok ‘sudra’ dunia.
Hambatan, nyaris hanya ditemui aktivis LSM di ‘gudang uang’ PBB, yaitu Bank Dunia. Setiap tahun, Bank Dunia membagi-bagikan rata-rata 22,5 miliar US Dollar bantuan pembangunan kepada penguasa korup dan untuk berbagai proyek besar yang merusak lingkungan dan memperlebar kesenjangan sosial. Paling tidak, itulah sinyalemen banyak LSM Utara yang menganggap Bank Dunia sebagai musuh nomor satunya. Sebaliknya, banyak LSM Selatan yang menilai Bank Dunia sebagai sumber dana dan partner pembangunan. Dalam KTT Sosial di Copenhagen, para demonstran merusak stan Bank Dunia dan menolak diskusi dengan meneriakkan yel-yel tentang kegagalan lembaga donor tersebut. Beberapa LSM mencoba melakukan perubahan ‘dari dalam’ dan meneruskan informasi tentang proyek yang dianggap ‘membahayakan’ negara miskin atau masyarakat luas. “Bank Information Centre” dari Washington misalnya, berhasil ‘menekan’ Bank Dunia agar mau menerjemahkan rencana programnya ke dalam bahasa negara lokasi proyek.
Hanya satu lembaga di bawah PBB, yang meski sempat digoyah tahun lalu lewat demonstrasi yang mencekam, belum tertembus oleh aktivis LSM, yaitu WTO (World Trade Organization). Di sini, semua pintu masih tertutup bagi LSM. Sebagai pengamat sekalipun. James Cameron, seorang penasehat hukum berbagai LSM dan PBB, mengatakan. “WTO adalah perwujudan kekuasaan besar dan nyata. Di sinilah, dalam ruang-ruang tertutup, terjadi tawar-menawar yang mengatasnamakan warga seluruh dunia. Pintunya harus dijebol!”
Berbagai kegiatan LSM di tingkat internasional tersebut sedikit banyak ikut mempengaruhi sepak terjang LSM di Tanah Air. Satu hal yang disepakati oleh mayoritas LSM di mana pun, adalah strategi ‘peoples centered development’ yang mengacu pada visi terciptanya masyarakat yang adil,tidak tertindas, hak asasinya dihargai dan dapat memperoleh kehidupan yang layak. Dari visi demikian, mau tidak mau, LSM diharuskan memihak kepada masyarakat kecil yang lemah, oleh karena merekalah yang paling rentan terhadap dampak kesalahan (strategi) pembangunan.
Pemihakan ini harus dilakukan pada dua aras yaitu penguatan di tingkat akar rumput, agar rakyat masih mampu mempertahankan hak-haknya atas sumber daya yang dimilikinya dan aras kedua adalah bagaimana ‘mengajar’-lewat kegiatan advokasi yang meliputi campaign, lobby, pertukaran informasi, pembentukan aliansi dan sebagainya-para birokrat dan anggota legislatif agar peka terhadap berbagai dampak negatif proyek pembangunan tertentu. Peranan LSM ini justru sangat penting di era globalisasi, Karena rakyat kecil dan lemah inilah yang pasti akan terlempar dari persaingan pasar global. Sinergi kegiatan LSM di tingkat nasional dan internasional, diharapkan bisa mempengaruhi pemerintah (nasional) dan berbagai lembaga internasional untuk ikut mengusahakan proteksi-proteksi tertentu untuk melindungi masyarakat kecil dan lemah ini. Tanpa itu, keadaan mereka semakin memburuk.
Judul Buku: Menyuarakan Nurani Menggapai Kesetaraan (Lobi Bagi Akar Rumput), Penerbit: Kompas, Halaman: 130-135.