Kontrol Publik Terhadap LSM (2/3)
Prasyarat Kontrol Publik terhadap LSM
Sebelum bicara lebih jauh tentang mekanisme kontrol terhadap LSM, adalah menjadi prasyarat bagi beberapa ide yang mendasari dan menjadi prasyarat bagi pelaksnaan pengawasan terhadap LSM.
Pertama, pola kerja jaringan (networks). Paradigma governance menghantarkan pemahaman dan aplikasi proses pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan masyarakat dengan melibatkan secara aktif masyarakat atau komponen-komponen dalam masyrakat itu sendiri tanpa lagi mengandalkan peranan pemerintah sepenuhnya. Masyarakat atau publik dalm hal ini adalah termasuk di dalamnya pemerintah, kalangan swasta, LSM, pers, kekuatan politik, asosiasi, komunitas, keluarga dan siapa saja yang memiliki concern penyelesaian masalah-masalah publik. Hal ini sebagaiman dikemukakan oleh Frederickson ketika memberikan pemahaman tentang governance, “the word governance is probably the best and the most generally accept methapor for describing the partners of interaction of multiple organization system or networks” (George H. Frederickson, 1997).
Pada logika networks sebagaimana terkadang dalam pemahaman Frederickson di atas, berbagai komponen atau elemen dalam masyarakat, membangun suatu kolaborasi untuk melakukan aksi-aksi yang saling terkait satu dengan yang lainnya menuju pada kontruksi tatanan sosial yang tertib guna menghadapi dan menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan publik. Kolaborasi dan interaksi timbal balik hanya akan terjadi,manakala kekuasaan dapat disebar atau terdesentralisasi secara merata ke tengah arena publik, di mana berbagai elemen dengan elemen lainnya.
Ketika terjadi desentralisasi kekuasaan dan menyebar di berbagai elemen ditengah masyarakat, maka mekanisme kontrol akan bisa berjalan secara seimbang, setara, dan timbal balik. Hal ini disebabkan masing-masing elemen dalam masyarakat memiliki keberdayaan dan kesempatan yang sama untuk berpartipasi, berinteraksi dan melakukan koreksi.
Kedua, sebagai kelanjutan hal di atas, networks membawa implikasi pada interaksi yang seimbang, setara dan sinergis dalam konteks mekanisme control di antara berbagai elemen masyarakat dan hanya akan terjadi manakala tranparansi dan akuntabilitas menjadi karakter dasar berbagai elemen masyarakat tersebut, termasuk di dalam kalangan LSM.
Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus reformasi di mana proses-proses, lembaga-lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Informasi harus dapat dipahami dan dimonitor. Transparansi berkaitan dengan informasi yang terbuka dan dapat diakses oleh siapapun dan tidak hanya itu, transparansi juga merupakan pembentukan ruang arus informasi yang sangat terbuka di antara berbagai komponen masyarakat yang saling berintegrasi. Jadi, semua informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik harus dibuka bagi siapa saja. Ketidakterbukaan informasi akan mendorong terjadinya penyelewengan . Mekanisme kontrol tidak akan terjadi bila ketidakterbukaan tidak ada dalam memperoleh akses informasi. Masyarakat harus memiliki akses untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan publik. Dengan adanya lintas informasi yang saling bertemu dan berinteraksi akan terjadi sinergitas aksi-aksi penyelenggaraan pengelolaan publik yang demokratis serta bertangggung jawab.
Akuntabilitas menurut Ronald J Oekerson, sebagaimana dikemukakan Muhammad Zarei, mengandung sebuah tindakan pertanggungjawaban yang berbentuk laporan atau penjelasan atas berbagai keputusan dan tindakan yang telah dilakukan kepada yang berwenang. Dalam hal ini, juga sebuah sikap untuk menerima berbagai konsenkuensi atas keputusan dan tindakan yang telah dikeluarkan tadi. “Accountability means to give account or explain ones decision or action to another authority and accept any consequences thereform” (Zarei, 2000). Pengertian ini memberikan makna bahwa akuntabilitas adalah sebuah pertanggungjawaban atas berbagai keputusan dan tindakan yang dibuat dalam sebuah masyarakat. Artinya tindakan maupun keputusan yang buat sesuai dengan nilai, kebutuhan serta keinginan masyarakat. Konsenkuesi atas keputusan dan tindakan yang diterima dari aktor publik sebagai “hukuman” dan “imbalan”, juga sebuah bentuk akuntabilitas.
Bagi organisasi-organisasi yang bergerak dalam domain publik, yaitu menjadikan publik sebagai basis perjuangan dan tujuan akhir, maka akuntabilitas lebih ditekankan atau diarahkan kepada kekuatan-kekuatan publik yang ada dalam masyarakat. Akuntabilitas di sini dicurahkan dan dimekarkan secara horizontal kepada berbagai stakeholder yang saling berinteraksi. Akuntabilitas akan memberi implikasi pada dimensi transparansi yang menjadi bermakna. Namun akan menjadi sia-sia, manakala transparansi mampu diwujudkan, sementara aspek pertanggungjawaban terhadap berbagai aksi di tengah masyarakat tidak berjalan.
Ketiga, trust atau kepercayaan antar elemen dalam masyarakat. Menjalankan kontrol antar jaringan kerja berbagai elemen publik harus didasari kepercayaan, yaitu memberikan transparansi dan akuntabilitas kepada aktor lain di masyarakat dan, bahwa penilaian, kritik dan bahkan sanksi merupakan fungsi-fungsi pengelolaan publik, sehingga dengan kontrol yang didasari trust akan melahirkan senergi gerakan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan publik.
Keempat, political will atau inisiatif publik. Melalui pola atau paradigma networks, transparansi dan akuntabilitas bebagai elemen, termasuk LSM di dalamnya,yang terlibat dalam jaringan kerja pelayanan, pemberdayaan dan pembangunan masyarakat akan dapat menjalankan mekanisme check and balances, mekanisme kontrol atau pengawas publik. Prinsip dasar ini sebagai sebuah prasyarat agar mekanisme kontrol terhadap LSM dapat dibangun dan dijalankan secara dinamis dan konstruktif. Selanjutnya , untuk membangun sebuah model mekanisme kontrol terhadap LSM tidak bisa terlepas dari dimensi aktor-aktor yang menunjukan elemen- elemen masyarakat. Artinya ada political will atau inisiatif yang datang, baik dari publik maupun dari kalangan LSM, sehingga mekanisme kontrol bisa berjalan secara efektif. Tanpa terwujudnya hal itu, maka kontruksi mekanisme kontrol hanya akan bernasib sama dengan berbagai perangakat peraturan di negeri ini yang semata-mata menjadi “hiasan” yang indah tetapi ”nol” dalam pelaksanaanya. Itu disebabkan tidak adanya political will dar aktor-aktor yang menjalakan sebuah perangkat peraturan. Berbicara kemauan politik aktor masyarakat, akan di hadapkan dengan persoalan trust (kepercayaan), kedewasaan politik, komitmen terhadap nilai demokrasi, nilai etik dan moral, solidaritas sosial, kesejahtraan bersama dan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini juga menjadi prasyarat penting bagi jalannya sebuah mekanisme kontrol terhadap LSM yang akan dikontruksi.
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Penulis: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 114-118.