Kontrol Publik Terhadap LSM (1/3)
Pasca rezim Orde baru (1966-1998), LSM di indonesia mengalami booming layaknya jamur di musim hujan. Era Reformasi tersebut menjadi momentumnya, karena menjamin keterbukaan dan kebebasan berbicara, berpendapat dan berserikat. Sementara berbicara peran LSM, rassanya tak diragukan lagi, dan di lapangan telah terbukti bagaimana perubahan sosial telah terjadi dengan hadirnya LSM. Masyarakat mengalami perubahan yang sangat signifikan, perlawanan-perlawanan politik rakyat semakin kuat dengan pendampingan dan pendidikan politik oleh LSM, dan secara umum masyarakat semakin memiliki kesadaran akan hak-haknya.
Tetapi, sederetan prestasi spektakuler LSM dalam transformasi sosial menuju masyarakat yang demokratis, ternyata diikuti perkembangan yang kontra produktif dan demokratis, ternyata diikuti perkembangan yang kontra produktif dan paradox dengan tema LSM dan demokrtisasi. Hal ini ditandai oleh munculnya fenomena LSM fiktif, plat merah, ataupun dibentuk atas dasar kepentingan individu atau kelompok dengan melakukan eksploitasi penderitaan rakyat. Tak sedikit terjadi kolaborasi dan kerja sama antar-LSM maupun dengan pemerintah, mengatasnamakan rakyat mengharapkan kucuran dana dari pihak asing, sehingga sering kita dengar celetukan “menjual negara demi kepentingan pribadi atau kelompok”.
Hasil monitoring dan evaluasi terhadap sejumlah LSM khususnya pada aspek manajemen intern dan program intern yang dilakukan oleh Bonnie setiawan menghasilkan sejumlah fakta, bahwa Organisasi non-pemerintah (Ornop) masih sangat lemah dalam hal kemampuan mengelola program. Hal ini ditandai oleh penanganan program. Hal ini di tandai oleh penanganan program tanpa pemahaman masalah dan data, lemahnya penguasaan teori dan konsep, kurangnya penguasaan metode dan pendekatan, penguasaan program secara alamiah, penangan program tidak sistematis dan tuntas, tidak jelas arah program maupun hendak kemana rakyat dibawa, tidak memperhitungkan dapaknya kedepan, kebanyakan berhenti sebagai proyek dan uji coba, sangat tergantung pada dana dari luar, menciptakan ketergantungan pada masyarakat, terkesan elitis dan kurang mengenal masyarakat, tidak atau sedikit melibatkan komunitas dan masyarakat setempat, kurang ada pertanggungjawaban ke publik atau masyarakat setempat, kadang bersifat tertutup, banyak omong kurang kerja, cepat puas diri, tidak cepat merespon masalah-masalah yang menjadi kepedulian umum masyarakat, kurang memperhatikan potensi local yang ada dan lainnya (Setiawan, 2000).
Senada dengan Bonnie, John Clark mengkritisi secara mendasar efektivitas LSM yang sebenarnya. Pertanyaan kritis ini didasari tiga alasan faktual. Pertama, objektivitas laporan proyek LSM. Pada umumnya tulisan-tulisan LSM utara memusatkan perhatiannya pada sekitar cerita-cerita sukses dan biasanya banyak ditunjukan kepada para pendukung mereka, dengan tujuan untuk melakukan propaganda.
Kedua, dewasa ini LSM tumbuh menjamur secara dramatis, terutama di selatan, dan keabsahan mereka layak untuk dipertanyakan. Khususnya bagi organisasi yang didirikan departemen pemerintah di dunia ketiga, yang pada intinya berkerja dengan departemen pemerintah dan yang menerima dana dari agen-agen pemberi bantuan resmi, sebenarnya hampir tidak menjumpai Organisasi non-pemerintah (hal ini tidak dimaksudkan untuk mengatakan bahwa semua itu merupakan agen-agen yang jelek). Tidak juga badan-badan; yang berada di utara secara keseluruhan dibiayai pemerintah mereka menjalakan proyek dengan menjalin hubungan dengan pemerintah selatan. Terlebih lagi, badan-badan yang motivasi utamanya adalah keagamaan atau politik, atau tidak ditunjukan untuk membatu kaum lemah,mereka bukanlah “LSM sejati”.
Ketiga, LSM harus senantiasa dipertanyakan di mana letak kekuatan dan kelemahan riil mereka supaya dapat menemukan jalan untuk meningkatkan kinerja dan tetap menjaga kepercayaan terhadap pendekatan yang mereka lakukan. Hal ini teramat penting, khususnya pada zaman ketika agen-agen pemberi bantuan resmi menawarkan sejumlah besar uang untuk melakukan kerjasama dengan LSM pada proyek-proyek yang dirumuskan pada pihak pemberi dana (Clark, 1995). Disini kemudian menjadi mendesak untuk berbicara tentang pengawasan publik terhadap LSM untuk menilai transparansi dan akuntabilitas LSM di hadapan publik, karena pada hakikatnya LSM lahir dari publik, berperan sebagai agen publik dan menjalakan misinya atas nama publik.
Seiringi dengan iklim demokrasi dan logika good governance dalam konteks pelayanan, pemberdayaan maupun pembangunan publik, maka berbicara tentang mekanisme control terhadap LSM publik, maka bebicara tentang mekanisme control terhadap LSM menjadi sesuatu yang mutlak dilakukan. Kalau selama ini fokus perhatian kita lebih banyak pada bagaimana melakukan control terhadap pemerintah, di mana kalangan LSM termasuk salah satu yang menggerakan hal itu, maka dalam logika demokrasi dan good governance, control harus terjadi secara interaktif dan timbal balik di antara berbagai elemen dalam masyarakat, termasuk kontrol terhadap LSM.
Hal ini sesungguhnya tidak terlepas dari perkembangan masyarakat dan pengelolaan publik yang tidak didominasi oleh negara (state) dan sektor pasar (market), tetapi membuka ruang yang luas untuk melibatkan berbagai aktor dari kalangan civil society. Artinya proses pengelolaan networks atau jaringan kerja antara state, market dan civil society, sehingga interaksi yang terjadi pun tidak sebatas pada implementasi dan keberhasilan program, tetapi lebih jauh kepada interaksi control atau mekanisme check and balances.
Disarikan dari buku: Kritik & Otokritik LSM, Penulis: Hamid Abidin, Mimin Rukmini, Hal: 111-114.