Konsep Dasar CSR
Sulitnya dipungkiri bahwa wacana Corporate Social Responsibility (CSR) yang sebelumnya merupakan isu marginal kini telah menjelma menjadi isu sentral. CSR kini semakin populer dan bahkan di tempatkan diposisi yang kian terhormat. Karena itu, kian banyak pula kalangan dunia usaha dan pihak-pihak yang terkait mulai merespon wacana ini.
Untuk itu, dibutuhkan pemahaman yang memadai tentang konsep dasar dan isu-isu yang terkait dengan wacana ini.
Merupakan hal yang patut disayangkan bila kita sekadar mengikuti tren tanpa memahami esensi dan manfaat dari CSR. Karena bila hal itu terjadi, maka konsep dan sistem yang bagus itu tidak akan well implemented, dan bahkan ujung-ujungnya sekadar menjadi jargon atau anekdot belaka. Beberapa hal yang perlu kita ketahui antara lain tentang evolusi dan definisi CSR, hubungan CSR dengan Good Corporate Governance (GCG), konsep Sustainable Development, konsep Triple Bottom Line dan prinsip-prinsip atau pedoman pelaksanaan CSR.
Evolusi CSR
CSR yang kini marak diimplementasikan banyak organisasi, mengalami evolusi dan metamorfosis dalam rentang waktu yang cukup panjang. Konsep ini tidak lahir begitu saja. Ada beberapa tahapan sebelum gemanya lebih terasa. Hanya, sejauh ini tidak ada jejak baku yang disepakati secara bulat tentang tahap perkembangan itu. Namun secara garis besar berdasar beberapa literatur, tahap-tahap perkembangannya dapat didiskripsikan.
Pada saat industri berkembang setelah terjadi revolusi industri, kebanyakan organisasi masih memfokuskan dirinya sebagai organisasi yang mencari keuntungan belaka. Mereka memandang bahwa sumbangan kepada masyarakat cukup diberikan dalam bentuk penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan masyarakat melalui produknya. Dan pembayaran pajak kepada negara. Seiring dengan berjalannya waktu, masyarakat tak sekadar menuntut organisasi untuk menyediakan barang dan jasa yang diperlukannya, melainkan juga menuntut untuk bertanggung jawab secara sosial. Karena, selain terdapat ketimpangan ekonomi antara pelaku usaha dengan masyarakat disekitarnya, kegiatan operasional organisasi umumnya juga memberikan dampak negatif, misalnya ekploitasi sumber daya dan rusaknya lingkungan disekitar operasi organisasi.
Itulah yang kemudian melatarbelakangi munculnya konsep CSR yang paling primitif: kedermawanan yang bersifat karitatif. Gema CSR semakin terasa pada tahun 1960-an saat di mana secara global, masyarakat dunia telah pulih dari Perang Dunia II, dan mulai menapaki jalan menuju kesejahteraan. Pada waktu itu, persoalan-persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula terabaikan mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan. Persoalan ini telah mendorong berkembangnya beragam aktivitas yang terkait dengan pengentasan kemiskinan dan keterbelakangan dengan mendorong berkembangnya sektor produktif dari masyarakat.
Gema CSR pada dekade itu juga diramaikan oleh terbitnya buku legendaris yang berjudul “Silent Spring”. Di dalam buku ini untuk pertama kalinya persoalan lingkungan diwacanakan dalam tataran global. Penulis buku itu, Rachel Carson, yang merupakan seorang ibu rumah tangga biasa, mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa betapa mematikannya pestisida bagi lingkungan dan kehidupan. Melalui karyanya itu sepertinya ia ingin menyadarkan bahwa tingkah laku usaha mesti dicermati sebelum berdampak menuju kehancuran. Sejak itu, perhatian terhadap permasalahan lingkungan semakin berkembang dan mendapat perhatian yang kian luas.
Pemikiran tentang usaha yang lebih manusiawi juga muncul dalam “The Future Capitalism” yang ditulis Lester Thurow tahun 1966. Pandangan Thurow pun tak kalah tajamnya. Menurutnya, kapitalisme—yang menjadi mainstream saat itu—tidak hanya berkutat pada masalah ekonomi, namun juga memasukkan unsur sosial dan lingkungan yang menjadi basis apa yang nantinya disebut sustainable society. Thurow memang agak pesimistis bahwa konsep itu bisa diimplementasikan. Namun demikian, perilaku karitatif sudah mulai banyak digelar oleh lembaga.
Pada dasawarsa 1970-an, terbitlah “The Limits to Growth”. Buku yang hingga kini terus diperbarui itu merupakan hasil pemikiran para cendekiawan dunia yang tergabung dalam Club of Rome. Buku ini mengingatkan kepada masyarakat dunia bahwa bumi yang kita pijak ini mempunyai keterbatasan daya dukung. Sementara disisi lain, manusia bertambah secara eksponensial. Karenanya, eksploitasi alam mesti dilakukan secara hati-hati supaya pembangunan dapat dilakukan secara berkelanjutan.
Sejalan dengan bergulirnya wacana tentang kepedulian lingkungan, kegiatan kedermawanan organisasi terus berkembang dalam kemasan philanthropy serta Community Development (CD). Pada dasawarsa ini, terjadi perpindahan penekanan dari fasilitasi dan dukungan pada sektor-sektor produktif ke arah sektor-sektor sosial. Latar belakang perpindahan ini adalah kesadaran bahwa peningkatan produktivitas hanya akan dapat terjadi manakala variabel-variabel yang menahan orang miskin tetap miskin, misalnya pendidikan dan kesehatan dapat dibantu dari luar. Berbagai program populis kemudian banyak dilakukan seperti penyediaan sarana dan prasarana pendidikan kesehatan, air bersih dan banyak lagi kegiatan sejenisnya.
Di era 1980-an makin banyak organisasi yang menggeser konsep filantropisnya kearah Community Development. Intinya kegiatan kedermawanan yang sebelumnya kental dengan pola kedermawanan ala Robbin Hood makin berkembang kearah pemberdayaan masyarakat semisal pengembangan kerja sama, memberikan ketrampilan, pembukaan akses pasar, hubungan inti-plasma, dan sebagainya.
Dasawarsa 1990-an adalah dasawarsa yang diwarnai dengan beragam pendekatan seperti pendekatan integral, pendekatan stakeholder maupun pendekatan civil society. Beragam pendekatan tersebut telah mempengaruhi praktek CD. CD menjadi suatu aktivitas yang lintas sektor karena mencakup baik aktivitas produktif maupun sosial dan juga lintas pelaku sebagai konsekuensi berkembangnya keterlibatan berbagai pihak.
Pada tataran global, tahun 1992 diselenggarakan KTT Bumi (Earth Summit). KTT yang diadakan di Rio de Jenairo, Brazil ini menegaskan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang mesti dilakukan.
Terobosan besar dalam kontek CSR ini dilakukan oleh John Elkington melalui konsep ”3p” (profit, people dan planet) yang dituangkan dalam bukunya ”Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business” yang di release pada tahun 1997. Ia berpendapat bahwa jika organisasi ingin sustain, maka ia perlu memperhatikan 3P, yakni, bukan cuma profit yang diburu, namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet).
Gaung CSR kian bergema setelah diselenggarakannya World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Johannesburg Afrika Selatan. Sejak saat inilah, definisi CSR mulai berkembang.
Definisi CSR
Yang menarik, sebagai sebuah konsep yang makin populer, CSR ternyata belum memiliki definisi yang tunggal. The Word Business Council for Sustainable Development (WBCSD) misalnya, lembaga internasional yang berdiri tahun 1995 dan beranggotakan lebih dari 120 multinasional company yang berasal lebih dari 30 negara itu, dalam publikasinya Making Good Business Sense mendefinisikan CSR atau tanggung jawab sosial lembaga, sebagai “Continuing commitment by business to behave ethically and contribute to economic development while improving the quality of life of the workforce and their families as well as of the local community and society at large.” Dalam bahasa bebas kurang lebih maksudnya adalah, komitmen dunia usaha untuk terus menerus bertindak secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi, bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya sekaligus juga peningkatan kualitas komunitas lokal dan masyarakat secara lebih luas.
Versi lain mengenai definisi CSR dilontarkan oleh World Bank. Lembaga keuangan global ini memandang CSR sebagai “the commitment of business to contribute to sustainable economic development working with amployees and their representatives the local community and society at large to improve quality of live, in ways that are both good for business and good for development.”
CSR Forum memberikan definisi, “CSR mean open and transparent business practices that are based on ethical values and respect for employees, communities and environment.”
Sementara itu sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri mengenai CSR. Uni Eropa (EU Green Paper on CSR) mengemukakan bahwa “CSR is a concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basic.”
Lantas bagaimana dengan definisi CSR versi Indonesia? Dari sisi etimologis CSR kerap diterjemahkan sebagai “Tanggung Jawab Sosial Perusahaan“. Dalam konteks lain, CSR kadang juga disebut sebagai “Tanggung Jawab Sosial Korporasi” atau Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha (Tansodus)”.
Memang masih diperlukan kajian tersendiri untuk mencari padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia. Namun umumnya, bila disebut salah satu darinya, konotasinya pastilah kembali kepada CSR. Selanjutnya, dari sisi definisi, saat ini juga belum kita temui kesepakatan bakunya, karena umumnya, definisi itu masih merujuk pada definisi yang umum digunakan di negara lain. Namun demikian, kendatipun tidak mempunyai definisi tunggal, konsep ini menawarkan sebuah kesamaan, yaitu keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta lingkungan.
Disarikan dari Buku: Membedah Konsep & Aplikasi CSR, penulis: Yusuf Wibisono, penerbit: Fascho Publishing, 2007, bab 1, halaman: 3-8
Posted by Bhisma Syaputra on June 27, 2011