Konsep dan Permasalahan dari Philanthropy di Indonesia
Kedermawanan atau filantropi (philanthropy) adalah satu di antara konsep-konsep yang mendesak. Konsep ini sekurang-kurangnya relevan untuk dua wacana pokok yang sedang menyedot perhatian dan keprihatinan publik di Indonesia. Pertama, krisis pitumuka dan dampak-dampak ikutannya (konflik sosial, pengungsian, pembengkak-an hutang negara), yang menimpakan penderitaan bagi manusia Indonesia, terutama atas golongan yang kurang beruntung atau tidak diuntungkan (the disadvantaged). Upaya-upaya pemulihan dengan biaya sosial (social cost) tak kecil telah dilakukan, tetapi tanda-tanda kepulihan yang mendasar belum juga tampak jelas. Pemulihan lebih lanjut, memerlukan dana sosial (social fund) yang tak kecil pula. Kedua, agenda penegakan kembali tatanan masyarakat warga (civic minded, civil society) yang terkait dengan wacana demokratisasi, rekonsiliasi, penguatan kapasitas (capacity building), pemberdayaan (empowerment) atau tata pemerintahan yang baik (good governance).
Pertautan kedermawanan dengan konsep-konsep yang disebut terakhir terdapat pada elemen dasar yaitu tindakan sukarela (volunteerism) secara keseluruhan disebut agenda-agenda sukarela atau gerakan sosial (social movement), atau sektor filantropi (philanthropy sector), atau sektor ketiga (third sector). Agenda-agenda sukarela memerlukan penanganan yang serius secara bersama di Indonesia, karena banyak orang yakin di sanalah otentitas keindonesia-an ditentukan. Dalam konteks itu pula, maka upaya memahami kosep-konsep dan praktik-praktik kedermawanan di Indonesia pada saat yang sama berarti mansyaratkan pengertian yang sepadan mengenai sektor ketiga-agenda-agenda dan problematikanya.
Tidak seperti di negeri-negeri demokratis pada umumnya, gerakan sosial di Indonesia relatif terlambat berkembang, untuk menyebut mandeg, kerdil, atau rapuh. Peranannya tidak terlalu signifikan mengisi proses transformasi di Indonesia. Sebab utama, karena sistem politik nasional yang memihak prinsip negara kuat selama empat dekade (sejak era Demokrasi Terpimpin), memang tidak memberi peluang bagi bekerjanya kekuatan-kekuatan sosial alternatif di luar sektor negara dan pasar (ekonomi politik). Jika pun terjadi, seperti ditunjukkan oleh gerakan LSM sejak tahun 1970-an, ruang geraknya terbatas, peranannya marginal, dan kultur bergiat yang dominan terendapkan di dalamnya boleh jadi tidak sehat. Gerakan mahasiswa tahun 1997-1998 yang berhasil menumbangkan pemerintahan Orde Baru dapat disebut sebagai sebuah gerakan sosial, sekalipun untuk sebagian, terutama dari perspektif historis, kurang mencukupi.
Gerakan masyarakat warga di Indonesia praktis baru menemukan momentumnya berkembang sejak angin keterbukaan dan reformasi bergulir lima tahun terakhir (1997). Belakangan OMW tumbuh ibarat jamur di musim hujan . Mengimbuhi atau melanjutkan rintisan-rintisan peranan LSM sebelumnya, peran OMW dewasa ini tak bisa dipungkiri kian signifikan. Penghargaan dan penerimaan lingkungan sosial, baik dalam maupun luar negeri, terus menguat, meski kontroversi wacana tak kurang menyertainya.
Karena itu tanggapan OMW terhadap perubahan pada umumnya juga mendua; sebagai agen dan sekaligus pasien. Ketika peranan OMW menjadi tuntut-an dan kebutuhan aktual bagi penegakan tatanan masyarakat warga, misalnya, secara inheren OMW sendiri sarat keterbatasan. Gejala dan fakta paling konkret adalah kegiatan OMW di Indonesia sejauh ini masih sangat tergantung kepada donasi dan solidaritas antarbangsa, apakah dari lembaga-lembaga unilateral, multilateral dan bilateral atau LSM-LSM yang berpusat negara-negara kaya. Kondisi ini, untuk sebagian, merupakan asas bagi berkembangnya isu yang merupakan asas bagi berkembangnya isu yang meragukan otentitas sektor ketiga di Indonesia. Sebelum OMW memperlihatkan tanda-tanda kemandirian dalam menggalang dana sosial dari sumber-sumber domestik, isu atau penilaian semacam itu, untuk sebagian dapat dibenarkan dan tidak bisa disangkal.
Adapun jumlah dana potensial yang mungkin digali diperkirakan lebih besar lagi. Penduduk yang berjumlah 210 juta jiwa adalah dermawan-dermawan potensial, betapa pun bentuk dan nilainya. Potensi itu diperkuat oleh ketersediaan kerangka referensi umum berupa nilai-nilai, norma-norma, sikap, dan kepercayaan (agamis, suka menolong atau tolong menolong, ramah-tamah) yang sering diasumsikan melekat pada bangunan sosial di Indonesia. Tindakan sosial sukarela yang terlembaga itu tidak hanya potensial di dayagunakan untuk mengatasi masalah-masalah sosial dan kemanusiaan yang sedang terjadi, tetapi juga membangun kemandirian dan otentitas identitas diri sebagai sebuah bangsa. Apabila lembaga-lembaga perantara (intermediary institutions, fundraisers, trustees) berhasil mengembangkan cara-cara alternatif yang lebih aktual dan agenda-agenda sukarela berhasil dikembangkan secara terkoordinasi, dana sosial yang akan dihasilkan dari sumber-sumber domestik akan jauh dari memadai untuk menangani masalah-masalah sosial dan kemanusiaan yang terjadi di tanah air.
Sistem dana sosial di Indonesia juga bukan tanpa masalah. Dewasa ini terdapat anggapan kuat bahwa kedermawanan lebih merupakan (a) milik atau tanggung jawab sosial golongan menegah atas, yang lebih pantas digalang oleh (b) lembaga-lembaga pemerintah atau lembaga yang dilegalisir pemerintah, sebagai (c) belas kasihan kepada golongan masyarakat yang kurang mampu, dengan (d) cara-cara yang karitatif dan kuratif. Mekanisme pengelolaan (penganggaran, pendistribusian, dan pertanggung jawaban) yang hibrid dan tertutup. Mekanisme pertanggungjawaban dana sosial yang digalang oleh lembaga-lembaga tersebut tidak begitu jelas. Tak sedikit komentar yang mencurigai dana-dana sosial tersebut digunakan untuk kepentingan politik penguasa, baik di pusat maupun di daerah.
Dalam konteks makro ada dua pertanyaan pokok yang penting dijawab. Pertama, apakah tersedia dan memungkinkan mengembangkan sebuah kerangka konseptual umum yang koheren dalam memahami agenda-agenda sukarela di Indonesia? Kedua, kondisi apa yang diperlukan sehingga agenda-agenda sukarela tersebut lebih mudah bekerja secara efektif dan terkoordinasi? Terkait kedermawanan, pertanyaan pertama berhubungan dengan tugas mengenali sifat dan hakikat kedermawanan dan subjek-subjek yang terkait dengan kedermawanan. Sedangkan pertanyaan kedua berhubungan dengan cara membangkitkan kedermawanan, yaitu: (1) Siapa atau dari golongan mana derma atau dana itu bersumber atau seyogyanya bersumber (pribadi perorangan, lembaga)?; (2) Siapa atau lembaga mana yang paling pantas, kompeten dan acceptable menjalankan peran sebagai perantara atau penggalang derma atau dana-dana sosial tersebut?; (3) Bagaimana mekanisme pengelolaan (meringankan, melayani, dan membebaskan) atau mekanisme penghantaran derma atau dana-dana sosial tersebut (materi, non-materi, langsung dan tidak langsung, bersyarat dan tanpa syarat)?; (4) Golongan mana yang menjadi penerima (individu, golongan sosial)? Keempat pertanyaan ini sesungguhnya dapat terangkum oleh sebuah pertanyaan yakni bagaimana mengembangkan sistem dana sosial yang berwibawa di Indonesia. Kebutuhan ini belum banyak dipertanyakan dan dicari jawabannya.
Barangkali memang besar anggapan banyak pihak bahwa pengusaha telah mengeluarkan dana dalam jumlah tak sedikit menanggapi baik tuntutan formal maupun keprihatinan sosial yang terjadi di sekelilingnya. Akan tetapi siapa kelompok penerimanya, apa lembaga perantaranya, bagaimana mekanisme penghantarannya, bagaimana dampak-nya, apa kendala dan masalahnya, serta apa sesungguhnya opini mereka, sejauh ini belum diketahui secara jelas. Para komentator dan kritikus di media sejauh ini baru “berandai-andai” tanpa disertai bukti-bukti empiris.
Akan halnya kritik kepada pemerintah, tak jauh dari apa yang disebut oleh para ahli dengan patologi birokrasi. Birokrasi sering kali terlalu lamban menangani kasus-kasus yang pada dasarnya memerlukan tindakan sosial segera. Tak jarang bantuan pemerintah untuk menangani masalah-masalah sosial, kemanusiaan, dan lingkungan hidup yang terlanjur kadaluarsa. Belakangan, terutama sejak UU Otonomi Daerah berlaku, malah terdapat kecenderungan baru di mana gerak birokrasi daerah justru lebih lamban. Jika masa sebelumnya gubernur, bupati atau wali kota punya keleluasaan menggalang dana masyarakat dan mendistribusikannya secara taktis menuju sasaran, sejak UU No. 22 tentang Otonomi Daerah, tidak lagi berlaku demikian. Kalangan legislatif acap kali justru memainkan peran sebagai birokrasi tambahan, berhubungan posisi politiknya dalam penyusunan peraturan daerah yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintah daerah.
Berkaitan dengan itu, prakarsa gerakan masyarakat warga yang diwakili oleh organisasi-organisasi sukarela belum banyak memainkan perannya, menyambungkan peran dunia usaha dan pemerintahan dengan kepentingan publik. Di luar aksi-aksi sosial yang lazim, seperti kampanye, demonstrasi, advokasi atau secara terbatas pendampingan di akar rumput, jalur alternatif belum berkembang. Upaya-upaya langsung menggalang dukungan dan solidaritas unsur-unsur warga sekomunitas belum banyak digarap.
Disarikan dari buku: Kedermawanan Alam Kalimantan, penulis: Budi Baik Siregar, halaman:1-18.